we named it 'globalizaton"

Kelas II SD…(saat masih imut-imutnya), tepatnya tahun 1992, hanya sekitar delapan tahun sebelum tahun 2000. Tahun yang entah kurasa sangat istimewa bagi banyak orang. Di spanduk-spanduk di depan sekolah bertuliskan ”Buka mata, sambut tahun 2000, era milineum”. Tahun 2000, menyongsong globalisasi. Di TV-TV semua menayangkan bahwa globalisasi akan datang, di ruang kelas, bahkan hingga di meja makan. Globalisasi sudah marak dibicarakan. Entah kenapa saat itu, ketika mendengar tahun 2000 atau globalisasi, pikiran ini akan berkelebat sepuataran potongan-potongan adegan dalam film Doraemon, atau film-film tentang masa depan. Di mana ada mobil yang bisa terbang, gedung-gedung tinggi hingga mencapai langit, surat kabar digital, televisi sudah bisa diajak bicara, ada mesin pencuci piring, ada robot yang bisa diajak berbicara seperti manusia, bisa melihat orang yang jauuuuh di sana.
Ya... dan kini sekitar 15 tahun dari saat itu, imaji-imaji ku yang dulu sebagian kulihat nyata dengan mata kepala. Yah..., ”That was we call globalisation” dunia bergerak cepat, sangat cepat, di segala bidang terlebih dalam tekhnologi komunikasi. Setiap hari ponsel, tv, radio dengan kecanggihan dan keefesienannya semakin menggila. Dunia sedang terkuasai oleh kehidupan modern yang diukur oleh baju yang dipakai, merk sepatu yang dipakai, handphone yang wah, mobil megah. Dunia sedang berada dalam rantai besar dan kuat yang kita sebut globalisasi.
”Lalu apa masalahnya ketika kita maju?? Bukankah suatu hal yang bagus ketika kita terus maju dan berkembang? Apa salahnya ikut pada arus globalisasi? Toh yang kita inginkan selama ini memang menuju suatu kehidupan yang lebih baik.” Pertanyaan dan pernyataan ini yang sering kita dengar saat komunitas-komunitas yang menyatakan anti terhadap globalisasi mulai marak lahir di berbagai kalangan. Pertanyaan yang harus kembali dimunculkan adalah apakah betul globalisasi hari ini telah membawa kita menuju suatu kehidupan yang lebih baik?
Dalam globalisasi, kompetisi adalah yang paling utama. Bagaimana manusia diajarkan untuk berlomba dalam segala hal untuk mencapai kebahagiaan yang standarisasinya sejak lama di telah patenkan dalam kepala kita. Dan untuk mencapainya, manusia yang memang berpotensi untuk melenceng dari jalannya, telah menghalalkan diri mereka untuk saling sikut demi kepentingannya. Walhasil yang ada adalah persaingan yang tidak sehat, kompetisi yang memang pemenangnya telah diketahui.
Dalam ekonomi politik, globalisasi telah menjadi mainstream ekonomi yang cukup digandrungi. Jika ia adalah model celana, maka gloalisasi hari ini seperti model celana botol yang dipakai hampir oleh seluruh muda-mudi di Indonesia. Globalisasi diterapkan di hampir semua negara-negara Dunia III, sebagai suatu jalan untuk memajukan kesejahteraan negaranya. Globalisasi yang dikendarai oleh perusahaan-perusahaan besar dan lembaga-lembaga internasional, seperti IMF, WTO, dan World Bank. Ketiga organisasi ini sibuk ”menolong” negara-negara kecil untuk ”bangkit” dari keterpurukan ekonominya, dengan menjadikan negara sebagai alat untuk melegalkan kebijakannya berupa pemotongan subsidi untuk rakyat miskin, penguasaan perusahaan negara oleh swasta, komersialisasi pendidikan. Seperti yang sekarang terjadi di negara kita tercinta ini. Semakin hari biaya pendidikan semakin mahal tentunya tanpa dibarengi dengan kualitas, baik tenaga pengajar dan pelajarnya. Buku-buku, kebutuhan pokok semakin mahal, dan segala yang vital dalam hidup ini.
Hidup menjadi arena jual beli, di mana hanya sedikit orang yang bisa membeli dan menguasai barang dagangan, sebagian kecil lagi memilih menjadi produsen, dan sebagian besar terlunta-lunta dan hanya bisa menikmati nikmatnya barang dagangan dari etalase yang rasa puasnya hanya bisa terpenuhi dengan menelan ludah.
Dunia sedikit demi sedikit terjual dan sebentar lagi akan habis.

6 Maret 2007
_ibunyaMaha_

Komentar

Postingan Populer