Imaji-imaji mahatma...mulai berpijar*

“ Menjadi seorang ibu adalah prestasi tebesar yang diraih oleh seorang perempuan dalam sejarah keperempuanannya. “ aku sering berkata begitu pada banyak orang sebelum menjadi ibu dan apalagi setelah meraih prestasi itu. Melihat anakmu tumbuh dari hari ke hari adalah sebuah rutinitas yang tidak rutin. Melelahkan tapi semua dikalikan nol, saat jagoan kecil ini menyunggingkan bibirnya danmempelihatkan gusi yang giginya telah habis keropos, padahal sejak kali pertama giginya tumbuh kami_aku dan komrad_ rajin berkonsultasi pada calon dr. Gigi Fian yang sekarang jarang kudengar ceritanya dari duo partner (Ana & Tiana), mungkin karena tidak lagi tinggal bersama.
Ah bicara tentang gigi, dia sekarang mulai sering lagi ia manfaatkan utuk menggigitku saat ia memanggilku berkali-kali tapi tidak kujawab, atau saat ia berbicara tapi mataku tidak melihat matanya, tepatnya saat perhatianku teralihkan dari dirinya, ia mulai menggigit. Karena gigi depannya sudah habis, ia memakai gigi taringnya dan lebih sakit pastinya.  Dan juga teringat bibir manyunnya seperti terlihat pada gambar, saat ia meminta sesuatu “buuuuu...mau es yim ituuuuuuuuuuuu” dengan tekanan suara yang panjang dan tinggi. poko’nya kalau disaingkan dengan olah vokalnya PSM UNHAS, sepertinya Maha masih menang.
Rumah kami di Bone sebuah bangunan rumah lama, rumah kayu yang dibuat lebih luas, mengingat si empunya rumah punya lima anak. Walau begitu, ketika lima anak ini pulang ke rumah dan sekaligus memboyong anak istri/suami, rumah ini tetap tak punya cukup kamar. Dan inilah arena bermain maha setiap hari. Mulai dari tangga di luar sampai, pintu belakang. Mulai dari kamar mami Herinya, sampai kamar tamu di depan. Rumah ini sudah tampak seperti arena bermain, di sana-sini, barang tergeletak.
Hampir tiap akhir pekan, Sabtu dan Minggu maha dan dede aira selalu di bawa refreshing, ke taman bunga, lapangan Merdeka, swalayan Surya Indah untuk mandi bola, ke tempat yang disebut orang mall, padahal asli di sana sangat panas. Jangan coba membayangkan mall Panakukang, mall di sini, adalah Pasar Butung versi kecil. Dan karena sering di bawa, maha hapal betul tempat-tepat ini. Dan itu lagi membuat  saya percaya bahwa masa emas kemampuan otak anak adalah sebelum dia berumur 4 tahun.
Sore itu, hujan dan rencana jalan-jalan sore dibatalkan. Dan jika itu terjadi, maha akan mengamuk. Menyesali dandanannya yang sudah rapi dan parlente seperti biasa. Tapi, sore itu tumben ia tidak memasang aksi ngambeknya yang bisa meluluh lantahkan kerasnya batu karang. Aku yang sedang asyik menyantap menu sore di teras rumah, terperanjat
“bu...bu..sini bu..”katanya sambil memegang tanganku dan menarikku ke ujung kamar. Aku tidak sempat menjawab.
“pi...Urya indah na!” katanya sambil menunggu persetujuanku. Belum sempat aku menolak
“mo naek eca’ ibu?”
“iyya”kataku tak ingin meperpanjang masalah
“mana uangnya bu?” ia meminta bayaranku. Aku mulai tahu aksinya. Ia berlagak seolah ia sedang menuju Surya Indah, toko favoritnya karena menyediakan berbagai macam permainan untuknya. Aku tersenyum dan mulai mengikuti ritmenya. Kuberikan uangku  
“mo beli apa pak maha?”tanyaku.  Sambil berpikir ia bicara sendiri, menuju ke pojok lain dan kecil-kecil kudengar
“beli cucu deh, beli teh otak, elli ula-ula, elli...apa di Bu? Tanyanya padaku. Belum sempat kujawab, imajinya lalu meliar.
“mo pi taman Bunga deh..” sambil mengangkat kuda-kudaannya yg sebenarnya adalah rusa,
“ampe...” katanya saat tiba di ruang tengah
“ada Tatte bu?” tanyanya padaku. Aku menggeleng, ia ingat Tatte, seorang perempuan gila dan mungkin seantero Bone mengenalnya. Lama ia diam
“bu...pennah beli es yim mamma ini di?” aku tersenyum lagi, dia ingat aku membelikannya es krim minggu lalu. Dia ingat hal-hal yang menurutku kecil yang kami lakukan bersama. Misalnya tempat makan yang pernah kami datangi, kantor yang pernah kami singgahi, orang-orang yang berkesan di dirinya, ia ingat pernah naik giraffe2an di sebuah tempat wisata, mengingat momen2 bersama bapaknya, dan ia mengulangnya berkali. Dengan pertanyaan pula, dan musti harus di jawab dengan cepat dan meyakinkan. Jika tidak, ia akan teriak sekencang mungkin.
Hampir tiap hari ia bermain dengan imajinya. Menyusun sendiri gelas-gelas dari lemari yang tadinya sudah rapi dan saat kutanya
“mau apa maha?”
“mau minum-minum opi...” katanya. Aku tergelak . Dari mana semua kosa kata itu ia dapatkan? Dan saat seperti itu, ia sering mengoceh sendiri. bertingkah yang pastinya lucu. Sehingga momen seperti ini menjadi berharga untuk ditinggalkan.
Beberapa bulan terakhir, maha gandrung melihat aksi beberapa band-band ternama. Maka setiap pagi,setelah mandi dan menjalankan aktivitas ia sudah nongkrong depan tivi dan minta “ahsyat bu”, DAHSYAT katanya, ia melototi televisi jika melihat para musisi itu memainkan gitarnya, atau para vokalis bergaya di depan kamera. Maha belum menentukan jenis musik yang ia suka, ia menkmati semua musik. Mulai dari “Cinta Satu malamnya Melinda sampai Mesin Penenun Hujannya Frau.  Ia suka lagu-lagu mendayunya nya Wali dan juga berteriak sambil melompat saat mendengar Lagu-lagu Jenny. Tapi, dari dulu ia sudah meyukai lagu-lagu Bondan, dia selalu kelihatan  bahagia saat mendendangkan lagu-lagu Bondan. Dan ia menyukai Piyu padi dengan aksi gitarnya yang memeng keren. Dan, ada lagu yang saban malam harus didengarnya. Lagu D’massive. Aku tidak tahu judulnya apa, yang jelas lagu itu adalah soundtrack sinetron stripping, Putri yang Ditukar. Yang membuatku kelimpungan, karena ia tidak membiarkan kita menikmati siaran tv lainnya saat sinetron itu tayang. Soalnya, ada penggalan lagu di setiap adegan yang sering diulang. Dan itu yang selalu ditunggunya. Hasilnya, bukan Cuma lagunya yang akhirnya diberi judul “cintaku” oleh dia sendiri yang ia hapal. Tapi juga nama pemain sinetronnya. Pak prabulah, amiralah, surtilah. Dan ia sering menyebut nama-nama itu dalam kesehariannya. Saat aku bercerewet ria kepadanya karena sesuatu hal, dia langsung menimpali
“ibu aya sutti” sambil memegang mulutnya dan tertawa terkekeh-kekeh, tokoh di sinetron yang cerewetnya minta ampun dalam sinetron itu. Dan kalau sudah begitu, aku takluk padanya. Kuhentikan bawelanku dan ia akan datang memelukku dari belakang
“maha sayang ibu?” tanyaku selalu setiap hari padanya.
“iyya  sayang”.
“Besar sayangnya?”.
“becaaaar kaya gini uuuuuuuuuuu (sambil membuat lingkaran besar dengan tangan kecilnya)”
Yah...maha tumbuh dengan imaji-imaji kecil yang kelak berpendar menjadi lebih besar. Betul, kadang aku angkat tangan dan kalap menghadapi ketidakmengertianku akan bahasanya. Kadang pula aku masih tidak sanggup membaca imaji-imaji yang ia ingin bagikan padaku...tapi, bagaimanapun, kita semua masih sedang belajar.

 _ibunya mahatma_
28 mei2011
Memenuhi harapan papa bebi...
*memilih kata-kata itu, aku sedang teringat “kita”

Komentar

Postingan Populer