Sore Setelah Pulang

Dulu saya tidak begitu setuju dengan atau lebih tepatnya tidak terlalu menggubris siapa pun yang membahas segala hal yang berkaitan dengan keinginan nikah muda. Padahal tidak sedikit teman-teman dekatku yang sangat giat berkampanye tentang kebaikan-kebaikan nikah muda. Masih terlalu banyak yang harus dilakukan ketimbang memikirkan atau terobsesi dengan keinginan untuk segera menikah, begitu pikirku sebelum-sebelumnya. Untuk urusan ini, saya boleh dikategorikan bersama mereka yang determinis. Bukankah jodoh sudah ada takdirnya, jadi tak perlu direncanakan. Pelan-pelan saja, toh ia akan datang sendiri. Seperti yang sudah kubilang, masih terlalu banyak mimpi-mimpi masa muda yang belum terwujud. Kalau Soekarno bilang, Revolusi Belum Selesai! Yah, begitulah sederhananya. Sebuah alasan yang belakangan banyak kuralat dan kubalikkan logikanya.

Dan semuanya bermula dari sore itu setelah pulang…

Kapal sudah mengangkat jangkarnya pertanda sebentar lagi ia akan meninggalkan pelabuhan. Tangga darurat pun sudah naik semeter. Dari kejauhan kuberlari dan tak sempat lagi kucium tangan Ibu yang mengantarku ke pelabuhan. Saya penumpang terakhir yang naik kapal. Terengah-engah kulambaikan tangan kepada Ibu. Selalu sedih saat berpisah dengan Ibu apalagi sejak bapak telah pergi. Tapi kepulanganku kali ini ke Makassar membawa sesuatu. Keyakinan yang tak akan kutawar-tawar lagi. Dan akan segera kusampaikan sesaat kutiba di Makassar.
Sore itu, mendung disusul hujan-hujan kecil menyambutku yang baru tiba di Pelabuhan Soekarno-Hatta Makassar. Tak berapa lama aku sudah berada di atas pete-pete Sentral-Daya. Makassar belum lagi macet saat itu sehingga dengan durasi yang tepat saya sudah berada di depan pintu kos-kosan yang berdekatan dengan sebuah universitas swasta yang tak begitu jauh dari sebuah sekolah asrama dimana aku menghabiskan enam tahun masa mudaku. Universitas ini juga sangat akrab di kepalaku karena setauku dulu setiap invitasi bola basket tingkat universitas pasti menjadi juara satu. Bagaimana tidak hampir semua pemain PORDA bermain untuk tim kampus ini.
Pintu segera terbuka setelah kuketuk. Sesosok wajah perempuan yang bertubuh kecil namun menyimpan sesuatu yang luar biasa. Sore itu, ada kerinduan di wajahnya. Setelah lumayan lama kami tak bertemu. Hari itu, menggenapi dua tahun kami bersama saling mempelajari tentang segala hal dalam diri kami masing-masing. Dan dalam dua tahun itu, cukup banyak yang telah kami ketahui dari masing-masing kami untuk kemudian terus menggenapi proses belajar yang telah kami sepakati sejak pertama kali menjadi lebih akrab meski tak pernah kami memproklamirkannya. Apalagi sampai membuat acara traktiran kepada teman-teman. Semuanya kami mulai dengan komitmen untuk saling mempelajari dan bersama belajar. Itu saja! Dan dua tahun itu sudah membuatku yakin bahwa berjuang berdua lebih baik ketimbang berjuang sendirian. Masuk surga bersama-sama akan lebih baik ketimbang ber surga sendirian.

Sore itu, tak ragu sedikit pun kunyatakan kesediaan perempuan itu untuk menemaniku menyelesaikan revolusi yang belum selesai. Menemaniku mengeja dunia yang semakin pincang dengan pilihan-pilihan monoton yang tak berselera. Bersamaku membangun tapak demi tapak menuju dunia yang menampakkan wajah yang sederhana tanpa kerakusan. Dan menguatkan diriku untuk terus memberi jawaban kepada generasi berikutnya bahwa kami tak kalah. Kami telah berusaha dan akan terus berusaha sampai batasnya kelak.

Dan tangis perempuan itu melegakanku. Ia setuju. Dan kami tak berhenti belajar.

Hari ini ia berulang tahun. Dan aku sangat ingin berada disampingnya sekarang. Tak ingin kumemintanya meniup lilin karena sekarang pasti ia sedang terlelap. Aku hanya ingin mendendangkan potongan lirik ini, I’m Sticking With You!

Demi sore itu setelah aku pulang!


X Code, Jogja
29 Nov ‘11
Tak sabar ingin pulang

Komentar

Postingan Populer