Belajar Itu Sederhana

Judul di atas sepertinya sudah pernah kutulis, entah dipostingan mana. Tak apalah kuulangi, toh tak akan ada yang memarahi apalagi sampai menutup blog ini hanya karena menggunakan penggalan kata di atas. Pagi ini agak mumet mencari judul yang lain untuk kisahku berikut ini bersama komrad dulu. Dan di kepalaku yang terlintas hanya judul ini, meski coba kuotak-atik mencari clue macam-macam tapi akhirnya hanya ini yang berdiri paling depan. Belajar Itu Sederhana!
Saat masih menjadi mahasiswa baru, komrad dan beberapa teman angkatannya sudah sering berada di Wesabbe D/33, rumah kontrakan yang semua kamarnya diisi oleh teman-teman mahasiswa HI Unhas, yang juga kami jadikan semacam sekret kedua setelah himpunan. Bahkan beberapa ide kebijakan strategis himpunan yang mempengaruhi banyak hal kedepannya lahir dari tempat ini. Sehingga muncullah istilah maneuver wesabbe. Tak jelas pasti siapa yang memunculkan istilah ini. Tapi sepertinya Kanda Jusrin “ Joy” Junaid tahu genealogi istilah itu. Hahaha…
Karena sering di Wesabbe, komrad juga tahu betul aktivitas ku tiap harinya. Termasuk aktivitas politik ku saat itu. Cie, tapi saya bukan aktivis politik, jangan takut! Saya biasa-biasa saja dan tetap sederhana. Hampir tiap hari komrad mendapatiku pulang saat hari sudah akan beranjak sore dengan peluh dan wajah yang memerah dan tampakan yang lusuh meski semua itu tak mengurangi aura “kegagahan” yang telah inheren dalam diri serupa krisis yang inheren dalam tubuh kapitalisme. Inilah alasan mengapa menguasai media menjadi signifikan, karena kamu akan bisa narsis kapan saja tanpa sensor.

“dari mana komrad”, tanya Ibunya Mahatma hampir setiap hari saat badan belum juga berhasil mencari sandaran.

“biasa komrad”, yah kira-kira seperti itulah jawabku yang juga kuulangi hampir tiap hari saat kupulang dengan kondisi yang sama.

Komrad sudah tahu kalau hampir tiap hari saya terlibat dalam teriak  yang dipenuhi agitasi, mengumbar “cinta” terhadap republik ini dengan cara yang agak tidak biasa. Iya, tahun-tahun itu betul-betul hampir tiap hari kumenyapa lokasi-lokasi strategis yang oleh kawan-kawan sering disebut sebagai Jalur Revolusi. (Nantilah di lain waktu kuceritakan bagaimana setiap pagi kuterbangun seolah revolusi akan terjadi hari itu dan kuharus segera bergegas menyambutnya). Pintu I Unhas, Taman Makam Pahlawan, Sepanjang Jalan Urip hingga Kantor DPR. Sekali lagi hampir setiap hari.
Kuingat salah satu pertanyaan komrad yang membuatku bercerita panjang lebar dengan suara agak tinggi. Pertanyaan khas mahasiswa yang belum pernah baca selebaran politik. Hahaha…

“kenapa mesti demo?”

Jawabanku pastilah panjang lebar, nyerempet ekonomi politik segala macam dan komrad mengangguk-ngangguk saja. Tanpa perlawanan berarti, khas mahasiswa yang belum pernah diskusi berlama-lama dengan mantan ketua himpunan. Hahahaha….
Setelah babak apolitis itu, komrad mulai satu dua kali kuajak mengikuti aktivitasku dan ia tak kusuruh apa-apa apalagi kusodori brosur pendaftaran masuk ke organ mahasiswa dimana saya beraktivitas. Mengajaknya masuk pun tak pernah. Ia hanya kuajak melihat sisi lain kampus. Dan kutau komrad senang karena ia memang selalu senang mengakrabi sesuatu yang tak biasa-biasa saja. Karenanya ia bukan perempuan biasa. Unordinary woman, isn’t it? Dan itu kutau sejak tatapan pertama. Cihuy!
Ia seringkali hanya kuminta menemaniku dan selebihnya terserah. Dan yang paling kuingat adalah peristiwa sore itu di salah satu sudut dekat parkiran Fakultas Kelautan Unhas. Tahun-tahun itu juga hampir tiap hari saya ke fakultas itu bertemu beberapa kawan dan berdiskusi tentang remeh temeh politik anak muda. Sore itu, saya terlibat diskusi agak serius bersama salah seorang kawan, Ippang. Tak begitu ingat apa temanya, yang jelas karena begitu seriusnya saya tidak memperhatikan kalau komrad disampingku hanya melotot memperhatikan tingkah kami berdua. Memperhatikan hampir semua gerak-gerik tangan dan gesture tubuhku dan tentunya bahan obrolan yang saat itu belum terlalu banyak dimengerti oleh komrad.
Setelah peristiwa sore itu, komrad selalu mengulangi apa yang kubilang dengan gerakan tangan dan gesture yang serupa saat itu kulakukan. Dan setiap itu ia lakukan, saya selalu tak bisa menahan tawa. Kisah sore itu menjadi babak lain dalam cerita proses belajarnya komrad. Setelah itu, ia belajar dengan berinovasi menggunakan gayanya sendiri dan saya sesekali memberi perspektif lain. Perlahan, ia mulai mengenali dan mengidentifikasi ketidaksederhanaan dan ketidakadilan yang mewabah di banyak ruang yang ia amati dan perhatikan. Masih dengan caranya sendiri dan saya hanya menemaninya saja. Dan itu hingga kini masih kami lakukan dengan cara kami yang sangat sederhana dan selalu kami kabarkan ke siapa pun tanpa harus berteriak keras bila tak perlu. Sehingga belajar menjadi begitu sederhana. Karena ia bukan untuk yang lain tapi untuk hidup dan cinta kami serta kita semua.

Terima kasih untuk inspirasi sore itu.

Jogja, X Code
28 Nov ‘11
Kaya atau sederhana?

Komentar

Postingan Populer