Cinta dan Pete-Pete

Kumulai edisi khusus Ten Stories, A Bunch Of Love ini dengan cerita saat Ibunya Mahatma memulai mimpinya menjadi seniman “agak serius”, meski kemudian harus berakhir dengan sedikit kecewa karena pilihan-pilihan, di sebuah komunitas seni kampus, Teater Kampus Unhas (TKU). Sepertinya hari-hari yang akan saya ceritakan ini terjadi sekitar tahun 2003 akhir karena saat itu Ibunya Mahatma juga masih berstatus mahasiswa baru seingatku.
Sebelum akhirnya memilih mengikuti seleksi anggota TKU, komrad seingatku (lagi) sempat berniat ingin mendaftar dan mengikuti diklat di Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) Unhas. Entah kenapa niatan itu akhirnya tidak terwujud. Dan kemudian memilih mengikuti Proses Penerimaan Anggota Baru (PPCA, cocokmi toh!) di TKU. Kalau tak salah ingat lagi, saat itu bahkan saya juga sempat berniat ikut mendaftar di TKU namun juga tak tahu kenapa akhirnya batal (hehehe…).
Dari cerita komrad, sejak zaman sekolah dulu ia memang gemar menulis, khususnya puisi dan cerpen. Komrad (panggilanku untuk Ibunya Mahatma) dulu pernah memperlihatkan beberapa buku yang berisi puisi dan cerita pendek yang ditulis tangan. Sejak zaman SD juga ia gemar ikut perlombaan baca puisi. Dan selain itu, komrad juga lumayan piawai bernyanyi yang kelak membuat maha selalu ketagihan minta dinyanyikan sebelum tidur karena suaranya yang jauh di atas rata-rata penyanyi menya-menye yang lahir dari industri musik tak jelas hari-hari ini. Kegemaran-kegemaran itu pula lah yang menurutku menjadi alasan komrad berniat masuk ke dua UKM di atas. Meski akhirnya ia lebih memilih TKU.
Tidak tahu bagaimana awalnya niatan itu muncul. Malam itu, saya bersama kedua saudaraku, Dudi dan Edha memilih menunggu komrad menyelesaikan materi dari Anto, salah seorang senior TKU. Kami menunggu cukup lama, tepatnya sangat lama. Saya mulai menggerutu dalam hati. Ini pasti akal-akalan senior-seniornya saja untuk berlama-lama meski materi sebenarnya sudah lama usai, trik lama dan using, biasa ajang aktualisasi diri senior-senior. Dan setelah menunggu dalam waktu yang cukup lama akhirnya komrad selesai juga menerima materi. Dan kemudian, saya dan dudi mengantarnya pulang setelah pamitan sama Edha. Disini cerita itu bermulai!
Malam-malam berikutnya, saya tetap mengantar komrad pulang karena materi selalu selesai pada waktu yang sudah lumayan larut untuk seorang gadis perempuan dan baru pula menetap di Makassar. Tapi untuk selanjutnya ini Dudi tak ikut lagi karena ia harus nyiar After Dark di EBS Unhas.
Komrad dulu tinggal di Perumahan Harmonis, Toddopuli. Jauh toh! Dan saya mengantarnya pulang naik pete-pete (mikrolet). Sekali lagi pete-pete! Karena saat itu saya masih belum melek bawa motor. Hahaha… Rute menuju Toddopuli kalau dari Unhas berarti kita harus naik pete-pete dua kali. Pertama bisa turun di Hertasning terus menunggu kalau mujur dapat pete-pete yang mau lewat Toddopuli atau turun di Ujung Pettarani dan ambil pete-pete Pa’baeng-baneng – Perumnas yang pasti lewat Toddopuli. Saat menuju Toddopuli tidak selalu mendapat kendala karena pete-pete kampus yang menuju Pettarani masih beroperasi. Yang parah kalau saya pulang karena biasanya sudah jam 12 tengah malam bahkan pernah jam 1 subuh. Maka biasanya saya menunggu agak lama sampai ada pete-pete itu pun yang ke sentral dulu. Sampai di sentral lama lagi tunggu pete Daya. Bukan main, anjo mi ni kana pengorbanang!I Dan aktivitas layanan antar pulang ini hamper tiap hari saya lakukan saat komrad masih PPCA. Bayangkan lagi nah, biar lebih terasa perjuangannya. Di Toddopuli tommi, naik pete-pete pula terus tengah malam saat karebosi dan sekitarnya hanya dipenuhi mata yang saling mencurigai. Mengerikan!
Tapi saya kira memang begitu kalau berusaha? Haha…jangan salah kaprah dulu. Saat itu, belum ada niatan odo’-odo’ alias PDKT. Jadi ini sama sekali bukan trik senior mendekati mabanya seperti yang sering dipraktekkan para senior-senior, dan mungkin hingga kini. Sebelumnya saya memang sudah akrab dengan komrad. Sesama kawan, makanya ia kuberi nama komrad. Dari kata Comrade, yang berarti kawan dalam bahasa Inggris.
Kembali ke niatan PDKT itu. Saya ingat sekali dengan Nanang, kakak iparku, yang nampak begitu curiga saat kuantar komrad suatu malam. Jadi saat mau pulang dan komrad mengantarku menunggu pete-pete tiba-tiba Nanang juga ikut bergegas menuju tempat tunggu pete-pete padahal sebelumnya saya lihat dia sudah tidur depan tivi. Kecurigaan yang wajar kupikir sebagai seorang kakak yang ingin melindungi adiknya dari rayu goda senior yang begitu banyak bertebaran saat mahasiswa baru datang. Tapi over generalisasi juga bisa berakibat fatal karena diriku yang low profile dan selalu ikhlas membantu teman-teman mahasiswa baru juga kena prasangka. Ketawa sendiri mengingat itu.
Intensitas bertemu yang semakin sering membuat saya belajar banyak tentang komrad, dan kukira ia juga seperti itu. Saya mulai tahu saat bagaimana dank arena alasan apa komrad bisa marah begitu juga ia kepada saya. Saya sudah mulai berbagi cerita tentang mimpi-mimpi besar yang ada di kepalaku, dan selalu dengan semangat ia memperhatikan meski dalam pete-pete dan dalam keadaan letih. Ia juga mulai terbuka menceritakan banyak hal yang belum pernah diceritakan ke siapa pun. Dan kami mulai belajar dan berbagi tentang apa saja.

Lalu semuanya berjalan dalam ruang itu. Ruang yang berisi rasa yang tak sadar terus menelisik hingga jauh. Dan kami mulai belajar menerjemahkan dan menjalaninya meski dengan masih terbata-bata dan sangat pelan. Dan kubangun semuanya bersama keyakinan bahwa suatu waktu rasa itu akan mewujud dalam pori cinta.

Atas nama jamaliyah Tuhan yang kulihat di dirimu, komradku.


X Code, 27 Nov ‘11
Mengulik ingatanku yang payah…

Komentar

Postingan Populer