Filsafat Power Point



Melihat judul diatas pasti akan muncul banyak pertanyaan atau mungkin anda justru tidak bertanya dan bahkan menganggapnya mengada-ngada. Yah itu terserah anda. Yang pasti konsep filsafat baru ini tidak datang dari saya. Konsep ini datang dari dosen pengajar mata kuliah investasi dan perdagangan internasional yang pasti dikenal banyak orang. Paling tidak oleh kalian yang pernah atau sedang mengambil studi ilmu hubungan internasional di berbagai kampus di Indonesia. Masih susah menebak? Pasti akan lebih mudah menebak kalau saya menyebut judul buku Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Masih belum bisa menebak juga? Atau saya ganti pertanyaannya. Anda yang pernah atau sedang mengambil studi HI pasti punya dong buku dengan judul yang saya sebut diatas? Saya yakin jawabannya pasti mayoritas memilikinya.Keterlaluan kalo gak punya. Nah, segeralah liat siapa penulis buku satu-satunya di Indonesia yang membahas metodologi ilmu hubungan internasional ituS. Sudah ketemu? Yup. Dialah yang membuat saya dan Wawan selasa pagi kemarin agak was-was karena terlambat masuk kuliahnya. Setelah masuk ternyata tidak terjadi apa-apa seperti yang kami khawatirkan namun dari sinilah cerita ini dimulai.
Selasa kemarin adalah minggu keempat sesi presentasi dalam mata kuliah ini. Minggu lalu adalah giliran saya dengan Aswin memberikan presentasi mengenai industri film nasional. Dan sebelumnya ada dua kelompok yang sudah mempresentasikan 2 tema yang berbeda. Tiga pertemuan sebelumnya disupervisi oleh dosen lain. Dan untuk pertemuan keempat ini spesial disupervisi oleh Pak Mochtar Mas’oed.  Saya tidak paham apakah ini anugerah atau bencana bagi Adel dan Mas Pram yang mendapat giliran presentasi kemarin. Yang jelas saya terus tersenyum saat melihat mereka sepertinya kurang percaya diri mempresentasikan tema yang mereka angkat mengenai produk mainan China yang masuk ke Indonesia dalam kerangka ACFTA. Tapi mereka tetap berusaha memberikan yang maksimal meski saya yakin mereka pasti tau kalau sebentar lagi The Last Pope of IR in Indonesia (istilah ini saya dengar dari seorang kawan yang baru saja menyelesaikan S2 HI nya d UGM dan sekarang sedang berusaha menggapai mimpi-mimpinya…hahahaha) ini akan mengkritisi banyak hal. Dan ini ternyata betul-betul terbukti. Sebelum dimulai sesi tanya jawab, Pak Mochtar mulai mengkritisi metode presentasi yang digunakan oleh presenter. Dimulai dengan mengkritisi power point yang ditampilkan. Sambil mengevaluasi konten slide per slide, beliau mulai memberikan “kuliah” nya yang tentunya sangat inspiratif. Dan ini tidak ditujukan kepada presenter saja namun juga kepada kami semua peserta mata kuliah tersebut.

“Anda tahu kenapa disebut power point?”, dengan agak tegas beliau bertanya kepada kami semua.

Tak satu pun dari kami yang memberikan jawaban. Dan saya yakin pertanyaan itu juga bukan untuk kami jawab.

“Namanya saja power point, berarti kekuatannya ada di poin-poin yang anda tampilkan”.

“Kalau anda mau menulis panjang-panjang, maka sebaiknya tidak perlu menggunakan power point. Cukup menggunakan word lalu anda sorot (maksudnya ditampilkan dengan in focus)”.

Begitu komentar Pak Mochtar mengenai power point yang ditampilkan presenter dan saya yakin sering juga kita lakukan. Menggunakan power point namun yang ditampilkan bukan poin-poin penting melainkan pernyataan atau penjelasan yang panjang lebar mengenai topik yang ingin kita sampaikan.

“Kita sering menggunakan power point namun juga sering tidak mengerti filsafat power point” tambah Pak Mochtar.

Mendengar beliau menyebut-nyebut filsafat dan apalagi dengan embel-embel power point sontak saja saya bersama beberapa teman tersenyum. Entah apa maksud senyum mereka tapi bagi saya bapak ini betul-betul cerdas dan memukau. Dan bagi saya kerancuan terhadap penggunaan power point dan kemudian bagi Pak Mochtar menyalahi filsafatnya bukan hanya persoalan kerancuan terhadap metode presentasi atau hanya merupakan persoalan program power point itu sendiri. Namun lebih dari itu bagi saya kerancuan ini juga sedang mewabah dan sering diulangi oleh penyelenggara Negara ini dan tentunya juga banyak dari kita tentunya dalam kadar yang berbeda-beda. Namun karena sudah saatnya dilakukan vertikalisasi kesalahan maka mari kita melihat bagaimana model kerancuan a la power point ini direproduksi oleh elit Negara ini. Hahahaha……………….
Mari kita coba melihat bagaimana bentuk-bentuk komunikasi politik yang dilakukan oleh elit Negara disemua lini terhadap mayoritas masyarakat. Setauku, komunikasi politik yang digagas dan dipraktekkan oleh penyelenggara Negara idealnya  bertujuan untuk semakin memperjelas berbagai hal yang berkaitan dengan proses pembangunan di berbagai sektor yang sedang berlangsung dan tentunya harus mampu menjawab dan memberi solusi atas persoalan-persoalan yang tiap hari muncul ke permukaan dengan berbagai wajah kusamnya. Penjelasan yang diberikan pun seharusnya diberikan secara lugas dan tidak bertele-tele sehingga masyarakat betul-betul mendapat kepastian bukan justru semakin “menggantung”. Anda yang sudah sering “digantung” tentu sangat tau bagaimana rasanya berada dalam posisi “digantung”. Dan coba bayangkan bagaimana masyarakat hari ini termasuk saya dan anda tentunya sudah berkali-kali tidak mendapatkan kepastian tentang berbagai persoalan yang mendera kita hanya karena para penyelenggara Negara kita sangat hobi membawa kita “berekreasi” kemana-mana dengan metode komunikasi politik yang begitu bertele-tele dan kadang menurutku dari statemen-statemen yang dibangun seolah-olah menganggap kita yang mendengarkannya betul-betul bodoh sehingga harus percaya dengan sesuatu yang seringkali terbukti tidak rasional.  
Seharusnya elit-elit kita ini tahu dan sepenuhnya sadar bahwa masyarakat, dimana saya dan anda tentunya didalamnya, tidak cukup punya banyak waktu untuk hanya sekedar mendengar dan membaca celotehan-celotehan panjang lebar dan seringkali minim substansi oleh para elit karena kita semua harus segera menghadapi dan menjawab sendiri persoalan-persoalan yang mendesak karena seringkali perosalan-persoalan tersebut harus berhubungan langsung bukan lagi dengan sesuap namun sebakul nasi. Itu berarti menghabiskan waktu berlama-lama mendengar dan  membaca sederet kata-kata barisan nisan dari para elit sama saja dengan membiarkan kesempatan mengais renyah kebahagiaan-kebahagiaan kecil menjadi sirna. Dan akhirnya kami harus memilih berjalan sendiri dan sesekali berbalik mencibir “detail” yang kalian berusaha suapkan kepada kami. Maaf waktu kami sudah habis dan harus segera menyongsong peluh dan sekali lagi bukan untuk bongkahan berlian kata band yang mungkin anda gila-gilai itu, tapi ini untuk hela nafas esok pagi.
Hmm.. saatnya mendeklarasikan dan mempraktekkan filsafat power point…singkat, padat dan jelas… dan berhentilah sok serius hingga harus berpanjang-panjang yang membuat kami semakin tidak mengerti dan akhirnya meninggalkanmu…
----------------
Ah tidak perlu serius membaca ini. Ini ulasan subuh hari saat saya harus memaksa diri mencoba untuk mengubah sedikit skenario yang sempat sudah saya susun rapi. Kusudahi ini dan berhati-hatilah karena There’s devil in details….itu juga kata beliau. Terima kasih.

Subuh, 13 Mei 2011
Bantaran X Code
Saat Udi mulai terlelap dengan mimpi2 besarnya….

Komentar

Postingan Populer