Paradigma Itu Dekat ji !

Selama masih bisa jalan kaki, aku lebih memilih untuk berjalan kaki untuk sampai ke tempat yang aku tuju. Saat masih mahasiswa dan lagi semangat-semangatnya, begitu prinsipku. Dan untuk urusan jalan kaki, saat itu saya termasuk yang lumayan punya stamina meski secara fisik lumayan kecil. Selain itu, saya juga mempunyai langkah yang lumayan cepat. Kecepatan jalanku ini justru kunikmati saat berjalan sendiri sehingga membuatku cepat sampai ditujuan. Dan karena belum punya gadget yang berisi lagu-lagu beserta headset yang membuatku bisa sambil berdendang di perjalanan, saya biasanya memilih berbicara atau berceloteh sendiri. Temanya macam-macam, biasanya apa yang kuliat atau kudengar di tengah perjalanan akan kujadikan tema omonganku. Bertanya dan kujawab sendiri. Emang rada gila! Tapi “kegilaan” kan awal dari makrifat. Haha…mulai mi seng.
Itu kalau jalan sendirian. Tapi lain hal kalau saya jalan bersama beberapa orang. Saya akan merasa begitu agak kurang nyaman. Karena saya selalu tak sadar sudah agak jauh di depan dan saat begitu saya pasti harus berhenti dan menunggu mereka. Dan hingga sampai di tujuan, hal seperti itu akan terulang berkali-kali. Dan karena kebiasaanku itu, dulu seringkali saya berpikir pasti tidak bisa berjalan bersama pacar. Alasannya ada dua. Pertama, belum tentu si pacar suka jalan kaki apalagi untuk jarak yang tidak rasional bahkan bagi laki-laki sekalipun. Kedua, jangan sampai nda sadar saya sudah berada jauh di depan dan si pacar tertinggal di belakang dan akhirnya ngambek.
Tapi keraguan sekaligus ketakutan yang kubuat-buat sendiri itu harus pula kucari jawabannya sendiri. Setelah lumayan dekat dengan komrad (baca: Ibunya Mahatma), ia ku ”latih” untuk terbiasa dulu berjalan kaki. Tentunya dengan jarak yang masih rasional. Rutenya masih seputaran Unhas. Semuanya dilakukan dengan perlahan-lahan. Kalau rute Fisip – Pintu I sudah bisa dilalui tanpa keluhan, atau Fisip – Pintu II kita coba rute yang agak berkelok dan pemandangan yang berbeda, misalnya Fisip – Fakultas Kelautan. Dan rute-rute ini tentu tidak sesekali kami lewati tapi berkali-kali. Apakah tak ada keluhan? Pasti lah ada. Dengan tubuh komradku yang lumayan kecil, keluhan tentu seringkali terlontar dan apalagi kalau langkahku sudah terlalu cepat tanpa sadar dan ia agak susah mengimbangiku. Teriakan khasnya yang agak melengking akan terdengar dari belakang dan saat itu pula baru saya sadar kalau telah meninggalkannya terlalu jauh di belakang. Tapi akhirnya rute-rute standar seputaran Fisip – Pintu I & II, Pondokan menjadi biasa. Dan akhirnya, kami menganggap agak mubazzir menghabiskan sekian rupiah kalau hanya mau ke Pintu I atau II Unhas, lebih baik kami memilih berjalan kaki. Dan setelahnya, rute berikutnya adalah Fisip – Wesabbe dimana aku nge kos bersama teman-teman HI lainnya. Dan tak lama beradaptasi, rute itu pun jadi biasa.
Nah, berikut ini kisah yang tak mungkin kulupa. Dan komrad juga pasti tak lupa. Karena rute seputar Unhas sudah biasa, aku memilih rute lain. Saat itu, seingatku sore hari (entah di bulan dan tahun berapa, aku betul-betul lupa). Saya mengajak komrad ke salah satu toko buku indie favoritku yang kukenal sejak masih tinggal di BTN Tabaria. Paradigma, nama toko buku itu. Ia terletak di Jl. Manuruki, Lorong Pa’bentengang (kulupa Manuruki berapa) yang jalan masuknya berhadapan dengan Rumah Tahanan Alauddin. Baru saja kuingat, komrad saat itu mau membeli buku pengantar HI nya George Sorensen. Sore itu, kali pertama kami akan kesana. Dan komrad sama sekali tak kuberitahu rutenya dan ia pun sama sekali tak punya gambaran. Artinya, ia hanya sami’na wa atho’na dengan langkah kakiku. Pasrah kemana saja ia akan berlabuh.
Dengan pete-pete 07 (arah Unhas-Pettarani), kami turun di Ujung Jalan Pettarani. Dan perjalanan di mulai.

“Dekatji komrad, ayo’mi jalan. Rayuku dengan senyum.

“serius ki komrad, dekat ji toh”. Komrad tak mau lagi kena tipuku yang sering mengumbar jarak yang dekat ternyata “dekat gunung” (kalau gunung kan dari jauh seperti dekat jaraknya tapi saat dijalani, gila jauh betul).

“dekatji, seriuska’. Kembali kumeyakinkan.

Dan akhirnya kami berjalan. Dari Ujung Pettarani ke Pa’bentengang lumayan jauhlah. Saya saja yang sudah sering agak ngos-ngosan apalagi komrad. Buktinya saat ia merasa berjalan sudah agak jauh, mulailah ia bertanya-tanya dan semakin lama semakin keras dan meringis karena betis yang sudah lelah. Dengan santai, kuyakinkan kalau sebentar lagi pasti sampai meski sebenarnya masih agak jauh. Dan meski sudah letih tak mungkin berhenti dan memutuskan pulang. Akhirnya, mesti tertatih akhirnya kami sampai juga di oko Buku Paradigma. Saat sampai, keletihan seperti terbayar dengan suasana took buku sederhana itu dan apalagi mendapati keramahan Ustaz Zulham, si pemilik toko buku, yang membuat kita seperti ada di perpustakaan sendiri. Buku Sorensen di tangan dan kami pulang. Tentu tak jalan kaki lagi.

Jalan kaki bagiku bersama komrad, bukan soal berapa rupiah yang kita hemat. Meski saat bokek sekali, itu juga jadi pertimbangan untuk memilih berjalan kaki. Tapi yang utama, ada sensasi saat berjalan kaki. Kami akan bercerita dan saling berbagi tentang banyak hal. Meski juga tak jarang kami justru tak saling berbicara karena sesuatu yang tak jelas dan membuat kami berdua agak emosi. Namun, semua ini bagiku hanya urusan selera metode membangun hubungan dengan kekasih. Mau yang biasa saja meski terlihat seolah mewah atau yang agak militant meski terlihat murah namun sederhana. Dan kami sejak dulu memilih yang sederhana saja. Dan kesederhanaan bagi kami adalah “nama tengah” dari cinta.

Mari berjalan kaki.

Jogja, X Code
27Nov ‘11
Setelah nonton Risky Summerbee & The Honeythief
di Tahun Baru Hijriyah

Komentar

Postingan Populer