terjatuh di lubang yang sama...


Sebodoh-bodohnya keledai, ia tidak akan jatuh dua kali di lubang yang sama. Dan hari ini, aku merasa lebih bodoh dari keledai, aku duduk di halaman sekolah yang sebagian barangnya telah dipindahkan ke gedung baru. Sekitar seminggu lagi, sekolah ini akan berpindah di kawasan yang lebih elit, kawasan yang lebih eksklusif. Beberapa guru telah beraktivitas di sana sejak dua hari yang lalu. Aku membereskan beberapa arsip writing anak-anak yang kemarin tidak sempat kubereskan. Tepatnya kemarin kontrak kerjaku telah habis. Aku menjalani masa kontrak 4 bulan percobaan dan dianggap memberikan kontribusi untuk sekolah, dan aku dipanggil hari ini untuk membicarakan perpanjangan kontrakku.
 Dan aku tahu, hari ini akan datang lagi. Seperti empat bula harus yang lalu, saat aku harus memutuskan di mana kakiku melangkah. Memutuskan pilihan untuk semakin tenggelam dalam dunia kerja atau lari menuju fase pengangguran yang belum sempat kucicipi. Aku mencintai pekerjaan ini, aku jatuh cinta pada hari-hari yang kulai bersama ratusan anak-anak di sekolah ini, aku rindu bila tak menemuinya setiap pagi di halaman dan menjawab salam mereka dengan senyum. Aku mencintai mereka, mencintai pekerjaanku sebagai guru. Aku menikmati setiap detik bersama mereka, menyemangati mereka untuk terus menulis, mendengar curhatan mereka, menyeka keringat mereka, tertawa bersama-sama, menyantap makan siang dengan lahap, memarahi lalu menertawai kenakalan mereka. Dan saat ini rasa cintaku sedang mencapai puncak, seolah menemukan diriku yang lain yang siap menjadi apa saja demi keunggulan murid-muridku. Aku mencintai hal itu.
Tapi, tidak sebagai bawahan pimpinanku. Aku benci bertengkar dengan pagi dan berangkat tergesa karena rasa takutku, aku benci melangkahkan kakiku dengan bersungut akan aturan-aturan kaku yang seringkali mengebiri sebagian diriku,  aku benci mendengar celoteh serupa titah raja dan aku tunduk padanya, aku benci diriku yang takluk karena begitu takut kehilangan pekerjaanku, aku benci diriku yang saban tanggal 5 di awal bulan berdebar menunggu uang di rekeningku bertambah sebagai imbalan atas pekerjaan yang katanya kucintai. Aku benci melihat diriku yang terima diombang ambing lalu tak mampu berbuat apa-apa. Aku membenci semua itu
Sulitnya, dua hal ini serupa dua sisi mata uang yang tidak mungkin saling menegasikan. Aku ingat betul, kontrak yang telah kujalani ini sempat ingin kuhentikan di bulan pertama tapi tidak berhasil. Dan kali ini, kontrak ini telah berakhir dengan sendirinya. Aku toh bisa katakan pada ibu dan bapak yang selama ini menjadi  alasan utamaku untuk bertahan bahwa kontrakku tidak diperpanjang. Mereka juga tidak pernah secara eksplisit melarangku berhennti. Tapi….,
Aku berjalan menemui Mr. Head yang katanya telah menungguku. Iya mempersilahkanku masuk. Aku duduk di depannya, sejumlah berkas telah kulihat siap untuk ia kemukakan di hadapanku. Satu hal yang selalu lupa kukatakan, Mr. Head punya kemampuan retorika yang sangat bagus.
“Bu Nita, kami harap Bu Nita bisa bergabung dengan kami di semester depan. Kami menilai bahwa kinerja ibu sangat bagus dan jujur kami membutuhkan ibu. Kami tetap membutuhkan ibu untuk menjadi guru Writing sekaligus Bhs. Indonesia untuk anak SMP. Dan kami berharap ibu juga bersedia menjadi wali kelas untuk Zalman Al Farishi. Kelas paling besar.” Ia mulai dengan cepat. Aku taklim mendengar hampir semua detil yang ia bicarakan. Ia menawarkan padaku angka gaji yang cukup besar,  menjanjikan banyak fasilitas yang bisa saya dapatkan, bahkan menjanjikan mengusahakan kami untuk masuk dalam guru luar biasa yang di daftar di Dikti yang nantinya bisa diangkat menjadi PNS. Semua janji-janjinya membuatku menerwang terlalu jauh. Apalagi aku bisa mendapatkan gaji sebanyak itu..waah…aku bisa melakukan banyak hal. Aku keras berpikir. Kubayangkan 1 tahun ke depan aku akan berada di dalam penjara sistem sekolah..
“Bagaimana Bu? Kalo ibu Nita sepakat, kontraknya akan saya buat. Ibu Nita sepakat?Bu Nita? ” tanyanya memecah pikirku. Inilah yang paling kubenci, aku begitu takut menolaknya. Aku takut menjadi pengangguran, aku takut menjadi tak punya apa-apa, aku takut tak punya uang, aku takut tergantung lagi pada orang tua, aku takut tak bisa mentraktir adik-adikku, aku takut…aku takut..aku takut…dan ketakutanku kuakhiri
“Iya…saya sepakat” kataku pasti dan sekaligus menutup pembicaraan kami. Dan aku, lunglai. Kursi yang kududuki tiba-tiba serasa terjatuh ke lubang paling bawah. Aku terhempas..berkali-kali, aku terjatuh. Aku berteriak tapi sekelilingku tembok. Entah apa yang sedang kuinjak-injak, kebodohanku atau justru kepintaranku. Dan aku takjub, aku mengenal lubang ini. Aku pernah terjerembab di sini, 4 bulan yang lalu, sama tepat, saat kuiyakan hidupku untuk berada di bawah sistem kerja. susah payah aku merangkak naik, berjuang demi hidupku, dan tidak membiarkannya sia-sia, selama 4 bulan ini. Aku bergelut dengan ketakutanku, dan saat aku telah berada dalam kemerdekaan, aku menjatuhkan diriku kembali. Di lubang yang sama..lubang yang dipenuhi angka 7 dan 4 dan menertawaiku siap menerkamku.
Kupandangi lalulalang kendaraan yang sibuk di hdapanku, saling berlomba menuju kepentingannya masing-masing. Aku berjalan pulang menuju komrad. Kutahu ia telah menyiapkan amunisi untuk setiap keputusan yang akan kuambil hari ini. Dan ia siap berjalan di sampingku.
“ always beside you…” katanya pagi tadi sebelum berangkat setelah semalam kami berdiskusi untuk segala kemungkinan. Dan saat ini tidak ada yang lebih berarti dari semua itu, saat dunia terasa menghimpitmu dan kamu merasa menjadi makhluk paling bodoh di seantero alam semesta, tapi tetap juga ada seseorang yang bersedia menggenggam tanganmu dan tersenyum untukmu. Aku pulang dengan ribuan rasa yang berkecamuk di dadaku, sembari angka 7 dan 4 dari jam weker pete-pete yang kutumpangi sedang tertawa membahana. Memasang kembali jeruji-jerujinya setelah seminggu ini telah dengan sombong kupatahkan.

Juni 2007
# akhir untuk mulai kembali  

Komentar

  1. mantap Broo, ini adalah bagian dari proses tapi ingat jujurlah tentang perasaanmu, utarakan apa yg kamu rasa. Karena memendam perasaan lebih menyakitkan daripada penolakan

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer