Carpe Diem!

Anda mungkin sudah pernah nonton sebuah film drama berjudul Dead Poet Society yang diadopsi dari sebuah novel yang berjudul sama karya Nancy H. Kleinbaum (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia). Saya sendiri belum pernah selesai menontonnya. Dan novel nya pun begitu.  Tapi dari modal nonton satu side, baca beberapa halaman di awal dan cerita teman-teman yang sudah membaca khatam novel versi Indonesia nya, saya lumayan tahu inti ceritanya.
Film ini bercerita tentang John Keating (yang diperankan Robin Williams) yang membongkar ortodoksi gaya mengajar di Akademi Welton, sebuah akademi konservatif aristokratik yang bertempat di Vermont. Keating menginspirasi beberapa pelajar di akademi itu yang merasa bosan dengan aturan akademi dan muak dengan obsesi-obsesi orang tua mereka, dengan metode mengajarnya yang baru. Berpuisi. Suatu kali ia menyuruh muridnya berdiri di atas mejanya dan menyuruhnya melihat dunia dari sisi yang berbeda. Beberapa pelajar yang terinspirasi dengan metode puisi Keating lalu sembunyi-sembunyi membuat komunitas baca puisi, Dead Poet Society. Meski komunitas ini harus berakhir tragis tapi ia adalah inspirasi bagi siapa pun yang ingin menemukan cara-cara sederhana untuk mengispirasi hari. Carpe diem!

(Penjelasan lengkapnya, silahkan googling, baca novel atau nonton lah filmnya!)

Terinspirasi dengan Dead Poet Society meski tak ingin berakhir tragis, bersama komrad dan teman-teman lain kami menginiasi sebuah gelaran mingguan tiap jum’at malam di Wesabbe C20. Poem Night. Gelaran ini adalah bagian dari beberapa aktivitas yang kami rancang di Corner School, sebuah media belajar bersama yang kami buat di rumah itu.
Acara ini sengaja dibuat tiap jum’at malam karena kalau malam minggu dibuatnya akan semakin memperjelas siapa yang tak punya gebetan. Begitu piker awalnya. Tapi seiring minggu berjalan, Poem Night ternyata bisa menjadi tempat alternatif menghabiskan malam minggu bersama sang kekasih dengan bertabur puisi. Keren toh! Hahaha… Dan banyak cerita untuk sesi-sesi  mengesankan itu. Tapi sekali lagi nantilah kuceritakan.
Kuingat betul gelaran pertama Poem Night pada salah satu jum’at malam di tahun 2006. Saya bersama Komrad, Ewieng dan Ridho begitu serius mempersiapkannya. Gelaran baru akan dimulai setelah shalat Isya tapi segala sesuatunya telah dipersiapkan dengan sangat baik dan sederhana. Rungan tengah Wesabbe C20 yang lumayan luas kami sulap menjadi ruang berpuisi dan tepat di bagian depan kami rebahkan lemari milik Ewieng yang lumyan kokoh sebagai stage. Seingatku, kami juga membuat semacam banner sederhana yang bertuliskan tajuk gelaran pertama Poem Night malam itu. Tapi lupa saya apa tajuknya. Mungkin ada yang ingat?
Sebelumnya, pamphlet acara yang kudesain dan diperbanyak telah ditempelkan di sudut-sudut Fisipol yang menandakan ini gelaran sederhana tapi serius. Serius berpuisi! Jadi aturan dalam gelaran ini, siapa saja yang datang harus berpuisi. Tapi kalau pun akhirnya ia tak mau, tak kami paksa tentunya. Tak perlu membaca puisi sendiri karena kami menyediakan beberapa buku puisi dan print out puisi-puisi komrad yang seabreg itu. Tapi tak sedikit yang kemudian tiap minggu mulai datang dengan puisi masing-masing. Dan mereka membacakannya dengan sangat ekspresif. Serius, sangat ekspresif hingga kadang air mata membasahi lemarinya Ewieng. Bahkan pernah sekali ruangan tengah itu tak cukup untuk semua yang hadir. Dan semuanya harus membaca puisi. Beberapa teman menolak tapi terus didesak dan akhirnya mereka naik ke stage membcakan puisi yang tersedia. Dan kalian tahu, itu pertama kali mereka membaca puisi di depan orang banyak. Keren toh!
Saya dan komrad biasanya selalu menjadi pembuka gelaran ini dengan memberi pengantar mengenai tema tiap gelaran. Dan tak bosan kami berduet, saya bergitar dengan kemampuan pas-pasan dan komrad bernyanyi. Dan mengalunlah, Lagu Rindu milik Kerispatih, lagu favorit kami berdua yang kini tak lagi kuhafal kunci gitarnya. Setelah itu, ruangan tengah yang hanya bersinarkan lilin-lilin di sekeliling stage mulai dipenuhi puisi. Senang sekali bisa bekerjasama dengan komrad dan teman-teman lainnya menginisiasi gelaran yang setauku masih dilanjutkan oleh beberapa teman-teman di tempat yang berbeda. Sejak awal, gelaran ini kami anggap penting karena ia bisa menjadi ruang lain untuk mengolah rasa, mengaktifkan sisi lain dari diri kita yang sering tak begitu kita perhatikan. Dan ketika itu tak begitu terperhatikan, maka keluh kesah akan merajai dan hidup akan terasa hambar. Dan lalu kita kan merasa sendiri.

Saya sendiri dan komrad hingga kini masih senang berpuisi meski tak seserius seperti saat Poem Night. Tapi tentu tak mengurangi kesyahduannya. Kini seringkali kami berpuisi bertiga bersama si kecil. Kami bergantian membacakan puisi-puisi Wiji Thukul dan diakhir Mahatma memberi tepuk tangan, lalu ia juga mulai berpuisi. Dan kami bahagia. Sesederhana itu!

Ah kerennya hidup ini…

Seize The Day!

Jogja, X Code
29 Nov ‘11
Untuk puisi-puisimu yang selalu kutakjubi!

Komentar

Postingan Populer