Komrad

Ini sebenarnya ide lama yang sudah beberapa kali saya rencanakan untuk menulisnya namun selalu terlupakan kalo sudah depan komputer. Sampai akhirnya hari ini saya kembali diingatkan oleh seorang teman sekuliah dengan sebuah pertanyaan yg jadi inti tulisan ini. Kenapa kak nita (ibunya mahatma) dipanggil komrad? begitu pertanyaan si Adel temanku itu. Pertanyaan yang seingatku sudah ditanyakan oleh beberapa orang yang biasanya selalu kujawab secara verbal dan panjang lebar. Dan sebelum terlupa lagi, kali ini akan kuceritakan dengan tulisan kenapa ibunya mahatma kupanggil komrad dan ia juga akhirnya memanggilku dengan panggilan yang sama. Panggilan yang diawal masa nikah kami disarankan untuk oleh nenek bone nya mahatma untuk tidak digunakan lagi dengan alasan karena sudah nikah..Hmmm…alasan yang kurang beralasan..panggilan yang sampai sekarang tidak bisa dilafalkan baik oleh Papa Ci’ (panggilan yang diberikan maha untuk Kakek Bone nya) nya Mahatma..Hahaha…
………………………….
Cerita ini bermula sekitar tahun 2003 saat Ibunya Mahatma masih mahasiswa baru (maba) di Prodi Hubungan Internasional Unhas dan saya (tidak) kebetulan menjadi seniornya. Dia angkatan 2003 dan saya angkatan 2000. Pagi ato siang itu, lupa saya tepatnya. Yang jelas saat itu beberapa mahasiswa baru dikumpulkan di sekretariat Himahi Fisip Unhas yang entah atas inisiasi siapa dan maksudnya apa. Lagian kalo masa-masa pengkaderan (istilah yang patut didebat belakangan) alasan dan motivasi pengumpulan maba saya kira tidak perlu dipertanyakan karena semua aktivitas antara senior dan maba pasti dibungkus dengan alasan kaderisasi, bukan begitu? Termasuk motif-motif “busuk” senior yang hendak memulai tipu muslihatnya untuk mendekati si maba…hahaha… (bukan pengalaman pribadi).
Saat itu sekitar 5 atau 6 maba berada diruangan yang menurutku tidak cukup luas apalagi ditambah dengan beberapa senior yang punya banyak motif. Dan ibunya mahatma salah satunya. Setelah menanyai macam-macam pertanyaan ke beberapa mahasiswa baru (mulai dari pertanyaan penting sampe yang “paling penting”), akhirnya tiba gilirannya ibunya maha. Saya kurang ingat apa-apa saja yang kami bicarakan dan saya tanyakan saat itu tapi yang jelas diakhir percakapan saya dan ibunya mahatma sangat ingat sekali tentang tugas yang kuberikan. Dengan berlagak seperti senior pada umumnya (yang serba “seolah-olah”), saya menginstruksikan untuk menonton sebuah sinetron yang judulnya kalau gak salah Cinta di kampus Biru yang dibintangi Indra Brugman dan Desy Ratnasari. Kenapa sinetron itu? Karena sinetron ini cerita tentang kehidupan kampus yang diwarnai dengan “aktivisme”, misalnya tokoh utamanya (si Indra Brugman) yang aktivis kampus, mana poster Che Guevara tertempel besar dikamarnya yang saat itu masih jarang ditemukan, terus dibumbui dengan kisah-kisah asamara a la kampus yang tidak se cengeng sinetron-sinetron sekarang. Masih kurang beralasan? Ya sudahlah klo begitu. Anggap saja senior memang selalu member tugas yang seringkali memang tidak punya alasan yang jelas. Tapi sebenarnya saat itu saya mau bilang kalo punya persamaan dan perbedaan dengan tokoh utama sinetron itu. Persamaannya saya juga punya poster Che di kamar yang saat itu masih langka dan bedanya saya bukan aktivis. Hehehehe….
Pokoknya sejak saat itu saya mulai akrab dengan ibunya mahatma. Akrab sebagai seorang sahabat. Meski ibunya mahatma pada awalnya agak sungkan. Maklum harus berlagak seperti sahabat biasa kepasa senior yang sekaligus mantan ketua himpunan (hahaha…) pasti tidak mudah untuk seorang mahasiswa baru. Buktinya saat saya menyuruh untuk tidak memanggil dengan panggilan Kak Bobhy karena terkesan feodal menurutku dan menggantinya dengan panggilan Kawan Bobhy, ibunya mahatma masih sering salah meski akhirnya terbiasa. Masalah panggilan kawan sebenarnya juga punya cerita sendiri. Jadi dulu saat masih gabung di salah satu organisasi mahasiswa islam tertua, seorang senior sangat marah kalau dipanggil “Kak” atau “kanda”. “bagaimana bisa tercipta masyarakat egaliter kalo begini” begitu celotehnya kalo kami lupa dan masih memanggilnya dengan embel-embel feodal di depan namanya. Itu juga alasan yang kupakai untuk “memaksa” ibunya mahatma memanggilku dengan panggilan Kawan Bobhy. Dan saya juga memanggilnya Kawan Nhyta.
Namun panggilan ini tidak bertahan lama. Karena beberapa bulan setelah itu, saya mulai memberikan panggilan baru ke Ibunya mahatma. Komrad. panggilan ini berasal dari bahasa Inggris “comerade” yang artinya “kawan”. Biasanya orang Indonesia melafalkannya dengan lafal “kamerad” namun entah kenapa saya lebih memilih lafal “komrad” yang hingga kini jadi panggilan untuk kami berdua.
Ini mungkin sepele tapi bagi kami ini sangat penting apalagi sejak memutuskan untuk hidup bersama. Bagi kami ikrar “perkawanan” yang disimbolkan dengan panggilan “komrad” sekaligus sebagai komitmen bahwa hubungan yang dibangun mesti “setara”. Tidak ada yang perlu menjadi lebih dominan sehingga salah satu pihak menjadi sub ordinat. Karena bukankah model hubungan seperti itu biasanya akan lekang oleh waktu? Dan untuk urusan hubungan yang setara dan proporsional dan sekaligus kritis, saya selalu percaya dan berusaha mengamalkan slogan TVRI zaman dahulu kala….Menjalin Persatuan dan Kesatuan. Haha… semoga !

Komentar

Postingan Populer