Selamat Untuk Semua Guruku!

Selamat pagi! Masih ingat penggalan lagu ini?

Terpujilah engkau wahai Ibu Bapak Guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan ku ukir di dalam hatiku
Sbagai prasasti terima kasihku
Tuk pengabdianmu…

Saya tak begitu ingat kapan terakhir  menyanyikan atau bahkan mendengar lagu ini hingga sekitar sebulan lalu saat penutupan sebuah program fellowship yang kuikuti di Jakarta. Sebelum menutup acara itu, kami dan semua panitia diminta berdiri dan menyanyikan lagu di atas sebagai bentuk terima kasih kita atas semua pengetahuan yang kita dapatkan dari guru, siapapun ia. Entah kenapa tiba-tiba tubuh merinding. Pastinya bukan karena suhu pendingin ruangan karena toh ia tak begitu dingin dan menggigit, tapi kuyakin tubuhku member respon aneh karena sensasi lagu ini. Lagu untuk guru!
Saya lahir dan dibesarkan di lingkungan yang berprofesi sebagai guru. Bapak dan Ibuku berprofesi sebagai guru, tepatnya guru agama. Dan tak terhitung keluargaku yang memilih profesi ini sebagai bentuk pengabdian dan tentu untuk menyambung hidup. Kini, saat saya sudah berkeluarga pun tak jauh dari lingkungan itu. Bahkan sejak menyelesaikan kuliah sekitar 5 tahun yang lalu, saya tak pernah punya cita-cita selain menjadi guru di universitas. Istriku bahkan kini menggeluti profesi yang serupa menjadi guru di lembaga kursus Bahasa Inggris yang baru kami rintis sendiri. Kami berdua sepertinya sudah kekeh dengan profesi ini. Saat kedua orang tua kami (baik dari saya maupun dari Ibunya Mahatma) bertanya apakah kami tak sebersit pun punya keinginan menjadi PNS, dengan sambil tersenyum kami menjawab kalau pintu menjadi PNS tak pernah tertutup asal profesinya menjadi guru. Pertanyaan yang terus terulang setiap ada kabar pengangkatan dan jawaban yang sama pula terus kami berikan. Dan kami bangga dengan semua ini!

Entah apa ini sudah pernah kuceritakan di salah satu postingan untuk blog ini, tapi kalaupun sudah pernah tak apalah kuulangi yah. Tak begitu pasti kuingat saat itu saya sedang duduk di kelas berapa saat adegan malam itu terjadi dan sepanjang hidup tak akan mungkin kulupa. Ceritanya, saat itu saya harus mewakili sekolah dalam lomba puisi yang diadakan untuk memeriahkan gelaran Pameran Pembangunan Daerah yang seingatku diadakan setiap tahun menjelang ulang tahun kemerdekaan Indonesia. Menjelang gelaran itu saya tentu harus latihan. Mimik, intonasi suara, dan yang paling penting melatih keberanian di atas panggung. Dan untuk semua itu saya tidak latihan di sekolah apalagi gedung kesenian. Saya latihan di rumah. Dan pelatihnya adalah bapak saya sendiri dan tentu diawasi Ibu. Beberapa kali latihan berjalan lancar. Mimik, intonasi suara serta gerak tubuh yang tepat untuk puisi Kerawang Bekasi nya Chairil Anwar yang dicontohkan Bapak telah lumayan berhasil kueksplorasi. Ruangan depan rumah berdinding kayu sederhana saat itu menjadi saksi bisunya saat tanganku menunjuk tegas jam dinding yang tergantung di ruang depan saat kudeklamasikan “dan jam dinding yang berdetak…”. Setelah persiapan sudah lumyan matang dan bapak menganggap saya sudah siap berlomba, peristiwa malam itu terjadi. Dengan wajah agak pucat dan lesu dan suara agak pelan saya menyatakan kalau tidak bisa ikut berlomba esok malam.  Setelah memastikan yang saya katakan itu serius, bapak mengajak ku masuk ke kamarnya.

“apa yang bikin ko takut, bapakmu guru, mama’mu guru”. Sergah bapak sambil menggoyang-goyang pundakku dari depan berusaha menguatkanku.

Esok malamnya saya tetap ikut lomba puisi itu. Dan setelah itu tak ingat lagi apa yang terjadi. Yang tak mungkin kulupa adalah penggalan kata bapak di atas. Seolah ingin berkata bahwa guru adalah kebanggaan, disana ada tanggungjawab, kasih sayang, pengabdian dan tentu kebijaksanaan. Guru adalah inti sari hidup itu sendiri. Lalu setelah itu, tak ada lagi. Dan bukankah guru sudah seharusnya seperti itu?
Sepanjang hidup, aku bertemu dengan banyak guru-guru di begitu banyak tempat yang kadang tak terduga yang selalu rela berbagi dan setelah itu selesai. Tak ada tepuk tangan apalagi semat jasa. Tak ada yang tersisa karena semuanya memang belum berhenti. Kami masih menyapa, meski mungkin kini tak begitu sering, dan mereka hingga kini bukan bekas guru. Tetap menjadi guruku!

Dan bagiku, bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu siap menjadi guru bagi dirinya sendiri!

Setiap hariku dibimbingnya
Agar tumbuhlah bakatku
Kan kuingat selalu nasehat guruku
Terima kasihku, Kuucapkan…

BantaranX Code, Jogja
25 Nov ‘11
Selamat Hari Guru

Komentar

  1. posting yang menarik brother!!!,ada senyum tipis,inspirasi,haru setelah membacanya,..membuat orang tersenyum,menginspirasi,decak kagum dan haru memang melekat pada dirimu..terima kasih cik gu bobby..:)

    BalasHapus
  2. sya anak dari mantan guru di jaman belanda (SR)...dengan membaca catatan kanda bobby, sedikit menyesal tak mengenal guru saya lebih dalam.

    saya banyak berutang (ilmu dan kearifan) dari mereka...inspiratif catatanta.

    salam hangat

    BalasHapus
  3. terima kasih sudah berkunjung, membaca dan menjadi guru baruku!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer