Setiap Tempat Adalah Panggung

Saat masih aktif di salah satu organisasi mahasiswa ekstra kampus dan terlibat dalam beberapa aksi demonstrasi, saya bersama beberapa teman (tidak banyak) seringkali berinisiatif melakukan Happening Art atau teatrikal jalanan. Berusaha mencari variasi aksi yang selalu monoton dan membosankan. Orasi setelah itu orasi dan kemudian ditutup dengan orasi lagi. Meski aksi tatrikal yang kami tampilkan seringkali sangat standar (tanpa naskah dan sebagainya). Ada yang terindas dan ada yang penindas. Yang tertindas badannya dilumuri cat dan dibaluti tali besar lalu jadilah ia bulan-bulanan sang penindas, yang biasa sengaja membuat aksi-aksi yang betul-betul menyakiti kawan sendiri. Menghayati peran, kilah sang penindas. Aksi seperti itu berkali-kali kulakukan. Bahkan pernah sekali, kali ini iseng saja tidak ada instruksi aksi atau momentum politik yang perlu direspon. Betul-betul iseng saja. Saya bersama dua orang teman yang sudah mengumpulkan kangkung yang tumbuh liar di belakang sekret di Jl. Bung dan telah membuat kostum dari koran yang ditulisi beberapa tuntutan. Kami bertiga berjalan kaki dari bundaran perempatan Ratulangi (yang dekat RS. Labuang Baji, cocok ji toh namanya?) sampai Masjid Al-Markaz. Aksi itu kami mulai dari jam 3 sore. Aksi teatrikal ini juga pernah kulakukan di Toraja dan Kendari. Seperti biasa tanpa alur dan semuanya tak jelas.
Dan kumulai teatrikal yang lebih serius meski juga tetap lebih banyak di jalan dan beberapa tempat yang meski bukan di jalan tapi audiens nya adalah orang-orang yang sering memenuhi “jalan”, saat bersama komrad dan teman-teman yang hebat di Pijar Imaji. Saya lebih dulu bergabung bersama komunitas yang mayoritas sering ditongkrongi oleh teman-teman dari Fak. Kelautan Unhas ini lalu tak lama komrad juga ikut bergabung. Awalnya kami hanya sering nongkrong hampir tiap sore sambil berendang di pinggir Danau Unhas. Lalu kami sepakat membentuk komunitas yang juga tak serius-serius amat yang diberi nama Pijar Imaji. Selain diskusi regular, kami juga sepakat menjadikan komunitas ini berkonsentrasi pada kerja-kerja seni dan kebudayaan, yang berpihak.
Kegiatan yang lumayan besar pertama kali kami lakukan adaah Festival Anti Globalisasi (FAG) di tahun 2005, yang bertempat di Gedung Kesenian Societeit de Harmonie. Dan kegiatan ini bekerjasama dengan Institute of Global Justice dan beberapa NGO serta berbagai komunitas di Makassar. Di sinilah pertama kali saya berteatrikal dengan arahan yang jelas dan juga pertama kali saya disutradarai oleh komrad. Kali itu saya hanya sendiri di atas panggung mengawali pembukaan FAG. Saya mengenakan jubah hitam dengan kepala yang bertudung lalu membelakangi penonton dan melakukan olah tubuh mengikuti narasi yang entah dibacakan oleh siapa saat itu. Meski sempat marah karena menunggu lama dan tak tahan menahan panasnya kostum yang kupakai, tapi panggung pertamaku yang disutradari juga pertama kali oleh komrad relatif berhasil.
Dari hasil kegiatan itu, kami bisa membeli jimbe dan beberapa alat musik sederhana lainnya. Sehingga musik dan iringan olah gerak yang kami sajikan lebih bervariasi. Dan kami tetap sering nongkrong dan berdiskusi di danau Unhas ditemani perangkat-perangkat musik yang berhasil kami beli meski second. Tak berapa lama, kami diundang lagi untuk perform teatrikal di Universitas Negeri Makassar, memperingati beberapa tahun Tumbangnya Soeharto. Kali ini lebih serius meski kami tal begitu peduli, toh komunitas kami tak pernah terbersit untuk menjadi “sesuatu” dengan aktivitas ini. Kami hanya ingin bergembira dan mengatakan “sesuatu” lewat lagu dan gerak tubuh. Tapi kami tetap harus latihan. Kami melakukannya kurang lebih seminggu.
Masih disutradarai oleh komrad. Judul pementasan kami saat itu kalau tidak salah, Cermin Yang Retak. Mengadopsi puisi dari siapa gitu, lupa saya. Seminggu itu, kami betul-betul latihan serius dibawah arahan komrad yang memang mempelajari seni peran di TKU. Olah tubuh, pernapasan, suara dan menghafal naskah serta latihan lainnya kami lakukan. Dan kami lakukan itu semua bak seorang yang memang berkecimpung di bidang seni peran. Meski di awal tentu agak canggung, apalagi beberapa teman yang tiap hari hanya bersentuhan dengan lab ini itu atau setiap sore menjadi pemain bola fakultas. Tapi dibawah arahan komrad, dan karena kami melakukan ini dengan gembira akhirnya semuanya bisa berjalan lumayan baik. Pentas di UNM berjalan lumayan sukses dan kami bergembira.
Setelah itu, beberapa kali kami bermain di panggung-panggung yang kecil dan sederhana, masih menggunakan nama Pijar Imaji. Yang kuingat, di Pintu I Unhas juga memperingati Tumbangnya Soeharto, di ddepan Monumen Mandala memperingati Hari Lingkungan (kalau tak salah) yang diinisiasi Walhi, di Kilo 4 saat Pertemuan Tingkat Menteri digelar di Hongkong, dan terakhir seingatku di Danau Unhas dalam acara amal untuk Gempa Jogja yang diadakan oleh UNHAS. Semua perform kami diarahkan oleh komrad. Dia yang membuat naskah dan alur cerita dan tentu menjadi vokalis bersama Nanny, seorang kawan yang kini menjadi bankir.
Perform di danau itu, (seingatku) adalah kali terakhir kami tampil bersama teman-teman Pijar Imaji. Dan, seingatku kali terakhir saya bersama komrad menjajal panggung kecil dan sederhana adalah saat saya bersama teman-teman dari UKPM Unhas merayakan May Day  di depan Kantor Gubernur Sulawesi Selatan. Itu terakhir kali.

Beberapa kali saya dan komrad berencana memulainya lagi, tapi tak pernah sempat terwujud.

Kuberharap, kelak panggung berikutnya kami berdua akan perform bersama jagoan kecil kami. Dan naskahnya sedang kupikirkan. Saat itu, saya sepertinya sangat ingin menggantikan peran komrad menjadi sutradara. Dan karenanya, saya akan belajar sungguh-sungguh kepada komrad.

Rindu masa-masa itu!

Jogja, X Code
(masih) 28 Nov ‘11
1 menit lagi wib. komrad ultah

Komentar

Postingan Populer