....namanya....

Namanya Udi, teman-temannya sering memanggilnya Yudi, dia adalah anak ke empat dari 5 bersaudara. Dibesarkan dengan sederhana dalam keluarga besar yang punya banyak mimpi besar. Dia tumbuh sebagai Udi kecil yang nakal, yang selalu menggigit orang saat bersalaman dengannya, tidak satupun ibu di sekitar rumahnya yang mengijinkan anaknya untuk bermain dengan Udi kecil. Sperti anak-anak pada umumnya yang belum takut akan banyak hal, dia pun sama. Sejak kecil, ia mulai menampakkan kreativitas yang tidak tanggung-tanggung, membongkar mobil-mobilnya yang baru saja ia dapatkan dari bapaknya, menakuti ibu dengan kaki seribu ditangannya, dan segala hal menantang lainnya yang selalu dianggap sebagai kenakalan yang harus ditangulangi. Cap itu semakin diperjelas, saat ia memasuki sekolah dan tidak menjadi sorotan seperti saudaranya yang lain. Bukan, dia tidak bodoh, ia toh selalu memperoleh peringkat 10 besar di kelasnya, jika itu standarisasinya, hanya saja ia “sangat beruntung” karena memiliki kakak yang dari kelas 1 – 6, meraih peringkat pertama di kelasnya, setiap semester, saat itu masih caturwulan.  Dan keberuntungan itu mngucilkannya pelan-pelan, karena guru-guru yang megajari kakak-kakanya juga menginginkan hal yang sama.
Dan akulah salah satu kakaknya. Kakak ke tiga yang celakanya telah mengalihkan hampir semua perhatian guru-guru karena prestasi akademik dan non akdemik yang luar biasa cemerlang, dan lebih celakanya lagi, guru-guru mengharapkan Udi kecil melakukan hal yang sama. Lihatlah! Betapa sistem pendidikan ita sejak dulu hingga sekarang menggergoti anak-anak kecil dengan tuntutan. Saat Udi merasa kelabakan dengan matematika, dunia hitung menghitung yang tidak disukainya, hampir bersamaan dengan kehebatanku menyerobot piala lomba studi matematika se kabupaten, seorang guru mencercanya dan aku mendengarnya live tanpa sensor “ kalau pulang nanti, makan tainya kaka’mu” dia tertunduk dan teman-temanku menertawainya. Aku lupa bagaimana reaksiku saat itu. Jelasnya, aku tidak bangga. Kata-kata itu, jelas sekali kuingat, padahal saat itu aku baru kelas 5 SD. Dan, seingatku sejak saat itu, aku mencamkan dalam hati, kalau aku tidak akan membiarkan adikku diperlakukan seperti itu. Dilecehkan, ditertawai. Semua hal itu, membuatnya tumbuh kerdil terkungkung dalam kehebatan-kebatan saudaranya. 
Aku mengingat sedikit dari masa SMP yang kami lalui. Pernah satu kali ia datang mengadu dan menangis padaku karena ia dipukuli oleh tetangga yng umurnya jauh lebih tua, seumur kakak pertamaku. Dan, saat itu aku marah. Marah pada diriku sendiri karena tidak bisa melindunginya.
Ia semakin tersorot pandangan tajam dari keluarga saat masa-masa terakhir SMP, saat ia bergaul dengan anak-anak tidak sekolah dan  mulai mengikuti kebiasaan mereka.
Tapi, masa itu cepat berlalu, dia memutuskan untuk sekolah di Makassar, sebuah pesantren entah berantah yang sekolahnya terpencil di Lompo Battang. Dan di pesantren inilah dia mendapatkan jawaban bahwa dia akan membawa ke mana hidupnya. Jangan salah, ia tidak ingin jadi ustad, sama sekali tidak. Dia menemukan selera bermusik yang lain, yang lebih fresh dan membuka pandangannya yang baru. Dan sejak itu pula, aku mulai kembali dekat dengannya. Sejak itupula, aku adalah garda terdepan saat semua orang menanyakan keseriusannya bersekolah. Aku selalu meyakinkan semua orang bahwa dia bukan lagi Udi yang “nakal”. Namun walau begitu, jujur aku tidak pernah sepenuhnya yakin terhadap Udi. Aku bahkan merasakan kekhawatiran yang lebih dari semua orang. Karena itu, sebelum kekhawatiranku terjadi, aku selalu menghujaninya dengan beribu pertanyaan tentang sekolah dan temannya. Dan aku seringkali bersikap protektif terhadapnya.     
Demi membelanya, aku rela sering-sering datang menengok pesantrennya, memperhatikan setiap temannya. Walau sering kecewa, aku selalu saja yakin, ia tahu yang ia lakukan. Sampai suatu hari, ia datang dan bilang padaku “saya tidak lulus”. Aku syok, terpukul, karena tidak satupun dari keluarga ini yang punya sejarah tidak lulus SMU. Dan ini tidak mungkin dimaklumi walau saat itu, banyak siswa SMU yang tidak lulus karena standarisasi kelulusan yang tiap tahun meningkat. Entah harus berkata apa, jelasnya aku menyimpan rahasia itu baik-baik hingga dia duduk disemester enam d UNM.
Dan begitulah, nasib buruk tidak selalu menimpa. Ia ikut tes lokal UNM, jurusan seni musik dengan sedikit bantuan. Dan dia menemukan hidupnya di sana. Ia mengembangkan diri, kemampuan dan kecintaannya terhadap musik. Tapi, tetap saja predikat mahasiswa tidak membuat ia dipandang lebih. Ia tetap saja Udi yang lain dari semua. Perjalanan panjang kuliahnya pun kuikuti hingga di akhir, dan aku masih saja menjadi garda terdepan saat orang-orang meragukannya.
Dan kini, setelah menempuh perjalanan 7 semester meraih gelar sajananya, ia memutuskan untuk tidak berhenti sekolah. Ia membulatkan tekad untuk belajar S2 di ISI Jogja. Juga aku menjadi garda terdepan, saat orang meragukannya. Aku pun sama, sering meragu, tapi itu selalu kuhilangkan setelah melewati perdebatan panjang tentunya dibumbui pandangan-pandangan yang menurutku harus selalu di refresh di kepalanya. 
Pertanyaannya…siapa orang yang selalu meragukannya. Mereka adalah kami sendiri. Terutama bapak yang masih menganggap Udi anak kecil yang pernah mengisi Ramadhan dengan  berbuka di siang hari di lorong depan rumah, dan pulang ke rumah sebelum Magrib tiba, dengan badan yang loyo. Keluarga besar yang tidak bisa melupakan Udi kecil yang gagap bicara dan tidak juara di kelasnya, Udi yang bergaul dengan orang-orang salah dan gampang pula ikut salah.
Tapi itulah cinta yang mereka wujudkan, bapak bukannya tidak percaya, tapi cintanya terlalu besar hingga menjadi rasa takut, takut jika Udi akan kembali jatuh dan berkubang di lubang-lubang kesalahan. Jika ada yang sedang menertawai mimpi Udi, sebenarnya mereka sedang menertawai diri sendiri karena tak punya keberanian sepertinya.
Dan sekarang, saat ia sedang menjajaki kota Jogja, aku yakin, dia telah menulis jalan yang ia pilih. Dan yakin saja, aku seperti biasa, akan menjadi garda terdepan saat mereka mulai meragu. So…melangkahlah dengan berani, pada hakekatnya, kami semua mendukungmu! Namun terkadang, orang punya cara yang berbeda-beda menfasirkan harapan mereka. Untuk itu, raihlah harimu.
Ya… namanya Udi dan dia adalah adikku sekaligus gitaris yang selalu kami banggakan.

_Ibunya Mahatma_
Saat nyamuk bernyanyi sumbang, karena maha tidak ingin tidur di kamar
11 Mei 2011

Komentar

  1. hahahahahahahahaaah
    mungkin selama ini aku belum bisa memberikan kebanggaan buat keluarga dan orang2 yang ada disekitarku. Tapia aku akan tetap berusaha dan selalu berusaha untuk membahagiakan semua. Secuil sejarah tentang hidupkulah yang memberikan sy motifasi. Mohon doa restunya dan dukungannya, karena tanpa kalian semua aku tak akan seperti ini.

    BalasHapus
  2. yang komentar diatas ini yudi nah...pokoknya chayo yudi...maju terus!!! majukan musik indonesia hancurkan band-band mendayu-dayu!

    BalasHapus
  3. hahahahahahahahaha
    sabar yah.....

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer