...05.23, telpon berdering.....

Dengan lunglai, karena masih ngantuk setengah mati, aku bergegas membuka pintu kamar,
cepat dan harus tetap hati-hati , pelan karena tidak ingin mengambil resiko membangunkan maha pagi-pagi buta seperti ini. Tidak seperti biasa, kali ini aku rela mengorbankan waktu tidurku untuk sekedar menjawab tepon yang meringkik dari tadi. Kuintip cahaya dari jendela kamar, tak juga kudapatkan. Kumencari sahutan mesjid, tapi sama.
“siapa yang menelpon pagi-pagi begini”  gerutuku dalam hati. Kupanggil ibu tapi tidak ada jawaban, telpon masih terus memanggil.
Saat pintu kamar terbuka, mataku kupicingkan karena ternyata lampu sudah menyala. Berarti ibu dan bapak sedang ke mesjid.
“benar ini rumah pak rahman? Tanya suara di seberang sana, berat dan kucoba mencari ini suara siapa. Jika bukan keluarga dan untuk urusan genting, tidak mungkin ada orang yang iseng menelpon, saat pagi masih muda seperti ini.
“ya..betul” kataku dengan suara yang tidak kalah beratnya, karena masih berteman dengan kasur di badanku.,
“Pak Rahman ada?” tanyanya lagi. Aku menjawab pelan sembari mencari jenis suara siapa ini. ada yang mengerjaiku pagi-pagi buta ini, pikirku.
“maaf, pak! Dia lagi ke mesjid”  kataku dan belum menemukan siapa gerangan di ujung sana,
“dari siapa ini?” tanyaku balik.
“saya Pak Edi, dari kepolisian.” Aku tersentak kaget. Suaranya memang dari tadi terbayang membentuk sebuah badan yang tegap, besar, kulit kecoklatan, sosok polisi pada umumnya, dengan kumis tipis di wajahnya. Aku  tersentak kaget,ngantukku pelan tapi pasti mulai tersulap jadi tanda tanya. Ada apa dengan bapak. Setauku subuh-subuh begini, bapak biasanya sedang berada di mesjid, atau mungkin bapak kecelakaan?
“halo...bu, saya pak Edi, dari Polsek Makassar, “ katanya mengulang-ulang kalimatnya. Pikirku lalu melayang pada Ana, adikku  yang saat ini ada di Makassar.

“mungkinkah Ana sedang ditahan?”. Demo. Mungkin kemarin Ana ikut demonstrasi dan ditahan. Tapi, sejak beberapa bulan lalu, Ana tidak lagi menggerakkan dirinya di jalan. Ada semacam problem yang ia hadapi dengan organisasi yang biasa mengorganisirnya di jalanan, dan setauku sejak itu, dia jarang iku demo, apalagi demo yang tergolong harus ditendaki keras oleh aparat. Mengingat sekarang Kepolisian mencoba mengubah citranya yang garang, dan kalau tidak betul-betul terdesak, mereka tidak akan sembarang menangkap para  demosntran. Dan seingatku terakhir berhubungan via telpon dengannya, ia tidak membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan demonstrasi, setauku dia sedang sibuk merampungkan tugas akhirnya. Atau mungkin, Ana tidak memberitahu hal ini padaku?
“halo...halo...” kata pak Edi dari seberang. Aku tergelagap.
“kami dari kepolisian lalu lintas” katanya lagi. Udi. Pikirku melayang lagi ke Udi, dia pasti ditangkap karena SIMnya hilang bersama dengan dompetnya saat perjalanan pulang dari Jogja kemarin. Tapi, kenapa dia keluar sepagi ini?
“Anak perempuan pak Rahman kecelakaan” katanya dan membuyarkan semua hayalanku. Aku kaget, Aku bisa merasakan aura kepanikan dari dalam mulai menyelimtu pagiku. Aku terdiam.
“anak perempuanya betul kan, ada?”  Katanya.iya, Ana. Kataku padanya.
“kuliah?” tanyanya lagi
“Iya..kuliah di Unhas”tanyaku masih dengan panik. Aku langsung meraih HP yg ad di samping telpon, dan mencoba menghubungi Ana, hpnya tdk aktif. Kuhubungi Tiana,sepupuku yang hampir dari pagi sampi malam bersama Ana, tapi sama. Kuhubungi Anni, adik sepupuku juga, tapi kudengar hanya nada dering. Kutenangkan diriku. Modus penipuan seperti ini sudah sering terjadi. Tapi rasa khawatirku lebih besar dibanding rasa tidak percayaku.
“halo...bagaimana ini bu? teriak suara dari seberang. Aku berlagak tenang walau sebenarnya aku sedang menyambungkan semua ingatan-ingatan kecilku tentang Ana. Aku mencatat nomor telpon yang diberikan padaku, katanya itu nomor dokter yang menanganinya. Biasaya, jika terjadi sesuatu di Makassar, kami selalu tahu. Bukan hanya karena Ana hampir tidak pernah berpisah dengan partner sejatinya, Tiana, yang juga adik sepupuku. Jika ada sesuatu yang gawat,tidak mungkin ia tidak menelpon. Kalaupun tidak bersama Tiana, Ana pasti bersama teman-temannya., yang punya akses ke keluarga kami dengan cepat.  Rasanya tidak mungkin, jika terjadi sesuatu dan kami bukan orang pertama yang harus diberi tahu.
“ tolong telpon sekarang, untuk mememutuskan tindakan medis untuk Ana, adik anda.” Katanya meyakinkanku. Kututup telpon, dan kuhiraukan nomor yang ia berikan. Kuhubungi berkali-kali nomor Ikmal, om ku yang tinggal serumah dengan Ana, tapi tetap tidak diangkat. Kuhubungi Tiana, Anni  berkali-kali dan berganti-gantian, tapi tidak ada jawaban dari sana. Hp Ana juga tidak aktif.
“pasti  mereka sedang tidur” kataku menenangkan diri. Namun, jika benar dan aku tidak bertindak cepat? Bagaimana? Sementara Si Pak Edi itu memberikan keterangan yang cukup jelas.
Kutahu, nama bapak, bisa didapatkan dari buku telpon, tapi ttg tempat kuliah, ttg jenis hp, betulkah, ia hanya menebak dan semua itu kebetulan?
Aku hanya takut kalau kabar itu benar. Dan, aku ingat! Beberapa hari yang lalu, Ana sempat bercerita kalau akan ke Gowa menjadi pendamping peneliti dari luar. Mungkinkah ia sedang kesana, dan tidak seorangpun menemaninya? Aku tidak henti menekan hp hingga tidak sadar bahwa aku belum menunaikan kewajiban subuhku.
Setelah shalat, kutenangkan diriku. Kekhawatiranku berkurang, sedkit demi sedikit. Entah, ada keyakinan bahwa tidak mungkin sedramatis ini jika terjad sesuatu pada adikku. Kuambil selimut dan kulanjutkan tidurku yang terampas oleh dering telpon tadi. Aku tersenyum, sebuah kebetulan yang disiapkan dengan matang oleh para penipu. Kebetulan, Pak Rahman punya anak perempuan yang kuliah di UNHAS, yang sering keluar malam, yang punya HP Nokia entah merk apa.
Kubayangkan Pak Edi dan komplotannya, menungu ponselnya berdering dan menyiapkan tipu muslihat yang akhirnya adalah uang. Pak Edi...pak Edi...kalaupun kamu berhasil merampas tidurku subuh ini,  berhentilah  bermimpi mendapat sepeser uang dari kehobonganmu yang hampir sempurna.  Kali ini kamu tidak berhasil,  karena bukan kebetulan kami adalah keluarga yang senang bercerita. Terutama aku dan Ana, aku kenal hampir semua temannya begitupun sebaliknya, aku juga tahu apa yang sering ia lakukan bersama teman-temannya, aku tahu jika ia akan ke luar kota, aku tahu banyak hal tentang adikku dan keluargaku. Kami jarang menyimpan rahasia. Harusnya, jika terjadi sesuatu, tak perlu ada “pak Edi” yang memberitahuku. Toh teman-teman-teman adikku sudah seperti keluargaku, ia akan bertindak cepat untuk melakukan yang terbaik untuk adikku.
Dan di luar semua itu, aku harap tidak akan ada telpon berdering di subuh hari, bukan hanya karena aku tidak rela tidurku terampas, tapi...aku sering tidak siap mendengar kabar buruk. Dan berharap semua kalian keluarga besar ini, selalu dalam lindungaNya. Amin.

_Ibu Mahatma_
1 Juni 2011
hampir siang dan belum juga mandi...

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer