Kisah Sepatu

Kisah ini harusnya kuceritakan beberapa bulan lalu namun selalu tak sempat. Pagi ini, sesaat setelah membolak balik buku wawancara Marta Harnecker bersama Comandante Chavez dan berharap mendapatkan sebongkah inspirasi untuk melanjutkan penulisan tesis, kembali kuingat kisah lucu (yang bermula dari keteledoranku) bersama jagoan kecilku Mahatma beberapa bulan lalu dan kupikir pagi ini kupunya cukup waktu untuk menceritakannya. Ini kisah tentang sepatu. 
“Semua sepatunya maha sudah sempit, jadi sepertinya ia sudah harus dibelikan yang baru”, pesan Ibunya kepadaku. Dan sepertinya pesan itu sekaligus instruksi yang mendesak harus dilaksanakan. Untuk urusan pakaian maha dan kelengkapan lainnya, kami memang selalu harus menjadikannya sebagai salah satu prioritas yang sebisa mungkin diupayakan untuk diadakan meski tak perlu harus ngotot. Dan walhasil seringkali kebutuhan kami berdua harus ditunda dulu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya mahatma. Tapi tak apa yang penting ia selalu terlihat gagah dan menarik. Meski sebenarnya tanpa di make over maha pati tetap mempesona. Hmm…buah memang tidak jatuh jauh dari pohonnya…Hahahaha….!
Untuk urusan membuat anak tampil menarik, saya dulu berpikir semua orang tua akan menjadikannya sebagai prioritas sebelum mempercantik atau mempergagah diri sendiri. Tapi anggapanku itu ternyata tidak selalu betul karena sudah sering saya temui ada ibu-ibu yang betul-betul tampil wah dengan segala perniknya meski lebih sering terlihat agak menor sih dan membiarkan pakaian anaknya tidak nyambung atas dan bawah, kulit kusam dan pokoknya tak menarik. Dan parahnya, kalau dilihat dari dandanan dan perabotan yang melekat pada sekujur tubuh ibunya terlihat kalau secara ekonomi sangat mampu. Selalu tak habis pikir melihat ketegaan seperti itu!
Memang urusan membuat anak tampil menarik, menurutku tidak selalu hanya urusan bagus atau tidak, mahal atau tidak pakaian yang dikenakannya. Urusan selera orang tua saya pikir juga memberikan andil penting dan untuk itu informasi, pengetahuan dan tentunya kedalaman rasa menjadi elemen penting yang perlu terus digali atau tepatnya dieksplorasi. Sekali lagi, menurutku tak perlu mahal tapi yang penting bagaimana mengasah kemampuan kita untuk memaduserasikannya. Bukan begitu Ibu-ibu? Hahaha…!
Nah, kembali ke urusan sepatu. Menerima pesan sekaligus instruksi langsung dari bilangan M.H Thamrin Bajoe, tempat yang hendak kutuju langsung tergambar jelas di kepalaku. Jl. Mataram. Saya kira semua orang yang pernah lama atau mungkin hanya sebentar di Jogja sangat tau kalau menyebut nama jalan ini. Di sepanjang jalan ini terlihat deretan pedagang sepatu kaki lima yang terus dipenuhi pembeli apalagi di akhir pekan atau hari-hari libur. Tentu karena harganya yang lumayan miring dan kualitasnya lumayan baik. Dan dengan filosofi tak perlu mahal yang penting bagaimana bisa memaduserasikan, maka sepatu dari Jl. Mataram menjadi relevan untuk maha. Dan tak perlu menunggu lama, Om Sawing segera memacu roda duanya menemaniku mencari sepatu yang pas untuk maha.
Sampai di Jl. Mataram, masalah yang tak pernah kuduga muncul tiba-tiba. Berapa ukuran sepatu maha? Tapi dengan segera itu dapat kuatasi dengan mengandalkan ingatan tentang tubuh kecil jagoanku itu dan mencocokkan dengan umurnya yang saat itu kira-kira 2 tahun lebih beberapa bulan. Saya pikir kalau bertanya ke Ibunya tentang ukuran sepatunya maha akan nampak kalau Papa Bebi ini bukan bapak yang perhatian terhadap anaknya. Jadi mulailah saya mengingat-ingat dan membayangkan ukuran kaki Mahatma Ali El Gaza. Dan tak pernah sekali pun saya sadari kalau ingatanku kadang-kadang agak trouble. Pokoknya percaya diri!
Setelah menelusuri pedang sepatu kaki lima Jl. Mataram akhirnya kujatuhkan pilihan ke sepatu yang menurutku cocok dengan kaki mungilnya maha. Saya memilih yang berwarna hitam dengan model ¾ a la Converse. Untuk pilihan ini, sebenarnya saya agak terobsesi dengan style little rocker. Saya selalu senang anak kecil yang memakai T Shirt dengan lengan ¾ dengan celana pendek melewati lutut sedikit dan mengenakan kaos kaki dan sepatu hitam ¾. Seperti dugaanku harganya sangat miring dan tanpa ba bi bu langsung bungkus dan pulang. Sebenarnya saya juga punya pilihan alternatif yang juga tak kalah keren dengan harga yang tetap miring tentunya tapi menurutku terlalu kecil untuk maha.
Setiap habis membelikan sesuatu untuk maha, saya selalu tak sabar untuk mengirimkannya dan tak sabar mengetahui bagaimana responnya dari cerita Ibunya. Tapi entah kenapa, sepatu itu tak pernah kukirim sampai akhirnya kubawa sendiri saat balik ke Bone. Saat tiba di rumah, melihat wajah jagoan kecilku itu yang belakangan sering kutinggalkan membuat kerinduanku segera sirna. Dan segera kusodorkan sepatu pilihan Papa Bebinya. Dan tau kah kalian? Ternyata sepatunya kebesaran tepatnya terlalu besar. Sepatu itu lebih cocok untuk Haekal, Om kecilnya maha yang sebentar lagi duduk di kelas 1 SD. Waduh betapa kecewanya diriku.
Tapi yang membuatku agak bahagia karena maha sama sekali tidak menunjukkan kekecewaan meski seringkali ia mengulangi “papa bebi sepatu mamma terlalu beca (besar)”. Seperti tau kalau saya begitu kecewa, maha berusaha menghiburku dengan mulai menunjukkan sepatu “salah pilih” nya ke semua penghuni rumah dan ke siapa saja yang datang berkunjung ke rumah. Tidak sampai disitu, ia mulai berkeliling rumah dengan mengenakan sepatu besarnya itu dan berjalan atau tepatnya menyeret sepatunya mengitari rumah, memamerkan sepatu barunya. Dan bahkan ia tak rela memberikan sepatu itu ke Om Haekal nya dengan iming-iming sepatu lain yang lebih cocok untuknya. Tegas ia menolaknya. Dan yang paling membuat seisi rumah selalu tidak setuju kalau ia meminta dipakaikan sepatu besarnya itu untuk urusan jalan-jalan ke luar saat ia harus tampil rapi dan mempesona. Tapi ia selalu bersikeras tetap akan memakainya meski akhirnya selalu harus takluk dengan 1001 bujuk rayu Ibunya. Jadi terharu!
Beberapa bulan kemudian, ku kembali ke Jl. Mataram tapi tak perlu mengitari semua kaki lima karena tujuanku langsung ke tempat sepatu yang sebelumnya kukira terlalu kecil untuk maha. Tapi kali ini tak lagi kuandalkan ingatanku yang payah itu. Kali ini kupersenjatai diriku dengan sebatang lidi yang kusesuaikan dengan ukuran kaki maha yang sebelumnya kuminta dari Ibunya. Dan kemudian kudengar kabar maha senang dengan sepatu barunya yang ssesuai dengan ukuran kakinya. Saat itu ia punya dua sepatu baru. “Satu yang “beca” dan satu yang “keci”, ujar maha.

Berhentilah hanya mengandalkan ingatan!


X Code, Jogja
15 Nov ‘11
Blogging mo saja deh!

Komentar

Postingan Populer