Obral-obrol bareng maha…._part 1_ _menuju langit_

Sejak maha telah pandai berkicau, kicauannya selalu kami nantikan. Entah, karena selalu saja ada kosa kata baru yang dia ucapkan, atau caranya merangkai kalimat  yang tidak selalu sesuai dengan EYD. Kami selalu takjub sekaligus terbahak saat ia tiba-tiba bercerita tentang apa yang dilewatinya saat aku tidak bersamanya, atau mengulang beberapa lagu yang hanya sesekali ia dengar, Dan, entahlah mungkin sangat subjektif..tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar sangat lucu. Apalagi..sampai sekarang, ia belum bisa menyebut beberapa huruf dengan benar. “ka dan sa” dia sebut “ca”, “ga” disebutnya “ja”, “ra” di sebutnya “ya atau la”. Seringkali beberapa orang yang mengajaknya bicara membutuhkanku sebagai transleternya.
Aku dan maha senang menghabiskan waktu berdua, jika keuangan lagi “aman”, aku sering bersamanya menikmati sore di pantai kering, nongkrong bersamanya, mencicipi es krim, jus, bakso, sate, apa saja yang ia sukai. Tapi, kalau keuangan sedang tidak bersahabat, kami tetap sering hang out berdua, ke taman bunga menonton ayam ketawa, memberi makan burung-burung di taman, menonton beberapa orang main bola di Lapangan Merdeka, atau menyaksikan kemampuan muda mudi Bone bermain skateboard di podium utama. Kami banyak melakukan hal berdua, aku senang bercerita kepadanya tentang apa saja seolah dia adalah temanku, dia dengan versinya kadang mendengrakan, kadang terlalu heboh, kadang juga tidak memperdulikanku. Dia juga senang bercerita. Dan inilah obrolanku malam ini bersamanya sesaat  sehabis menyantap sepiring mie goreng bersama dede aira ditemani tontonan klip-klip lagu, maha duduk di teras sendiri. Aku menghampirinya dan duduk diserambi rumah sembari mencoba mencari kesejukan malam yang akhir-akhir ini begitu mahal. Panas seolah membakar bumi, bahkan saat malam seperti ini.
“ bu itu layang-layang..”katanya membuka pembicaraan sambil menunjuk sebuah layang-layang yang hampir sebulan ini nongkrong di langit malam. Yang membuatnya begitu menarik, layang-layang itu dipenuhi lampu berbagai warna yang menyala sepanjang malam, seolah ingin bersaing dengan bintang. Kami bertiga bersama dede Aira tentunya sejenak menikmati keindahan laying-layang tersebut.
“ what colour is that?” tanyaku
“led, blue,giin, yellow, pink,..”katanya menyebut semua warna yang ia tahu walau tidak ada di layang2 itu. tiba-tiba ia menyanyikan sebuah lagu tentang warna
“led..and yellow..and pink and giin..peppel an oyeng an bluuuuu…I can sing a anbow…sing a anbow..sing a anbow too…” aku dan aira bertepuk tangan.
“eh..bu itu bulang..”katanya sembari menunjuk bulan sabit yang begitu indah di potongan langit malam ini.
“iyya di? Cantikka bulan?” tanyaku
“iyya..cantik” katanya.
“ eh Bu, napa itu bulan ada d umah Zetun?  di umah mamma nda ada bulan.” katanya. Memang bulan itu tampak berada di atas rumah  Zaitun tetangga kami.
“, bukan d rumah Zaitun itu, Nak.. bulan kan di langit.” Kataku. Ia seperti berpikir
“oh..iyya di Bu, bulan di langit samai layang-layang di’..” katanya
“ bu mamma mau pi langit na! “katanya. Aku tersenyum
“mau apa di langit?” tanyaku menelusuri
“mau ambil layang-layang…trus mo ambil bulan.” katanya mantap dan pasti. Pandangannya masih menuju langit. Aku lagi tersenyum, kucoba mengikuti alur pembicaraannya.
“trus maha mau pake apa ke langit?” Dia jawab
“ maha pace’ topi..sama pace’ dasi” katany bangga. Kuulang pertanyaanku lagi dan maha menjawab sama., menurutku maha tidak mengerti. Maksudku..bagaimana caranya maha ke langit…tapi saat itu aku tidak menemukan kalimat yang tepat.
“Bicaji to bu? Pace’ dasi ma pace’ topi?” tanyanya yang buatku kebingungan
“bisaji…tapi bagaimana caranya maha mau ke langit?” kuperjelas pertanyaanku. maha tertawa dan semua giginya yang tidak rapi kelihatan
“ahhh..ibu, mamma ce langit..manjat Bu…” katanya meremehkanku dengan tawanya lalu mencontohkan padaku bagaimana dia bisa memanjat hingga ke langit.
“ooo…trus?” dia terdiam…lama. Aku juga terdiam
“Bu…alo mamma di langit, bajeimana tulun di?” tanyanya masih melingat langit. Aku tertawa, dan dia tidak menghiraukan tawaku seolah ia sedang berpikir.
“oh.., Bu! Taumi mamma..kalo mo tulun..lompat saja to Bu? Kaya’ bejini…uuuu” katanya sambil melompat dari kursi tempatnya sedang berdiri. Ia bangga memperlihatkan padaku, kalau ia punya solusinya. Aku tersenyum, bangga. Tiba-tiba mata bulatnya seolah menyimpan tanya
“ Bu..alo mamma pi di langit, ibu nda icut?” tanyanya lagi. Aku menggeleng
“ Nda deh..! ibu mau tinggal saja di rumah.” Kataku. Dia berpikir lagi, memutuskan sembari menenggelamkan kepalanya di pangkuanku.
“Bu..nda ucahmi mamma pi langit dulu di’?, kanna ibu nda mau icut..,”katanya seolah melepaskan keinginannya demi menemaniku di sini.
“Lho…jadi nda jadi pi langit?” tanyaku. Ia menggeleng…
“dada langit..dada bulan..dada laying-layang…, jammi tunju mamma na! mo bobomi mamma.” Katanya sembari melambai pada langit, pada bulan, dan layang-layang. Ku akhiri obrolanku dengan menyanyikan lagu “ambilkan bulan, Bu” bersama maha… lalu melangkah masuk ke rumah. Obrolan malamku kuakhiri bersamanya, lihatlah anakku yang tumbuh besar ini. Sekali lagi…ia menunjukkan betapa ia menyayangiku, mengorbankan keinginannya demi menemaniku. Jangan nak! Terbanglah menuju langit…raih bulan..raih bintang! I’m ok here. Melihatmu meraih apa yang kamu inginkan, membuatku menjadi lebih baik dari yang pernah ada.
Dan untuk siapapun, yang membaca tulisan ini…bacalah dengan membayangkan seorang anak 89 cm, berdiri di hadapanmu, dengan mata terang berbinar di setiap katanya, dan senyum lebar dalam akhir kalimatny, sesekali mengangguk-angguk, dan menaikkan alisnya demi menekan beberapa kalimatnya. Aku yakin, dia sangat lucu!!

_ibumaha_
27 November 2011
..hujan mulai turun…

Komentar

Postingan Populer