Surat (bukan) untuk Presiden


Sebenarnya surat ini enggan kutujukan kepada bapak Tuan Presiden. Alasannya sederhana saja dan sama sekali tidak berhubungan dengan urusan preferensi politik atau ideologi tertentu. Pertama, karena bapak Tuan Presiden pasti sedang banyak kerjaan mengurusi ini itu yang tak kunjung selesai dan akhirnya membuat geram banyak pihak. Dan akhirnya Tuan harus mengklarifikasi ini itu juga. Kedua, setauku sudah banyak permintaan berupa tuntutan bahkan desakan yang dilayangkan ke anda khususnya oleh mereka yang berada di kelas “ekonomi” yang lebih memilih udara bebas di atas rel kereta meski akhirnya harus terkena semprotan zat pewarna ketika melintasi satu stasiun, ayah ibu yang menenteng foto anaknya dan memilih berpanas-panas dengan nyali berlapis di setiap kamis di depan istanamu, mereka yang masih berusia belasan akhir dan berani “menggadaikan” sesuatu yang paling berharga dari diri mereka dengan modal secuil militansi dan memilih berhadap-hadapan “muka dengan muka” dengan para aparat Tuan sambil menenteng poster untuk mimpi dunia yang lebih baik dan kemudian balik ke kosan dengan perut keroncongan dan berakhir dengan tumpukan utang di warung sebelah, mereka yang saban 1 Mei tidak bosan-bosan menjambangimu lewat teriakan-teriakan parau, mereka yang kalap dan dengan tangan mengepal berusaha mempertahankan sejengkal “kebanggan” yang ditinggalkan leluhurnya yang hendak direbut oleh para serakah yang “rapi” dan bertato dolar di jidatnya, atau mereka yang akhirnya memilih “menikmati” tontonan-tontonan sampah di prime time sambil sesekali berkhayal jadi gedongan meski air mulai menggenangi rumah…dan mereka-mereka yang setiap hari mesti cenat-cenut untuk seabreg masalah yang menumpuk laksana container di pelabuhan yang menunggu diangkut oleh sang empunya, dan tentunya diriku yang juga berada diantara mereka yang tiap pertengahan bulan harus mulai mengaktifkan kalkulator imajiner di kepala dan mulai mensiasati agar gaji secuil yg kuterima tiap tanggal 25 bisa tetap bertahan sampai 25 berikutnya tanpa mengurangi intensitasku membeli buku sepuluh ribuan di shoping, makan nasi telur 3 ribuan di warung mas bro, membuat senyum Pak Slamet si pemilik kos ketika menyerahkan selembar uang 100 ribu ditambah selembar 50 ribuan ditambah selembar 20 ribuan dan selembar 5 ribuan , dan tentunya tetap menikmati gorengan dan susu jahe di angkringan depan UGM yang paling enak sedunia….hahahaha….

Dan pintaku dan mereka ini setauku sangat sederhana, aku dan mereka hanya meminta agar Tuan tidak selalu cemberut dan mengeluh dan tentunya berharap Tuan bisa tetap teguh dan tegas berhadapan dengan para bandit agar kami bisa terus menyandarkan harapan. Engkau tidak perlu menjadi seperti ayah mantan presiden dimana engkau pernah menjabat sebagai menteri di kabinetnya, tapi kalau Tuan bisa segarang Chavez atau Morales ketika bertemu dengan kepongahan dan keangkuhan Om Sam dan bisa sekaligus bisa bersahaja dan begitu bersahabat dengan rakyat nya, maka kami pasti tidak akan membiarkanmu berada di barisan depan sendirian berjuang melawan korupsi dan nafsu-nafsu syaithaniah ekopolsosbud yang sedang membanjiri negeri ini serupa lagu-lagu mendayu-dayu di industri musik tanah air. Kami akan serupa rakyat Venezuela yang rela berhadapan dengan senjata dan tank dan membawa Chavez kembali ke Istana Miraflores setelah kuasanya direbut paksa selama 17.280 detik oleh para bandit yang wajahnya serupa banyak bandit di negeri yang (semoga) tetap permai ini. Atau kalau pun itu susah maka jadilah seperti Ayah kawanku yang harus “berpeluh” dan “bersimbah keringat” demi memenuhi kebutuhan keluarga, tak sekalipun beliau membiarkan anak-anak harus berdiri di depan kelas karena belum membayar iuran sekolah dan beliau tak pernah mengeluh apalagi menangisi keadaannya dan juga tak pernah sekalipun membenarkan untuk menggadaikan harga diri demi sesuap nasi. Dan yang paling penting Sang Ayah masih bisa mendongengkan kisah-kisah bijaksana di penghujung malam tentang cinta dan perjuangan, keteguhan dan harga diri yang akhir-akhir ini mulai surut seperti air kali di kampungku karena para bandit yang terus “merenggut paksa” harta yang terpendam di perut bumi.

Awalnya surat ini akan aku buat ala kadarnya dan tidak sepanjang ini karena toh hanya akan kugunakan sebagai ganti tiket masuk di helatan Letter for President dan bertemu dan bercerita dengan Jenny dan para teman pencerita dan sesekali menyiapkan tenaga ekstra untuk membantu mereka yang memilih bercerita dengan moshing di tempat yang sama sekali asing bagiku.

Tapi karena akhirnya saya berpikir bahwa bukankah semua agama mengajarkan kita untuk saling mengingatkan dalam kebaikan atau tepatnya bukankah salah satu esensi ber “manusia” justru saat kita memilih berjuang bersama mencapai manusia yang seutuhnya?, maka akhirnya pilihannya adalah membuat surat ini agak sok serius. Wah, paragraph ini pasti tak akan terbaca oleh Tuan karena rada njlimet  ya Tuan? Tapi ini kan belum seribet urusan fiscal, pertumbuhan ekonomi, deflasi, inflasi dan sederet istilah-istilah yang sering Tuan Presiden sebut diberbagai kesempatan bak mantra yang jadi rujukan utama taktik mengayuh roda republik ini. Tapi untungnya pidato-pidato itu tidak ditayangkan di prime time dan sepanjang  program Siaran Khusus milik TVRI zaman Kakek Harto masih berkuasa yang tayang secara tak terduga dan akhirnya dicaci seantero republik karena mengganggu kekhusyukan menonton Film Janur Kuning yang bercerita tentang kehebatan Kakek Harto….hahahaha….

Surat ini juga akhirnya harus kulanjutkan karena aku ingin berbagi dan tidak bermaksud sama sekali mengeluh, sekali lagi ini hanya mengingatkan siapa tau Tuan tidak sempat memperhatikan karena harus memutar otak dan mencari jurus jitu agar para investor bisa nyaman mengambil apa saja yang kita punya. Saya kira saya jadi orang kesekian yang hendak atau sudah mengingatkan kalau perbedaan ternyata telah menjadi persoalan serius yang memungkinkan darah tertumpah bukan pada tempatnya. Padahal bukankah perbedaan adalah fitrawi dan azali. Dan yang lebih menyedihkan lagi bahwa perbedaan itu lalu dibalut dengan ajaran-ajaran kitabiah untuk membenarkan terhunusnya “pedang” dan berakhir dengan drama kekerasan dan tragedi. Tragedi kita, tragedi kemanusiaan.

Saat membaca ini pasti Tuan sudah mafhum apa yang saya maksud dan bukan tidak mungkin Tuan sudah punya seabreg jurus-jurus ampuh untuk menyelesaikan ini. Mudah-mudahan. Tapi karena sekali lagi ini bermaksud untuk mengingatkan sekaligus usul maka saya kira tidak salah kalau saya yang bukan siapa-siapa ini bermaksud member saran. Bukankah negeri kita ini begitu menjunjung (demokrasi?
Lanjut… Bagaimana kalau setelah membaca surat ini Tuan segera memanggil Menteri Pendidikan dan segera mengeluarkan Kepres atau apalah namanya agar buku-buku di Sekolah Dasar kembali memasukkan pelajaran tentang pentingnya saling menghormati, saling berbagi, dan saling tenggang rasa dan tentunya yang paling penting dibarengi dengan suri tauladan dari Tuan dan abdi-abdi Tuan semuanya. Untuk buku-buku tentang Tuan, saya kira tundalah dulu karena toh foto Tuan ada di setiap kelas di semua sekolah di negeri ini jadi semua kita pasti tau siapa Presiden Republik ini.

Nah kalaupun surat ini tidak terbaca sebaiknya jangan dibuang di sembarang tempat karena kita sudah cukup punya banyak masalah dengan tumpukan sampah. Hidup Sehat lah! 

Sekian dan terima kasih.

Komentar

Postingan Populer