Warna Warni Cinta

Pagi itu, motor dipacu tak begitu cepat menyusuri jalan menuju pinggiran Sungguminasa melalui jalur Antang. Saya bersama komrad akhirnya mau tidak mau harus ke rumah seorang kawan yang sekaligus menjadi guruku nyablon. Namanya Enda. Bertubuh agak gempal, dengan rambut panjang yang digimbal dan saat itu ia masih menggunakan tongkat setelah kecelakaan yang dialaminya. Ia juga menjadi vokalis sebuah band punk yang lumayan dikenal di skena punk Makassar, The Hendriks.
Kami berdua ke rumah Enda pagi itu untuk hal yang pasti menurut anda tak penting. Saya yang punya ide itu juga cukup lama berpikir dan memutuskan harus ke rumah Enda sepagi itu. Saya hendak bertanya mengapa pasta karet sablon yang telah kucampurkan dengan pewarna begitu cepat menutupi pori-pori screen sablon padahal baru tercetak dua atau tiga kaos. Dan hal itu berulang berkali-kali sehingga saya harus terus mencuci screen dan membuat rekaman baru. Anda yang mengerti sablonan pasti tahu betul bagaimana penderitaanku. Dan anda yang kurang paham tak perlu bingung, ini semua mengenai teknik sablon manual. Tak perlu memaksa diri untuk mengerti kecuali ada cita-cita mau jadi tukang sablon. Akhir cerita, Enda memberikan jawaban yang belakangan kusadari bukan jawaban pasti karena sepengetahuanku teknik ini sangat bergantung pada pengalaman kita yang mau dan terus mau mencoba dan tak putus asa saat mengalami kendala.
Sejak tahun 2006, sejak mulai belajar Corel Draw dan kemudian berguru nyablon, saya bersama komrad mulai bersama menggeluti usaha sablon kecil-kecilan. Awalnya, meski saya sudah belajar sablon tapi sampai tahun 2006 berakhir saya tetap tak bisa mempraktekkannya sendiri. Tapi usaha kecil-kecilan itu mulai kami jalankan. Metodenya pun sederhana. Karena kami masih begitu dekat dengan kampus, maka segmen desain dan semuanya difokuskan untuk mahasiswa. Dengan kemampuan Corel yang sederhana saya mulai membuat desain dengan tema-tema yang politik dan kemanusiaan. Lalu kutawarkan ke teman-teman, dan yang tertarik lalu kami bawa ke tukang sablon termasuk Enda. Enda selalu memaksa saya untuk memberanikan diri nyablon sendiri. Kapan bisa kalau tak berani, begitu pesannya selalu. Kuingat, desain pertamaku tentang Palestina. Atas usulannya Wawan yang punya referensi music yang lumayan banyak, diinspirasi oleh salah satu judul lagu John Lennon, kudesain kaos dengan bertuliskan Give Peace A Chance In Middle East. Desain itu laku terjual dua lusin seingatku. Waduh, gembiranya saat itu. Betapa tidak, tahun itu saya sudah setahun menjadi sarjana dalam belum punya penghasilan tetap. Saat sederhana usaha ini mulai kami rintis, komrad masih sebagai manajer keuangan.
Suatu sore di tahun 2007, lewat kerja keras dan terus mencoba, setelah setahun akhirnya saya berhasil mempraktekkan ilmu sablon yang diberikan Enda. Di sweater ku berhasil kusablon gambar sampil cover buku Orang Miskin Dilarang Sekolah. Sejak itu, mulailah saya berani sablon sendiri meski tetap kendala ada dimana-mana termasuk urusan pasta dan cat yang membingungkan seperti yang kuceritakan di atas. Dan kemudian masalah lain yang muncul, karena ini masih sangat manual dan saya belum berpengalaman jadi saya selalu tak bisa memperkirakan ketepatan screen di atas kaos saat harus mendobel warna. Ah bagaimana menjelaskan ini? Dan tak tahu sejak kapan, komrad jadi begitu mahir melakukan ini hingga sekarang. Dengan begitu, saya pasti membutuhkannya saat nyablon. Beberapa kali saya ditemani orang lain tapi saya selalu tak merasa nyaman. Dan jika begitu hasil sablonan pasti tak maksimal. Sederhananya, kalau saya mau nyablon sebisa mungkin yang jadi partnerku adalah komrad. Dan saya lebih memilih kerja sendiri ketimbang ditemani orang lain.
Sejak berani nyablon sendiri, kami berdua sudah lumayan sering menerima sablonan utamanya dari mahasiswa. Beberapa yang nyablon ke kami justru tak kami kenal. Setelah kami tanya ternyata ia dapat kabar dari temannya kalau sablon sama bobhy dan nhyta harga sangat bisa dinego. Prinsip yang memang kami pegang teguh khususnya ketika berhadapan dengan klien mahasiswa apalagi kalau tampakannya lusuh. Hahaha…. Tapi karena prinsip ini, beberapa kali saya kena teguran dari manajer keuangan yang sekaligus partner kerjaku, komrad, karena memberikan harga pertemanan yang setelah dihitung justru hanya menghasilkan untung seharga dua piring nasi goreng pondokan plus dua bungkus rokok. Dan ketika itu saya sadari dan sudah terlanjur kena semprot, saya hanya bisa tertawa sambil menyalahkan diri sendiri. Untung manajernya manis jadi tak begitu terasa amarahnya…hahaha.
Selalu ada sensasi saat nyablon. Karena sambil bergelut dengan screen, pasta, cat, rakel dan tetek bengek bahan sablon lainnya, selalu kami barengi dengan cerita. Apa saja. Dari hal yang paling serius seperti harga kaos di pasar butung yang terus meroket naik, sampai hal remeh seperti neoliberalisme. Hahaha… Tak jarang juga kami berdendang berdua menyanyikan lagu-lagu masa lalu dan tentu tak melewatkan pembahasan gossip-gosip orang-orang dekat kami. Selalu ada tawa yang renyah di sesi-sesi ini. Dan tak jarang ide-ide unik juga muncul dalam satu dua tarikan rakelku dan komrad dengan kekuatan seadanya menahan screen di atas kaos. Kami juga begitu senang saat klien datang mengambil sablonan dengan senyum puas.

Tetaplah menjadi partner nyablonku yang keren, istriku!

Jogja, X Code
29 Nov ‘11
Terima kasih sudah mengamnakan alat dan bahan sablonku dari hujan


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer