Mocca Tak Jadi…The Samsul Hadi Pun Oke !


Melewatkan malam minggu di depan komputer ditemani keheningan kamar kosan mungkin sudah sangat biasa apalagi bagi mereka yang bahkan sampai masa-masa penulisan skripsi atau bahkan tesis juga belum memutuskan atau lebih tepatnya “takut” untuk menentukan tambatan hati. Tapi yang melewatkan malam minggunya dengan memilih tidak berada di kosan juga sebenarnya bukan berarti mereka punya gebetan yang bisa diajak untuk hanya sekedar nongkrong di suatu tempat yang tidak perlu menguras isi dompet yang sering memang tak berisi dengan sedikit pembenaran ideologis romantis. Tempat tidak jadi masalah yang penting substansi komunikasi bisa dapat. Hahaha…
Seringkali agar tidak “difitnah” tak memiliki gebetan, maka tipe yang kedua ini sejak magrib sudah sibuk-sibuk mendandani diri seolah tak sabar menemui sang pujaan hati. Padahal malam minggu nya juga berakhir di kosan teman yang baru saja dapat kiriman ransum dari kampung. Atau yang tidak kalah naas akhirnya harus berakhir di secret A dan kembali berdiskusi tentang strategi dan taktik menghancurkan kapitalisme dan akhirnya menjelang pukul 24.01 lampu dimatikan dan dimulailah pembahasan tentang gadis-gadis idaman di fakultas dan mimpi mulai mengelayut mengisi ruang-ruang secretariat dan poster Che di tembok seolah tersenyum manis. Hahaha…dramatis toh!
Tapi kita tak akan melanjutkan bercerita bagaimana mereka atau kita menghabiskan malam minggu. Tapi kalau suatu saat anda di Jogja, maka sebaiknya janganlah menghabiskan malam minggu di kamar sendirian. Bertebaranlah kemana-mana mencari kegembiraan dan bisa membuat anda tersenyum dan mungkin bisa meredakan kepenatan meski hanya untuk sesaat.  Kegembiraan yang tak perlu menghabiskan sejumlah rupiah namun anda bisa ikut berdendang dan tentunya kalau jeli maka sebenarnya disana banyak pelajaran. Dan itu pilihan kami bertiga malam minggu semalam.
Maksud hati ingin menyaksikan Mocca, band indie asal Bandung, di Lapangan Kridosono yang jaraknya dari kosan kami hanya sekitar 5 menit. Namun maksud itu segera kami ubah dan akhirnya juga mengubah rute perayaan “malam minggu” kami karena Kridosono terlihat begitu ramai dan sepertinya agak berdesakan. Target kami berikutnya sebenarnya tidak sebanding dengan alunan lagu-lagu yang akan dibawakan oleh Mocca atau bahkan hentakan Endank Soekamti yang juga main di Kridosono. Tempat yang kami tuju yaitu perempatan BNI tepatnya di depan Tugu serangan Umum 1 Maret. Tidak ada alasan yang spesisifik mengapa ke tempat itu kecuali kata seorang kawan karena kita sudah lama tidak nongkrong di tempat itu. Dengan alasan sederhana itu, maka motor segera dipacu menyusuri jalanan yang tentu agak ramai dibanding malam-malam lain apalagi sekarang masa-masa liburan. Sampai di malioboro, jalanan terlihat lengang. Pikirku mungkin karena orang-orang terkosentrasi di tempat lain. Tapi itu segera berubah setelah kami mulai mendekati pasar Beringharjo. Jalanan mulai padat merayap. Apalagi setelah mendekati Istana Presiden sepertinya sekitar ribuan orang sudah berkerumun dengan aktivitasnya masing-masing hingga ke depan Tugu Serangan Umum 1 Maret, tempat yang kami tuju.
Setelah memarkir motor, kami berdua mulai mencari atau tepatnya memilih tontonan apa yang akan kami nikmati sambil menunggu kawan yang masih tertinggal di belakang. Dan kami memilih menyaksikan live band performance yang berada tepat di sudut lampu merah yang berada di sudut istana presiden dan menghadap BNI. Seharusnya akan lebih mudah menjelaskan posisinya jika saya pandai menentukan mana utara selatan dan sebagainya seperti pandainya orang di kota ini. Tapi taka pa yang jelas kalau anda berhenti di lampu merah perempatan Jl. A. Yani dari arah Malioboro maka di sebelah kanan anda di situlah kami berdua memutuskan mewarnai malam minggu kami.
Dari bendera yang digantung diantara tiang mike, kutau acara ini diadakan oleh Sebumi (Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia), organisasi yang dulu setauku bernama Kepal (Kelompok Pengamen Jalanan). Saya tidak tau event ini dalam rangka apa. Dan dari hasi tebak menebak kami berdua mengira kalau event ini dibuat untuk merayakan 13 tahun reformasi. Mungkin! Tapi yang paling jelas terlihat oleh kami berdua, diatas sebuah sound diletakkan selembar kaos yang bersablon Sosialisme Abad 21 dengan gambar Mao, Marx, Lenin dan lupa siapa lagi satunya. Trus tepat dibawah sound itu digantung 2 foto Kakek Marx. Dan tepat disampingnya dijajakan kaos-kaos dan emblem hasil produksi SeBumi  sepertinya.
Saat sampai di tempat itu, band yang sedang main adalah The Samsul Hadi. Kita belum pernah bercerita tentang band ini ya? Padahal ini bukan kali pertama kumendengar namanya dan menyaksikan performnya. Band ini dari FB nya kutau bergenre Garage yang dipengaruhi oleh band-band seperti acdc, the beatles, the hives, the vines, the who, the strokes, franz ferdinan, jet, arctic monkey. Dan yang membuatku tau dan kenal band ini adalah basisnya, si Wawan. Wah banyak betul nama Wawan di sekitarku. Di kosan ku saja nama Wawan saja ada 2, yang satu bernama asli Chairil Akbar Setiawan dan yang kedua bernama Gunawan Lestari Elake. Tapi Wawan Basis The Samsul Hadi ini tak kutau nama aslinya dan juga memang tidak terlalu penting untuk kuketahui. Saya mengenal Wawan kira-kira 2 atau 3 tahun yang lalu di suatu siang saat saya sedang mengajar dan tiba-tiba seorang kawan yang juga mahasiswaku dan juga bernama Wawan membawa kawannya yang diperkenalkan kepadaku bernama Wawan dan merupakan mahasiswa Fak. Hukum ’45 dan siang itu ingin ikut di kelas yang saya ajar. Saat itu setauku Wawan Samsul Hadi ini masih rada berisi beda dengan sekarang, mungkin karena sudah jadi anak band. Hehehehe…. Setelah itu seingatku saya tidak pernah bertemu lagi hingga saat pertama kali nongkrong di depan Tugu serangan Umum 1 Maret Jogja sekitar dua malam setelah kedatanganku dari Makassar dan memutuskan kuliah di kota ini. Saat itu ia bersama teman-teman SeBumi yang memang sering nongkrong di tempat itu sambil mengamen dan kebetulan ia juga kenal dengan Goenawan dan mulailah mereka saling menyapa dan Wawan kemudian menyapaku. Awalnya saya hanya menyapa biasa karena betul-betul lupa karena perawakannya yang rada brewok dan agak kurusan. Tapi setelah lama mengingat akhirnya ingatanku sampai juga di pertemuan kami pertama kali di suatu siang pada 2 atau 3 tahun yang lalu.
Dari Wawan ini akhirnya kutau kalau SeBumi sudah sering mengadakan event gratisan seperti ini. Entah bercanda atau serius acara ini diberi nama Gelabur (Gerimis Langsung Bubar). Dan yang paling penting acara ini tak berizin padahal digelar di 0 KM Kota Jogja yang berhadapan langsung dengan Istana Presiden. Coba bayangkan anda membuat gelaran seperti ini di depan Rumah Dinas Gubernur Sulawesi Selatan ! Pasti susah ya membayangkan apa yang akan terjadi. Tapi menurut Wawan biasanya acara akan segera bubar karena gerimis mulai mengundang seperti nama gelarannya atau karena polisi sudah datang dan hendak membubarkan.
Sebenarnya malam tadi gelaran Gelabur bukan satu-satunya pilihan tontonan karena tepat disamping atau kira-kira 10 meter ke Barat ada sekelompok free basket styler yang lagi beraksi dan juga ramai ditonton. Kemudia di sebelah selatan tepatnya di seberang jalan ada komunitas sepeda onthel dan dibelakangnya ada mahasiswa-mahasiswa Papua yang menggelar perform tari-tarian Papua. Dan tepat di dalam kompleks Tugu serangan Umum 1 maret ada sekelompok anak muda yang sedang beraksi dengan skateboard nya. Dan atau mereka yang hanya nongkrong dan menyalurkan bakat fotografi mereka di perempatan lampu merah 0 KM Jogja. Banyak pokoknya dan silahkan memilih! Nah anda juga bisa menikmati es bakar yang rasanya sebenarnya biasa saja tapi marketer nya betul-betul luar biasa dan seolah menjadi magnet bagi pembeli dengan “orasi-orasi pop culture” nya. Hahahaha………………..
Jogja menurutku betul-betul bisa memanfaatkan ruang dan menerjemahkannya menjadi panggung terbuka dimana-mana sehingga seni dan kebudayaan tidak melulu menjadi urusan kapital dan tetekbengeknya seperti yang sedang marak dimana-mana. Seni dan Kebudayaan kemudian bisa dinikmati oleh siapa saja di kota ini tanpa harus risih karena yang berdiri atau duduk disebelah kita tampak lebih anggun dan parlente dan sibuk dengan gadget di genggamannya dan lupa kalau ia sedang menonton pertunjukan. Di Kota ini juga, siapa pun tak begitu peduli menyulap tempat mana saja  menjadi panggung ekspresi tanpa harus pusing dengan birokrasi A sampai Z.
“The People Have Rights to The City” begitu kira-kira kata Harvey. Hak yang menurutku sudah atau sedang diabaikan oleh para penentu kebijakan. Ruang-ruang publik dengan semena-mena kemudian disulap dengan begitu cepat menjadi deretan ruko-ruko yang sangat tidak menarik mulai dari arsitektur hingga model bangunan atau kemudian hanya dipagari dan dipasangi patok ini milik pemerintah. Kasus pintu II Unhas menurutku menjadi salah satu contohnya. Tempat itu dulunya menurutku menjadi salah satu tempat yang menarik di Makassar. Semua mahasiswa bisa datang ke tempat itu dengan spectrum ideology apapun dari yang paling kiri hingga kanan atau mereka yang tidak buru-buru mengklaim “siap mati” demi ideology tertentu. Siapa saja ! dan hampir tiap malam itu terjadi dengan cerita nya masing-masing sambil menikmati segelas sarabba telur dan sepiring ubi dan pisang goreng. Berbagai macam ide lahir disana mulai yang paling hedon hingga yang paling “makar”. Dan anda tidak perlu merogoh kantung dalam-dalam, cukup dengan ceka-ceka (alias kolekan) maga suguhan sudah bisa hadir di depan mata dan siap disantap. Kisah asmara jangan ditanya. Saya kira sudah banyak yang akhirnya memadu kisah asmara baik yang berakhir gembira maupun dramatis memulai kisahnya dari tempat itu. Namun atas kepentingan “babibu” tanpa mempertimbangkan perspektif alternatif kemudian sejarah dan masa lalu akhirnya harus dikubur setelah “pertarungan” yang memakan korban.

Tiba-tiba teringat pesan pendek seorang kawan yang juga guruku di suatu haro di atas bus Eka. “Setiap sudut Jogja adalah tempat belajar”. Hmm…mungkin iya.

Setelah berpamitan dengan Wawan dan berjanji akan hadir saat dband nya perform tanggal 27 nanti dan ia berjanji memberikanku CD albumnya, kami beranjak pergi meninggalkan keramaian dan berharap bisa belajar banyak darinya. Menyulap kemonotonan menjadi penggung gembira yang reflektif dan tak berbayar. Hahahaha……………

Hmmm….nikmat juga es bakar itu ternyata. Satu untukku dan satu untukmu kawanku.
Mari merayakannya!


22 Mei ‘11
Bantaran X Code
Saat semua sudah kususun rapi
Untuk segera ku finalisasi.

Komentar

Postingan Populer