Dari Ma’had ke Ma’had: Catatan Perjalanan Dua Hari di Bone dan Sengkang (Bagian 1)

Hingga detik-detik akhir keberangkatan menuju Bone, sebenarnya saya sempat hendak membatalkan untuk mengantar dan menemani ibunya maha mengunjungi beberapa pesantren di Bone dan Wajo yang ikut serta dalam program Pesantren Ramah Anak yang dikerjakan ibunya maha hampir satu tahun belakangan bersama UNICEF dan PSGA UIN. Saat itu saya merasa kurang enak badan. Apalagi dua malam sebelumnya secara berturut-turut mesti pulang agak larut setelah menonton pertunjukan Tetaer Garasi di malam pertama dan pertunjukan Majelis Lidah Berduri di malam setelahnya. Bahkan skenario ibunya maha akan menggunakan angkutan umum sudah sempat terlontar. Ibunya maha akan berangkat sendiri dan saya bertugas menjaga anak-anak di rumah. Apalagi Suar juga masih sedang dalam masa ujian akhir.

Tapi godaan sensasi perjalanan bersama-sama seperti yang sering kami lakukan membuat saya mengiyakan untuk mengantar ibunya maha dengan formasi full team. Soal ujiannya Suar sebelumnya sudah dikonfirmasi ke wali kelasnya dan ternyata hari keberangkatan kami adalah hari terakhir pelaksanaan ujian. Jadi setelahnya ia diizinkan untuk tak mesti ke sekolah.

Jumat, 8 Desember 2023, tepatnya setelah jumatan, kami berangkat menuju Bone. Sebenarnya kami termasuk jarang memilih jam keberangkatan ke Bone di siang hari karena khawatir dengan ancaman kemacetah. Kami lebih sering berangkat di pagi hari saat jalur camba belum padat. Tapi kali ini kami mesti menunggu Suar menyelesaikan ujian hari terakhir dan sekalian jumatan. Dan alhamdulillah kami tiba di Bone sebelum Isya. Dan tak mesti melalui kemacetan berarti seperti yang kami khawatirkan. Kami hanya sempat melambat beberapa saat di area Pattunuang, Camba yang beberapa waktu terakhir sedang mengalami pelebaran jalan. Dan singgah istirahat di rumah makan yang berada tepat di perbatasan Maros dan Bone. Di beberapa kali perjalanan ke Bone atau sebaliknya, kami memang memilih tempat ini untuk beristirahat karena tempatnya yang nyaman, biasanya tidak terlalu banyak orang dan yang tentu pemandangannya indah. Oh, iya yang tak kalah penting khususnya untuk Suar karena di area perbatasan ini truk-truk yang lewat sering membunyikan klakson teloletnya. Kami juga sempat berhenti sesaat di penanjakan pertama jalur alternatif melingkar yang digunakan untuk menghindari kelokan Sumpalabbu karena ada mobil yang macet ditengah jalan.

Saat tiba di rumah, yang ada hanya Hery dan Puang Beda. Malam itu Puang Beda menginap karena harus membantu Hery mempersiapkan hidangan untuk arisan keluarga esok hari. Itu artinya kami ikut kecipratan hidangan arisan esok hari sebelum memulai kunjungan ke beberapa pesantren di Bone. Dan melanjutkan perjalanan ke Wajo.

Keesokan harinya, skenario agak berubah. Untuk pesantren pertama, dari empat pesantren di Bone yang akan dikunjungi, yang cukup dekat dari kota, ibunya maha memutuskan berangkat sendiri sekitar pukul 8 karena Rekah masih tidur dan akan kembali ke rumah pukul 10. Saya tak ingat apa nama pesantrennya. Dan sekitar pukul 10 lewat ibunya, maha balik ke rumah dan kami semua sudah siap untuk memulai perjelanan sekalnjutnya. Tentu setelah menyicipi ayam karinya Puang Beda yang tak pernah gagal itu.

Saat kami berangkat, Hery belum balik dari tempat kerja. Meski kami sempat melihat mobilnya melaju menuju rumah saat kami singgah sebentar di toko pernak pernik Hello Kitty yang berada tak jauh dari rumah untuk membelikan Rekah stiker-stiker lucu agar ia tak berulah sepanjang perjalananan.

Kami lalu menuju jalan ke Sengkang tapi mesti kembali berbalik arah mengikuti petunjuk google map menuju jalan Bukaka melalui Masjid Raya Watampone dan depan rumahnya om Ari. Tujuan kami adalah Pesantren Daarul Qur’an Pajalele, Kecamatan Tellu Siattinge. Satu-satunya kendala yang kami hadapi menuju pesantren ini adalah jalanan yang rusaknya lumayan parah.


Kami tiba di depan area pesantren saat sebentar lagi waktu zuhur tiba. Kami memasuki gerbang pesantren yang cukup besar dan disebelahnya ada pos penjagaan yang ditinggal penjaganya. Suasana pesantren juga sangat sepi. “sepertinya pesantren ini barusan diserang kawanan zombie,” canda saya ke anak-anak sambil mencari tempat yang tepat untuk parkir.

Tak lama, seorang ustazah yang dihubungi ibunya maha via telpon nampak dari sebuah gedung yang bersebelahan dengan masjid. Gedung ini terletak di sebelah kiri dari gerbang masuk. Mobil kemudian saya parkir didepan gedung yang merupakan asrama santriwati. DI gedung satu lantai dengan enam ruangan itu terdapat kantin yang terletak ditengah. Saya mengetahui jika itu adalah kantin saat mengantar Rekah untuk pipis setelah diantar oleh seorang santri putra.

Asrama santri putra terletak di depan asrama santri putri yang dipisahkan oleh masjid dan berjarak kira-kira 100 meter kurang. Bentuk bangunannya juga sama dengan asrama putri. Memanjang dan juga memiliki enam ruangan. DI asrama ini terdapat dapur pondok. Di jam makan siang, seluruh santri terlihat membawa piring dan mengambil makanan dari ruangan itu untuk dibawa ke kamar. Nampaknya di ruangan dapur tak disediakan tempat ntuk makan bersama seperti di pondok ku dulu.

Setelah mobil diparkir, ibunya maha bersama ustazah lalu menuju masjid untuk bertemu perwakilan santri yang menjadi pengurus forum santri di masjid yang penampakannya seperti pendopo karena tak berdinding. Jadi agenda utama kunjungan ini adalah untuk mengkonfirmasi apakah forum santri sudah terbentuk dan apakah para pengurus telah memahami berbagai isu atau hal-hal yang terkait dengan kekerasan seksual, perundungan dan beberapa materi lain yang sudah diberikan saat workshop. Forum santri ini kalau tak salah akan menjadi badan yang salah satu tugasnya adalah melaporkan jika terjadi kekerasan terhadap santri kepada badan khusus yang juga mesti dibentuk oleh pesantren yang mengikuti program Pesantren Ramah Anak. Forum ini juga melakukan kampanye dan diseminasi informasi untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan seksual atau perundungan di pesantren.

Setelah dua jam saya dan anak menunggu di mobil dan sesekali keluar menikmati area pondok, akhirnya pertemuan selesai juga. Saya dan anak-anak lalu menuju masjid untuk menyantap kue-kue konsumsi pertemuan bersama beberapa ustaz dan ustazah. Di dalam masjid saya melihat jadwal pengajian kitab rutin. Ada beberapa kitab yang diagendakan untuk dikaji oleh para ustaz maupun ustazah. Oh iya beberapa dari mereka berpredikat kyai muda. DI perjalanan menuju pondok berikutnya, saya dijelaskan oleh ibunya maha kalau predikat itu didapatkan melalui jalur akademik setingkat universitas. Sungguh senang dan bangga menyaksikan para asatiz yang semuanya masih begitu muda dan memilih untuk mengabdikan diri mengembangkan pondok pesantren.

Setelah shalat zuhur berjamaah yang agak tertunda karena pertemuan tadi, kami lalu pamit menuju pesantren berikutnya. Kami melalui jalur lain menuju kesana diantar oleh seorang ustaz ditemani santri putra menuju jalan besar yang lumayan jauh dan sekali lagi jalanannya agak bermasalah. Sekitar 15 menit akhirnya kami sampai di jalan besar poros Bone Wajo dan berpamitan kepada dua penunjuk jalan kami. Menuju pesantren berikutnya, kami mesti balik lagi ke arah kota Watampone. Kali ini kami menuju Pesantren Modern Al Ma’arif Bilae yang terletak di Desa Lappo Ase Kecamatan Awangpone.

Kurang lebih 10 menit kami sudah berada di gerbang pesantren setelah mengikuti arahan google map setelah melewati jalan desa yang cukup sempit. Pondok pesantren ini sangat berdekatan dengan pemukiman warga. Bahkan bisa dikatakan, meski memiliki gerbang namun akses ke area pesantren cukup terbuka. Bahkan beberapa fasilitas pesantren seperti lapangan olah raga dan masjid dapat diakses oleh warga.


Sekitar pukul 3 sore, kami memasuki gerbang pondok yang hany bisa dilalui satu mobil. Area pondok tak seluas pondok sebelumnya. Setelah memasuki gerbang, kami sudah dapat melihat seluruh bangunan pondok yang rapat dan menyisakan area tengah untuk lapangan olah raga. Sepenglihatanku ada lima bangunan berukuran sedang. Di sebelah kiri gerbang ada kantin, toilet untuk santri, sebuah bangunan yang mengingatkan saya dengan ruangan kelas di film Laskar Pelangi yang memiliki dua ruangan berdinding papan. Bangunan ini awalnya kukira adalah ruangan kelas tapi ternyata digunakan sebagai asrama putra.

Di depan gerbang ada bangunan yang merupakan ruangan kelas. Kalau tak salah ada lima ruangan. Di sebelah kanan gerbang ada fasilitas fitnes sederhana dan disampingnya ada kantor pondok. Saya memarkir mobil tepat didepan kantor tersebut. Didepan area fitnes hingga kantor tergantung beberapa spanduk sambutan termasuk satu spanduk yang disana ada wajahnya ibunya maha. Hahaha….Seserius itu pondok ini menyambut kedatangan tim monitoring. Di depan area fitnes ada spanduk cukup besar bertuliskan Deklarasi Menuju Pesantren Ramah Anak di bagian atas dan dibagian bawahnya dibiarkan polos. Sepertinya disiapkan untuk ditulisi atau dibubuhi tandatangan. Beberapa santri yang berpakaian pramuka dan seragam batik pesantren sedang duduk di depan kelas dan depan kantor. Sepertinya mereka sedang menunggu pelaksanaan kegiatan.

Ibunya maha lalu disambut oleh seorang ustaz dan mengarahkannya menuju sebuah rumah yang terletak di pojok area pesantren berdampingan dengan ruang kelas. Beberapa saat setelahnya, saya juga menuju kesana. Rumah itu milik pimpinan pondok pesantren Ustaz Syahruddin yang juga difungsikan sebagai asrama putra. Di sebelah rumah ini, agak keatas karena kontur tanah yang agak bebukitan terdapat masjid pondok yang juga digunakan warga sekitar. Dan disebelahnya ada bangunan rumah panggung yang terbuat dari kayu yang dimanfaatkan sebagai asrama putri. Rumah itu sebenarnya adalah milik mertua Ustaz Syahruddin yang ditingglkan pemiliknya karena harus bekerja ke Malaysia, jelas Ustaz Syahruddin saat kami temui di kediamannya.

Awalnya pesantren ini hanya berbentuk madrasah aliyah saja. Dikelola oleh keluarga yang memiliki latar belakang sekolah agama dan memanfaatkan tanah pribadi untuk membangun bangun sekolah. Awalnya tak mudah. Tahun pertama siswa hanya 4 orang. Dan meningkat sedikit demi sedikit. Kalau tak salah ingat sebelum pandemi akhirnya disepakati untuk mengubah bentuk sekolah menjadi pondok pesantren. Dan alhamdulillah sejak menjadi pesantren, jumlah santri cukup berkembang. Tidak hanya dari desa-desa sekitar pondok, santri juga sudah ada yang berasal dari Kolaka. Begitu jelas Ustaz Syahruddin, pimpinan pondok pesantren Al Ma’arif Bilae kepada saya dan ibunya maha di rumahnya yang sekaligus menjadi salah satu asrama santri. Oh iya, di pondok ini terdapat dua kategori siswa. Ada yang santri dan tinggal di asrama dan siswa reguler yang tidak mondok.

Di rencana awal, paling lambat pada pukul 5 sore kami sudah harus beranjak ke pesantren berikutnya agar tak terlalu malam menuju Sengkang. Tapi situasinya berkata lain. Setelah bertemu forum santri di kediaman Ustaz Syahruddin sampai saat waktu Ashar tiba, kemudian dilanjutkan dengan acara deklarasi menuju pesantren ramah anak. Bentuknya seperti upacara. Seluruh santri maupun siswa reguler yang jumlahnya hampir seratusan dikumpulkan di area lapangan menghadap ke depan kantor. Di bagian depan duduk para ustaz, perwakilan Kemenag Bone, dan tentu ibunya maha. Selain sambutan-sambutan, rangkaian kegiatan yang lain ada presentasi poster oleh beberapa kelompok, penandatanganan board deklarasi oleh para santri dan ustaz dan diakhiri pertunjukan tari oleh santriwati. Kegiatan berakhir menjelang magrib. Dan selama kegiatan, Maha dan adik-adiknya awalnya menunggu di area fitnes sambil memanfaatkan beberapa fasilitas yang biasanya juga tersedia di lapangan-lapangan kota. Setelah bosan, saya mengantar Suar dan Rekah ke mobil yang dipindahkan ke depan rumah Ustaz Syahruddin. Suar juga memang agak tidak enak badan.

Kami lalu meninggalkan pondok sesaat sebelum azan magrib melalui jalan keluar di area samping pondok putri dan memilih jalur berbeda menuju jalan besar. Saya sungguh takjub dengan pesantren ini. Meski secara fisik sangat sederhana, bahkan mungkin sangat seadanya jika dibandingkan dengan pondok-pondok pesantren besar, namun dari wajah Ustaz Syahruddin dan asatiz lainnya saya menangkap kegigihan dan perjuangan keras untuk membangun dan mengembangkan pondok pesantren ditengah segala keterbatasan. Sepanjang perjalanan menuju jalan besar saya tersenyum takjub dan berdoa semoga para pembina pesantren diberikan kekuatan untuk terus melanjutkan hal-hal baik ini.

Langit sudah semakin gelap saat kami menyusuri jalan poros Bone Sengkang menuju pesantren terakhir di Kabupaten Bone yang akan kami kunjungi. Kabar buruknya karena stelah beberapa saat digunakan untuk melihat map, gawai ibunya maha juga ikut lobet. Setelah sebelumnya hp ku juga lobet karena dipake Rekah terus main game. Akhirnya kami harus beberapa kali singgah bertanya ke warga untuk mengetahui arah menuju Pondok Pesantren Al Ikhlas Ujung.

Sebelum sampai di Tugu Polo Malelae Uloe setelah mendapat arahan dari seorang penjual siomay, kami sempat mampir ke Alfamart dan sebuah pom bensin untuk mengisi bahan bakar yang tinggal satu bar. Dari tugu tersebut kamu belok kiri dan menyusuri jalan dan berharap mendapat petunjuk menuju pesantren. Kami melewati sebuah belokan ke kiri yang kami curigai sebagai jalanan menuju pesantren tapi kami memilih lurus. Tak lama kami singgah untuk bertanya di sebuah warung kecil. Ternyata belokan itu memang arah menuju pesantren. Kami berputar dan kembali ke belokan tersebut dan menyusuri Jalan Poros Sailong – Uloe yang alhamdulillah semuanya telah berbeton meski di beberapa ruas nampak sudah retak tapi sayang sepanjang jalan penerangan sangat ala kadarnya. Ruas jalan itu serupa jalan menuju tol yang lengang.

Sekitar 10 menit lewat kami sudah berada di area pesantren Al Ikhlas. Lalu kami belok kiri dan berhenti tepat di depan gerbang asrama putra di sebelah kiri dan asrama putri di sebelah kanan. Kalau tak salah di tempat kami berhenti, dipenuhi pepohonan pinus yang rimbun. Sungguh kesan yang menyenangkan sejak awal. Pasti lebih indah jika kami bisa tiba lebih sore.

Ibunya maha lalu turun dan masuk ke area asrama putra untuk mencari tau dimana bisa bertemu ustaz atau ustazah yang sebelumnya sudah janjian akan bertemu. Tak lama, ibunya maha keluar bersama seorang ustaz yang belakang kuketahui bernama Ustaz Rahim Lc. Ia alumni pondok ini dan telah menempuh pendidikan di Mesir.

Ustaz Rahim lalu mengarahkan saya untuk memarkir mobil di area parkir asrama putri. Di sebelah kiri tempat saya parkir terdapat bangunan yang bertuliskan café kalau tak salah ingat. Di bangunan yang jadi seperti kantin itu, santri dapat membeli dan menikmati berbagai makanan dan jajanan. Menurut ustaz Rahim, agar santri putra dan putri tidak bertemu, waktu kunjungan ke kantin dibedakan. Putra dapat giliran malam. Dan waktu lainnya untuk putri. Di bagian depan kira-kira 20 meter, ada masjid pesantren yang berlantai dua. Saat kami tiba, terdengar sedang ada pengajian kitab.

Kami lalu diarahkan menuju ruang untuk tamu. Menuju ruang itu kami melewati klinik dan beberapa asrama. Ruang tamu berada sederet dengan asrama. Dan disebelah kirinya ada ruang pertemuan yang akan digunakan untuk bertemu pengurus forum santri.

Tak lama kami dipersilahkan masuk ke ruang tamu yang ternyata diperuntukkan untuk menerima tamunya Prof. Nasaruddin Umar. Yup, pesantren ini dipimpin oleh Prof yang saat ini masih berstatus sebagai imam besar Masjid Istiqlal. Menurut Ustaz Rahim, pesantren ini adalah milik orang tua prof. Tanah pondok yang berhektar-hektar di Desa Ujung itu adalah milik orang tua prof. Bahkan rumah kediaman keluarga prof masih berada disana. Seperti pesantres sebelumnya, di pesantren ini juga ada siswa reguler yang tidak mondok. Tapi bedanya, mereka digratiskan. Karena itu amanah mendiang bapaknya prof bahwa anak-anak usia sekolah dan kurang mampu bisa bersekolah di Pesantren Al Ikhlas secara gratis, jelas Ustaz Rahim.

Di ruang tamu yang berukuran cukup luas dan beralas karpet itu terdapat beberapa sofa ukuran besar. Di dinding tergantung beberapa foto Prof. Nasaruddin bersama petinggi-petinggi negara seperti Pak SBY dan yang paling menarik perhatian adalah foto bersama The Smiling General Soeharto. Sayang saya tidak bisa mengabadikan situasi itu karena semua hp kami lobet. Di ruang ini juga ada meja makan yang telah sajian lengkap saat kami tiba. Diatas meja tamu juga sudah ada beberapa toples kue dan ceret berisi teh hangat dan beberapa cangkir di sampingnya.

Setelah kami selesai santap malam dan bercerita sedikit tentang pesantren, ibunya maha lalu ke ruang pertemuan ditemani Ustaz Rahim. Tak lama Ustaz Rahim kembali ke ruang tamu untuk makan malam dan setelahnya saya bercerita sedikit tentang pesantren. Setelah itu, ia pamit mau mengikuti pertemuan. Ustaz Rahim berposisi sebagai Mahkamah Pondok. Saya bertanya apakah ini serupa bagian kemanan. Ia menjelaskan kalau mahkamah ini merupakan tempat penyelesaian berbagai masalah kesantrian jika sudah tak bisa ditangani pembina kamar.

Jam 9 lewat akhirnya pertemuan dengan santri selesai. Kami lalu pamit untuk melanjutkan perjalanan menuju Sengkang. Kami diantar Ustaz Rahim ke area parkiran. Disana sudah banyak santri putra yang sedang menikmati makanan dan minuman dari kantin. Tak lama kami meninggalkan gerbang kembali menuju Jalan Poros Poros Sailong – Uloe. Ah sayang sekali kami tidak bisa menikmati situasi pesantren di saat masih terang. Kami merasakan kesan baik dari pesantren yang juga dikelola banyak asatiz muda. Sangking menyenangkannya, maha sempat berujar tertarik mau melanjutkan sekolah disana. Diikuti Suar yang selalu akan berada dimana kakaknya berada. Semoga kelak bisa berkunjung lagi kesana.

Tak terasa kami sudah berada lagi di Tugu Polo Malelae Uloe dan mengambil arah kiri menuju Sengkang. Anak-anak khususnya Suar yang badannya semakin hangat dalam kondisi tertidur. Saya sempat singgah ke apotik untuk membelikan Suar paracetamol. Sekitar pukul 10 lewat kami tiba di Kota Sengkang dan menuju Sallo Hotel yang sebelumnya sudah dibooking ibunya maha. Sallo Hotel berada di kawasan Sallo Mall. Satu-satunya mall di Kota Sengkang.

Tiba di hote kami langsung menuju kamar yang berada di lantai 3. Dan tak lama anak-anak terlelap. Terang bulan yang sempat kami beli pun tak terjamah oleh mereka. Suar yang lebih dulu terlelap mesti saya bangunkan dulu untuk minum obat.Formasi tidurnya seperti biasa. Mereka semua di kasur, saya di lantai beralaskan selimut yang lumayan tebal..Hehehe.

Bersambung...

Bapak mahaSuarRekah, 24 Desember 2023

Komentar

Postingan Populer