Keluarga yang "sepi"

Sejak pertama kali mendengar lagu Heal The Worldnya Michael Jackson, saya langsung jatuh cinta dengan lagu itu. Meski lagu itu pula yang mengingatkanku akan “kebiadaban” dan dehumanisasi masa-masa ospek. Lagu ini akan akrab terdengar ketika teman-teman mahasiswa baru masuk apalagi menjelang kegiatan tahunan “Golden Moment. Meski saat-saat seperti itu lagu ini terus terdengar namun saya toh tidak pernah bosan mendengarnya. Menurutku lagu ini memang memiliki spirit yang kuat dan tentu sarat dengan pesan-pesan kemanusiaan. Lagu ini memang akan terasa lebih khidmat ketika didengarkan bersama-sama apalagi pada momentum-momentum tertentu, misalnya saat perayaan Ultah Himahi. Lagu ini seakan ”menyihir” kita untuk kembali mengingat bahwa kebersamaan dan kekeluargaan adalah modal utama hingga keluarga kecil kita ini bisa tetap bertahan.
          Beberapa bulan kemarin, keluarga kita genap berusia 21 tahun dan moment ini seperti tahun-tahun kemarin dirayakan dengan sederhana. Perayaan ini selalu pula diramaikan dengan kehadiran saudara-saudari yang baru menginjakkan kakinya di keluarga kita ini. Peringatan ini selalunya dirangkaikan dengan diskusi yg mengangkat tema-tema yang menarik tentunya dan diakhiri dengan pemotongan kue. tahun ini saya begitu berbangga diberi kesempatan menjadi salah satu panelis pada sesi diskusi dan ini bertambah karena dalam undangan tertera bahwa panelis lain adalah Kak Agus dan Pak Aspi yang notabene adalah dosen-dosenku ketika kuliah dulu. Namun ternyata saya agak kecewa karena yg hadir hanya kak Agus dan itupun diakhir-akhir diskusi. Tapi bagiku itu tetap kebanggaan tersendiri.
          Perayaan ultah himahi tahun ini memang tetap diwarnai dengan pemotongan kue yg memang sangat ditunggu-tunggu, namun sesaat setelah acara selesai saya merasa ada sesuatu yg kurang dari acara ini. Setelah sekian lama berpikir dan mencari apa gerangan yg membuat acara ini tidak sekhidmat dulu akhirnya saya sadari bahwa lagu Heal The World tidak terdengar siang itu. Saya tidak mengerti kenapa insiden itu bisa terjadi tapi saya coba untuk tetap berpikir positif mungkin karena panitia memang lupa apalagi memang konstalasi kampus sedang tidak kondusif bahkan acara itu pun sempat dilarang untuk diadakan dengan alasan yg tidak jelas. Terlepas bahwa insiden itu disengaja atau tidak namun entah mengapa insiden itu membuatku tiba-tiba takut jangan sampai ini pertanda kalau keluarga kecil ini perlahan-lahan telah kehilangan ”roh”nya hingga meski ramai keluarga ini tetap terasa sepi. Semoga ini dugaanku saja !
          Kemarin, untuk kesekian kalinya saya diberi kesempatan membawakan renungan atau lebih tepatnya sesi ”biskal” bersama teman-teman mahasiswa baru ’06. Pertama kali menginjakkan kaki didalam ruangan tempat didakannya fase awal pengkaderan maba ’06 yg dulu juga menjadi ruangan dimana saya bersama teman-teman angkatan 2000 ”dikader”, saya langsung merasakan aura yang lain dibanding tahun-tahun sebelumnya ketika saya dan abul (membaca nama yg terakhir ditulis sekalian mendoakannya agar anaknya bisa lahir dengan selamat, Amin) yg sebagian teman menyebut kami duet maut membawakan ”renungan”. Sepi. Mungkin ini kata yang tepat untuk mewakili apa yang saya rasakan kemarin. Saya sempat berpikir mungkin perasaan ini muncul karena beberapa hal; pertama, karena ospek tidak diadakan serentak sehingga kesan “meriah”nya berkurang apalagi maba dan panitia bersaing untuk tidak datang. Kedua, mungkin karena interior ruangan yg memang sangat ala kadarnya dibanding tahun-tahun sebelumnya dan ketika ini saya tanyakan ke steering maka saya temukan jawabannya bahwa karena ruangan baru bisa dibuka pagi hari. Lagi, saya mencoba berpikir positif. Atau mungkin karena alasan-alasan lain yang kemudian secara tidak sadar kembali membangun dugaanku!
          Tidak ada jerit tangis dan deraian air mata. Seperti itulah kondisi “renungan alias biskal berjamaah” kemarin. Sebagian teman sempat saya dengar kecewa dan merasa sesi ini tidak maksimal. Anggapan ini memang wajar muncul ke permukaan apalagi kalau mau dibandingkan dengan apa yg terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Tapi bagi saya kita sudah terlalu banyak menghabiskan air mata (coba ingat-ingat momen-momen yang telah kita lewati bersama di keluarga ini) dan saatnya melakukan sesuatu dengan kembali mengawalinya dengan optimisme dan sesekali mencoba mengapresiasi apa yg telah kita dapat dan coba untuk menjadikannya sebagai bahan pelajaran agar kelak ketika memang harus menangis air mata yang keluar tidak artifisial. Renungan kemarin memang “sepi”, namun semoga tidak demikian dihati kita.
          Awalnya sangat menyesal ! mengapa karena saya tidak hadir saat senior-senior dan teman-teman baru bersalam-salaman di sesi akhir pengkaderan tahap awal ini. Mengapa menyesal? Karena pasti momen itu akan diiringi dengan lantunan lagu Heal The World dan suasana keakraban yg begitu dalam. Namun setelah mendengar bagaimana teman-teman sibuk berpose-pose ria saat lagu kesukaanku itu dikumandangkan dan enggan lagi merenungi tiap bait lagu itu sembari kembali merefleksikan kondisi keluarga kita ini, saya buru-buru menarik perasaan sesal yg sebelumnya begitu besar. Bagiku ini bukan hal biasa lagi apalagi dilakukan oleh anggota keluarga yang lebih tua dan seharusnya memberi contoh yang baik bagi saudara-saudara kita yang sebentar lagi akan bersama kita membangun kejayaan keluarga ini. Bukan bermaksud mengkultuskan lagu ini namun insiden ini adalah simbolisasi dari keengganan kita untuk berpikir secara utuh dan bertindak secara rasional dan substantif. Artinya bahwa jangankan untuk berbuat bagi keluarga kita ini bahkan untuk sekedar meluangkan waktu untuk merefleksikan kondisi kita bersama pun sudah enggan kita lakukan. Tapi mungkin ini dugaanku saja! Tapi memang keluarga ini semakin sepi. Sepi dari segala-galanya..................

Bobhy
Wesabbe, 20 Nov ‘06

Komentar

Postingan Populer