Pete-pete, Daeng Becak dan Pasar Terong, di Pagi Hari


Makassar di pagi hari, adalah pemandangan yang hampir kulupakan sejak mahasiswa baru dulu. Aku berkenalan dengan Makassar cukup cepat, akrab dan hangat. Mengikuti bimbingan intensif dengan jadwal padat yang saat itu dengan aturan tidak boleh terlambat, aku telah menyelami Makassar di pagi hari. Melewati kesibukan kota, menyelami pagi yang sudah berteman polusi, tapi aku selalu menikmatinya. Selanjutnya, perjalanan pagiku menyusuri Makassar kumulai lagi, saat telah dinyatakan lulus. Tepatnya saat kuiikuti rentetan kegiatan OSPEK yang melelahkan. Sejak matahari masih muncul malu-malu hingga ia berganti tempat dengan bulan. Pagi saat itu, tidak terlalu bersahabat walau aku jarang berjumpa dengan kemacetan tapi tetap saja motivasi menemui pagi didorong oleh rasa takut akan iming-imng hukuman kakak-kakak senior. Hmmm..hari-hari yang…..
Dan..setelah lama tak bersama pagi, saat-saat itu kumulai lagi. Kerja mengharuskanku beradu cepat dengan matahari, tiba di sekolah sebelum pukul 7 teng dan mau tidak mau aku harus menikmatinya, atau aku akan terjebak dalam kebosanan yang akan memperburuk hari-hariku. Dan inilah pagiku, kutemui Makassar bersama pete-pete, daeng becak dan pasar terong di pagi hari.
Aku melewati rute yang sama tiap pagi selama 5 hari dalam seminggu sejak hampir 4 bulan yang lalu. Aku tidak butuh waktu lama untuk menikmati perjalanan pagiku yang biasanya kumulai dengan berat.
Mengawali langkahku menuju sekolah, kususuri jalan setapak keluar dari Jln. Sahabat masih di Kawasan UNHAS. Di pagi hari menunggu pete-pete, bukanlah hal yang sulit. Penumpang belum begitu berdesakan, lebih banyak pete-pete masih terisi dua sampai tiga penumpang. Untuk ruteku, aku bisa menggunakan pete-pete 05 dan 02. Dua-duanya melewati Jln. G. Bawakaraeng, tepatnya depan pasar terong.  Aku bukan tipe orang yang jika ingin bepergian, harus memilih angkutan dari tampakannya, Jika ada pete-pete yang singgah di hadapanku, aku langsung naik tanpa babibu.
Bersama pete-pete menyusuri jalan, ada banyak hal yang bisa kulakukan. Aku lebih sering membaca, dan tempat duduk favoritku selalu di sudut belakang, jika ingin melakukan aktivitas itu. Tapi, saat malas melakukannya, aku senangmemperhatikan or juga yang yang bersamaku di pete-pete itu. aku suka menerka pekerjaan mereka, dengan siapa sia sedang berkirim sms, dari mana ia atau segala hal yang aku tebak lewat pakaian mereka, raut wajah, kerutan kening atau apa saja. Aku juga senang memperhatikan sopir pete-pete. Ada dua tipe sabar ala sopir pete-pete yang kukenal. Tipe sabar pertama, adalah sopir yang singgah di setiap ujung jalan, dan menunggu penumpang bahkan dari jarak 500 meter, yang belum pasti akan menggunakan pete-petenya atau tidak, dia biasanya tidak akan bergeming, walau penumpang nun jauh di sana sudah melambaikan tangan, apalagi jika calon penumpangnya hanya menatap tanpa ekspresi. Dia senantiasa membunyikan klakson, maju mundur sedikit-sedikit, dan tetap menunggu hingga calon penumpang itu berlalu, menyetop angkutan lain, atau tetap berdiri masih tanpa ekspresi. Karena begitu sabarnya, hal ini bisa ia lakukan lagi untuk menunggu calon penumpang berikutnya yang jaraknya masih lebih jauh, dan melakukannya hampir di semua persimpangan, di depan pusat-pusat keramaian, di ujung-ujung jalan. Dan tipe sabar sopir yang seperti ini, kujamin sangat menjengkelkan. Makan waktu, dan kebanyakan tidak berhasil menarik penumpang. Dan aku kerap menemuinya di pagi hari.
Tipe sabar yang kedua adalah sopir yang walau pagi buta menekan gas mobilnya dengan kencang, hanya singgah ketika calon penumpang menyetop mobilnya. Ia sabar dengan meyakini bahwa banyak penumpang yang akan naik tanpa harus ia tunggui. Apalagi di pagi hari seperti ini, Sabar seperti inilah yang menyenangkan di pagi hari. dan biasanya terbukti, pete-petenya akan melaju dengan penumpang yang full. Dua tipe ini, sangat menentukan terlambat atau tidaknya diriku menginjakkan kaki di sekolah dan akan menentukan apakah rute berikutnya harus kulewati dengan jalan kaki atau naik becak.
Singgah di depan pasar terong, aku selalu hati-hati. Tidak ada jembatan penyebrangan, dan kendaraan begitu padat. Di seberang jalan, abang becak biasanya sudah menanti. Bersaing sesama mereka memperebutkan calon penumpangnya. Ada puluhan daeng becak yang parkir di ujung pasar terong. Ada yang sudah renta, ada juga yang masih keliahatan bugar. Memilih tukang becak, sangatlah subjektif. Ada dari mereka yang gigih, dan menjemput calon penumpangnya di depan pintu pete-pete, menemaninya menyebrang, lalu menawarkan becaknya. Jika sudah begitu, aku pasti tidak akan menolak. Dengan becak, perjalanan hanya ditempuh 5 menit menuju sekolah, apalagi jika tukang becaknya bersemangat pasti kurang dari itu. Sepanjang perjalanan, daeng becak, tidak berhenti menyembunyikan klakson dengan beragam bunyi. Jika tidak punya, daeng becak mengandalkan suara mereka sepanjang jalan itu. Bagaimana tidak? Jalanan ini adalah tempat transaksi jual beli, bermacam sayuran, buah, bumbu,-bumbu,  sembako, segala yang kita konmsumsi tiap hari sudah mejeng hampir memenuhi badan jalan. Jika tukang becaknya, tidak inovatif, ia akan mengalah oleh kerumunan orang yang meneteng keranjang belanjaan. Aku menikmati setiap kayuhan daeng becak, dengan menjajakan mataku ke kiri dan ke kanan, menikmati segarnya pasar terong yang menjadi tempat berkumpulnya hasil bumi ini.
Jika ingin menikmati pasar terong, aku akan memilih berjalan kaki. Tentunya dengan mempertimbangkan kondisi waktu. Dengan berjalan kaki, rute ini kutempuh sekitar 10 menit. 10 menit yang begitu kaya. Mataku disegarkan dengan warna warni sayuran segar, buah-buahan, hasil perkebunan, hasil sawah, hasil laut, dan semua tampil dengan ukuran yang massif. Mereka menggunung-gunung sepanjang jalan ini. Mereka seolah berlomba menjadi pemenang untuk berubah menjadi uang. Dan hal ini,sangat bergantung dengan penjual yang menjajakannya. Pagi-pagi seperti ini, dan sepanjang yang kulalui, hampir semua pedagang di sini adalah perempuan paruh baya, namun usia tidak menghalangi mereka untuk berteriak-teriak mempromosikan jualan mereka. Mereka tidak kalah semangat dengan penjual obat yang menggunakan loudspeaker untuk obat-obatannya. Melalui sepanjang jalan ini, aku selalu tersenyum takjub. Mereka diselimuti semangat yang tidak habis-habis.
Dan aku? Bukanlah apa-apa, jika dibandingkan dengan semua orang-orang ini. Pak sopir, daeng becak, pedagang di pasar terong, mereka menghabiskan hidupnya setiap pagi, bahkan mungkin jauh sebelum matahari terbit. Pagi hari, mereka dengan semangat keluar dari rumah untuk hidup mereka, istri mereka, dan anak-anak mereka. Mungkin tidak akan ada penumpang untuk sopir dan daeng becak, mungkin tidak akan ada yang membeli dagangan si penjual, tapi besoknya dengan semangat yang sama mereka melakukan hal yang sama lagi. Besoknya lagi..besoknya lagi..besoknya lagi..,sekali lagi untuk hidup mereka.
Dan aku berhutang banyak pada mereka. Saat pagi hari, saat aku tak rela mengorbankan tidurku, dan berjalan ogah-ogahan menuju sekolah kucuri semangat dari sudut mata pak sopir di kaca spionnya, kucuri juga di sudut mata daeng becak saat mengharapkan aku menumpangi becaknya, juga di sela teriakan pedagang-pedagang di pasar terong menjajakan jualannya. Di pagi hari, mereka menitipkan semangat untukku, untuk lagi kuberikan pada anak-anak yang menungguku di depan sekolah dan menyambutku dengan senyum.
Yah..hidup sejak kecil mengajarkanku akan kerja keras, lewat bapak, lewat orang-orang di sekitarku. Dan kali ini, lewat manusia-manusia besar yang kadang dikerdilkan oleh kehidupan ini, aku belajar akan semangat, kerja keras, hampir tiap pagi, saat Makassar beranjak bangun dari tidur, masih terlihat cantik, asri dan segar, sesaat sebelum ia memulai kesibukannya yang panas dan sesekali  sangat ganas untuk orang-orang ini.

Juni 2007
# mengakhiri musim ujian                                                         

Komentar

Postingan Populer