Majelis Lidah Berduri dan Konser Pertama Bersama Kakak Maha

4 Desember saya dikontak mas Danish via WA. Memberi kabar kalau ia lagi di Makassar dan 
hendak mengundang saya untuk menonton pertunjukan Teater Garasi di tanggal 5 atau 6 di Benteng Rotterdam. Tapi karena saya sudah diundang sebelumnya oleh panitia untuk pertunjukan tanggal 6, akhirnya undangannya dialihkan untuk pertunjukan 7 Desember. 

Saya langsung merespon, “tanggal 7 ada perform?.” Yang saya maksud tentu adalah Majelis Lidah Berduri a.k.a Melbi dimana ia saat ini tercatat sebagai penggebuk drum. 

“Iya. Acaranya Prolog,” jawabnya. 

Saya bahagia dong. Dalam jarak waktu yang tak lama setelah panggung di Prolog Fest 2022, kini bisa lagi menyaksikan band yang katanya jadi mitos di Jogja ini. Di kepala saya langsung teringat kakak maha yang ingin diajak nonton konser. Percakapan kami akhiri dan berjanji untuk bertemu di dua pertunjukan.

Setelah sehari sebelumnya menyaksikan Melbi di bagian-bagian akhir pertunjukan Waktu Batu. Rumah yang Terbakar, jadi tak sabar menyaksikan setlist yang lebih panjang. Maklum di pertunjukan ini, Melbi hanya memainkan dua atau tiga lagu. Yang paling saya ingat, saat pertunjukan ditutup dengan spektakuler dengan lagu Cahaya, Harga. Salah satu materi dari album Nkkbs Bagian Pertama yang membuat saya, seorang lelaki di samping kanan saya yang sepertinya adalah die hard Kawanan Susi dan Joni serta ibunya berdiri sambil sing along setelah lebih sejam duduk terpaku menyaksikan pertunjukan yang paripurna.

7 Desember sore, suasana badan seperti memberikan sinyal sedang tidak oke. Makanya sempat terpikir untuk membatalkan rencana menonton panggung Melbi. Tapi kasihan juga kalau janji mengajak maha menonton konser harus batal. Setelah berpikir panjang memastikan semuanya oke, akhirnya setelah shalat magrib kami berangkat berdua. Sejak maha di bangku SMP, ini kali pertama kami menonton konser berdua seingatku. Sebelumnya seingatku kami pernah berdua nonton Seringai di panggung Rock in Celebes, tapi saat itu ia masih TK. Makanya meski dihadapannya Arian 13 lagi berjingkat-jingkat, maha tetap memilih terlelap. 

Malam itu Melbi akan bermain di The Wall Prolog Stage yang merupakan bagian dari Bothlaim Space dan bertempat di Jalan Sumba 81. Meski sudah beberapa microgigs sudah dihelat Prolog Ecosystem di tempat itu, namun saya belum sempat berkunjung. Jadinya sempat agak kebingungan harus masuk lewat jalur mana. Tapi setelah diberi penjelasan oleh Masnir, jadinya kami mengikuti petunjuknya untuk masuk melalui Jalan Sulawesi dan belok ke Jalan Sumba. Venue ini terletak sebelah kiri tak jauh sebelum ujung Jalan Sumba. 

Meski sebelumnya Mas Danish sudah memberi kabar kalau Melbi kemungkinan tampil di jam setengah sembilan, tapi untuk mengantisipasi banjir akibat hujan beberapa hari terakhir atau karena sebab lainnya yang bisa menyebabkan kemacetan, kami memutuskan berangkat lebih awal dan tiba didepan venue sekitar pukul 18.30. 

Di depan bangunan yang menurut seorang kawan dulunya adalah pabrik kaca itu sudah terparkir rapi puluhan motor. Saya diarahkan oleh tukang parkir untuk memarkir mobil di kanan jalan mendekati parit. Karena lebar jalan cukup sempit dan tak ada area parkir khusus mobil jadi mesti diatur rapi agak tak menimbulkan kemacetan pikirku. 

Hujan rintik-rintik mulai turun saat saya ditemani maha menunjukkan file undangan untuk dua orang dari ponsel ke panitia yang menunggu diidepan gate masuk. Setelah selesai urusan regstrasi, kami langsung memasuki pintu kecil yang dijaga seorang petugas keamanan berumur yang mengenakan songkok hitam. Kami lalu menyusuri jalan masuk menuju pintu venue yang kira-kira berjarak 10 meter. Terlihat puluhan orang duduk menunggu didepan venue yang dibarikade seadanya. Diantara mereka ada Wilda, Zizi dan Aswin Kontras yang lalu menyapa kami. Sambil menunggu venue dibuka, saya dan maha lalu memilih duduk dan bercerita meski hujan rintik terus turun dan menyapa beberapa kawan yang lewat didepan kami. 

Saat hujan sepertinya semakin deras, kami mendekat ke pintu venue dan sekitar pukul 8 panitia mempersilahkan kami masuk ke area pertunjukan sambil menyapa beberapa kawan-kawan Prolog. Ruang pertunjukan yang tak menghilangkan nuansa gudang itu hanya disinari lampu temaram saat saya dan maha memilih tempat di pojok kanan depan panggung yang kira-kira hanya berjarak 5 meter dari tempat kami berdiri. Panggung dengan sound system lengkap dan proper didepan kami hanya bertinggi mungkin semeter dan tanpa barika. Di belakang kami ada sound engineer dan ruang untuk talent yang berpintu kaca. Didalam ruang tersebut nampak personil Melbi dan Divy yang akan menjadi openner pertunjukan malam itu.

Tak lama berselang Masnir membuka pertunjukan yang sekaligus menjadi perayaan sewindu Prolog Ecosystem. Dan kemudian mempersilahkan Divy yang digawangi oleh Leca sebagai drummer dan Jasmine Risach yang mengisi vokal dan synth. Duo yang sedang menghelat tur Asia dan Australia ini memainkan beberapa lagu dari materi EP yang baru saja dirilis tahun ini. Ini kali pertama akhirnya bisa menyaksikan langsung band yang bernaung dibawah Riuh Records ini. Maha sendiri takjub dengan permainan drum Leca yang beberapa waktu lalu menjadi additional drummer untuk FSTVLST dan Melbi saat Danish dalam masa pemulihan setelah mengalami kecelakaan. Termasuk saat Melbi tampil di Prolog Fest. Oh iya, di sela penampilan Dvy, saya menyapa mas Danish yang ternyata juga sedang menonton di sebelh kanan kami. Saya lalu memperkenalkannya dengan maha. Maha sudah dikenalnya dari cerita saya baik langsung saat di Jogja atau melalui cerita-cerita di status FB dan blog. 

Tak perlu menunggu lama, setelah Dvy turun dari panggung, Masnir lalu mempersilahkan Majelis Lidah Berduri untuk naik keatas panggung. Para penonton yang tadinya masih di belakang atau duduk lalu mulai merapat ke bibir panggung. Beberapa saya kenal tapi kebanyakan dari mereka merupakan wajah-wajah baru. Cukup banyak yang menggunakan kaos Melbi yang membuat saya berkesimpulan jika mereka generasi baru Kawanan Joni dan Susi di Makassar. Kesimpulan ini sebenarnya tidak berdasar sebenarnya. Saya hanya merasa kalau Melbi itu band segmented dan dulu sepertinya hampir saya tau siapa-siapa yang tertarik dengan band-band seperti ini. 

Saya sebenarnya memilih untuk tetap di barisan belakang dan meminta maha untuk maju kedepan sendirian. Tapi maha masih enggan. Aswin lalu mengajaknya tapi maha tetap mengajak saya ikut serta. Jadi saya akhirnya juga maju kedepan sisi kiri meski tak terlalu dekat dengan panggung. Kira-kira shof ketiga lah hehehe. 

Oh iya, setelah saya amati, struktur penonton yang jumlahnya kutrang lebih seratusan lebih itu ada tiga kategori menurut saya. Jadi pihak Proloh hnaya menyediakan 200 tiket untuk konser ini. Lanjut, yang bagian depan itu anak muda berenergi seperti kuda yang sejak lagu pertama sudah membentuk crowd surf. Lalu bagian tengah mereka yang selow dan goyang manis sambil sesekali terlibat dalam lengkingakan sing along berjamaah dan terakhir kubu belakang. Nah ini kubu yang mayoritas saya kenal. Dan paling “ribut” khas penonton-penonton zaman dulu. Dari struktur ini saya berkesimpulan bahwa tua adalah niscaya. Hahaha…Padahal saya masih merasa baru beberapa tahun lalu saya jadi bagian yang merapat di bibir panggung dan mengenal cukup bayak dari mereka yang juga ada disana. 

Seperti di panggung-panggung yang saya saksikan di Youtube, Melbi selalu membuka panggungnya dengan tiga lagu berturut-turut. Kali ini diawali dengan Selat Malaka, Normal Moral dari album NKKBS dan single baru Serampang. Setelah itu, Ugo menyapa para penonton dan melanjutkan setlist yang malam itu berisi 15 lagu. Puas gak tuh hehehe.

Foto : Rian
Karena malam itu sebenarnya adalah tentang cinta bernama Mahatma Ali El Gaza. Jadi selama pertunjukan, saya berusaha menjadikannya sebagai me time bersamanya. Bersama sing along untuk lagu-lagu yang kami hafal bersama. Sesekali saya merekam saat ia ikut bernyanyi khususnya dari album NKKBS yang sering ia dengar diputar di mobil sejak album itu dirilis. Saya sebenarnya menunggu ia mau maju dikerumunan bersama belia-belia yang sejak lagu pertama terus merapat ke mic nya Ugo. Bahkan di lagu-lagu terakhir, sang security yang memakai songkok hitam sampai harus ke bibir panggung memastikan jangan sampai sound ada apa-apa. Tapi maha kan tipe selow anaknya. Jadi sepanjang pertunjukan setia didekat bapak. Hahaha. 

Di bagian akhir lagu Masup Tipi dan Sepasang Kekasih yang Bercinta Diluar Angkasa, Leca yang sebelumnya ikut jadi penonton naik keatas panggung dan menggantikan Danish menjadi drummer. Saat lagu Sepasang Kekasih yang menurut Ugo sudah jadi lagunya Frau itu dibawakan, saya membayangkan pasti ibunya maha senang sekali jika ia ikut bersama kami. Maklum lagu ini adalah salah satu lagu favoritnya baik versi Frau maupun Melbi. Saya juga kagum sama dua backing vocal Melbi. Khususnya mbak Sita yang juga jadi aktor di pertunjukan Tetaer Garasi dua malam sebelumnya berturut-turut. Gila sih menurutku. Sama sekali tak nampak lelah. Goyangannya sepanjang pertunjukan tetap stabil. Kata Rachmat setelah pertunjukan, “begitu memang kalo mantap olah tubuh.” Saat pertunjukan saya juga memperkenalkan mas Yennu, salah satu gitaris Melbi yang juga membidani musik untuk beberapa film yang maha juga sudah nonton seperti Penyalin Cahaya dan yang terbaru Budi Pekerti.  Jadi nonton sambil belajar. Hahaha.. Dasar bapak-bapak. 

Tentang Cinta selanjutnya dibawakan. Salah satu lagu yang selalu saya tunggu selain Nasihat yang Baik yang malam itu sayang tidak masuk dalam setlist. Pertunjukan ditutup dengan koor dan keriuhan massal bersama Dapur Nkk/Bkk, Mars Penyembah Berhala dan Distopia.

Setelah bertemu dan bercerita dengan beberapa kawan seperti setiap setelah konser, menyempatkan berfoto dengan Mas Danish, kami lalu pamit pulang ke beberapa kawan. Di luar ternyata hujan deras barusaja usai dan menyisakan hujan tipis. Sungguh tak terasa selama pertunjukan berlangsung. Sungguh pertunjukan yang memuaskan dahaga orang-orang seperti saya yang sudah lama tak menjamah panggung-panggung intimate seperti malam itu.

Di perjalanan pulang, saya meminta maha menghubungi ibunya jika kami sudah di perjalanan pulang. Dan setelahnya, kami berdua bercerita mengulas kembali apa yang baru saja kami alami bersama-sama. Maha berjanji akan menuliskan pengalamannya. Lalu kami menikmati sisa-sisa hujan dan kemacetan jalan yang seolah tak mau berhenti meski malam telah begitu tua.

Semoga bapak sehat-sehat terus, supaya bisa mendatangi konser-konser berikutnya dan bisa bersama Ibu, Suar dan Rekah.

BapakmahaSuarRekah, 16 Desember 2023

Komentar

Postingan Populer