Jenny Merayakan Kesetaraan!


Setelah tanya sana sini, memelototi Yogyakarta Tourism Map yang tertempel malas disamping cermin kamarku dan searching via mbah Google akhirnya lokasi Lapangan Blok O kutemukan meski belum terlalu jelas. Dari pencarian singkat itu, informasi yang paling jelas kudapatkan bahwa untuk menuju lapangan blok O maka rute yang harus ditempuh sama dengan arah menuju Jogja Expo Centre namun di perempatan pertama saya harus belok kiri dari arah jembatan layang Janti. Dan malam minggu kemarin kami (sekali lagi berdua dengan kawanku yang sudah terlihat lebih “kurus) menempuh rute itu dengan harapan akan menjumpai “penanda-penanda” lain menuju blok O.
Oh iya, dari informasi beberapa teman juga saya ketahui kalau Lapangan blok O itu dekat dengan perumahan Angkatan Udara Adisucipto. Artinya tempat yang kami tuju ini adalah teritori instalasi militer. Terbayang beberapa tahun yang lalu sempat kena gertak oleh tentara penjaga gerbang di salah satu perumahan AURI yang berada di Makassar. Tapi bayangan itu sama sekali tidak mengurangi apa pun apalagi menciutkan nyali. Sama sekali tidak. Kecuali rasa letih yang begitu terasa setelah sehari semalam memilih rehat dari hiruk aktivitas kulaih bersama teman-teman. Tapi perayaan ini harus tetap harus kami hadiri. Dan kami tetap melaju meski tak terlalu cepat.
Malam minggu kemarin, sebuah produk provider kartu seluler mengadakan festival band dengan tajuk XL Jagoan Muda dan Jenny menjadi band pembuka sebelum Endank Soekamti menyapa para Kamtis di penghujung acara. Dan setelah sampai di lokasi event baru saya tau kalau ternyata acara ini diadakan di dalam kompleks Sekolah Tinggi Teknologi Adisucipto yang sepertinya semi militer. Ini terlihat dari kostum para mahasiswa yang menjaga di pintu gerbang. Meski demikian tidak ada pengamanan yang berlebihan. Dan yang membuat kami bertanya-tanya kenapa institusi ini mau memberikan izin perhelatan di kampus itu dan apalagi menghadirkan band seperti Jenny dan Endank Soekamti yang pasti akan memicu hiruk pikuk. Jawaban kawanku sederhana, “mungkin salah satu panitia acara ini adalah anak salah satu petinggi institusi ini”. Tapi kami berdua langsung tertawa dan seolah-olah telah menemukan jawaban yang sama dan pas. “Ini Jogja Bung”! hahahaha……….
Seperti yang juga telah kami prediksikan sebelumnya seperti biasa kami akan menjadi “yang tertua” diantara kerumunan anak-anak belasan tahun yang tak sabar bertemu band-band idolanya. Dan kami berdua sekali lagi tertawa. Menjadi dua orang bangkotan di anatara para ababil. Dan saya semakin tertawa ketika harus menuliskan identitas yang disediakan panitia untuk menukarkan pulsa 5000 an setelah membeli tiket. Disitu tertera nama, no telpon yang kami dapatkan dari pembelian tiket, dan asal sekolah. Sekali lagi, SEKOLAH! Hahaha… semakin jelas kalau tidak satu pun pihak yang mengadakan acara ini, mulai dari inisitaor sampai panitia di lapangan sempat terpikir bahwa event ini akan dihadiri oleh dua orang mahasiswa pascasarjana dan yang satunya telah memiliki anak yang lucu. Yah, sudahlah. Anggap saja pihak yang membuat acara ini memang menjadikan remaja sebagai segmen yang paling mungkin dirasuki dengan janji-janji telpon gratis dan blabla. Dan tidak terlalu paham kalau musik adalah simbolisasi universalitas. Dan dalam kadar tertentu sebenarnya adalah bentuk perayaan atas kesetaraan. Meski tidak semua band atau pekerja musik menyadari atau tepatnya mau menyadari itu karena terlanjur tergoda dengan goda ketenaran yang akan menuai puja dan puji serta terangnya blits kamera-kamera mahal.
Tapi seperti malam-malam sebelumnya kami berdua tidak ingin bertemu siapa-siapa apalagi idola. Kami hanya ingin bertemu teman-teman yang ingin bergembira bersama dan berharap bisa belajar bersama dengan cara yang tidak biasa tentunya. Belajar memahami dan coba toleran saat tiba-tiba kamu tersenggol dengan agak keras oleh teman sebelah yang sedang asik menikmati hentakan Manifesto Posmodernism, atau saat tiba-tiba bekas sepatu melekat di pipi kananmu tanpa sadar akibat ulah temanmu yang lebih memilih bergembira dengan cara moshing dan kamu kemudian membantu menggotongnya saat ia terjatuh dan berakhir dengan eratnya jabatan tangan. Belajar melihat dan memahami bahwa ada beberapa teman yang memilih agak menjauh dari kerumunan yang hingar dan memilih bergembira dengan caranya yang mungkin agak lebih elegan dengan hanya melipatkan kedua tangannya dan ikut berdendang meski kaki tetap terhentak. Belajar memperlakukan seseorang atau kelompok yang selalu kamu anggap idola dengan cara dan perlakuan yang biasa saja. Belajar bahwa lagu bukan hanya untuk dinikmati tapi lebih dari itu lagu perlu dipahami dan sebisa mungkin jadi media untuk “bercermin” dan melihat diri kita dan orang-orang yang berada tepat begitu dekat dengan kita.
Dan malam minggu kemarin meski letih kami berdua datang menjambangi perayan itu semua. Merayakannya bersama-sama dengan cara kami masing-masing. Dan seperti biasa semuanya adalah rantai keakraban.
Dance Song dan Hujan Mata Pisau telah berlalu dengan keringat dan peluh yang mengucur sebelum sapa itu mengucur pelan dari dia yang kerap berpayung dan menggenggam erat sebuah “kitab”.

“Kita Semua setara”

“Bukankah kita semua setara?”

Mungkin karena terlalu letih, jawaban “iya” membahana tapi tidak hendak meninju langit. Seadanya. Tapi bagiku pertanyaan itu sudah terjawab dengan “hujan ludah” dimana-mana. Dan bukankah tidak semua pertanyaan mesti dijawab dengan sekedar “iya” dan “tidak? Tapi kadang-kadang pertanyaan mesti dijawab dengan laku. Bagiku juga, pernyataan dan pertanyaan di atas seperti hendak membenarkan sesuatu yang mungkir hampir tiap hari mengalun cadas tapi tetap manis di  telinga teman-teman pencerita.

“satu paling ujung dari tujuh/ saatnya tumpahkan keluh kesahku/ bingarkan panggung rendah luas terang tanpa barikade”

Biarkan panggung tempat kita bergembira tetap binger namun jangan biarkan ada tembok yang menghalangi kita untuk tetap bercerita dan berbagi tentang banyak hal. Jangan biarkan barikade-barikade yang sering berganti nama menjadi kesombongan, ketamakan, merasa paling hebat dan jago, merasa paling pintar sedunia, merasa paling gagah hanya dengan dandanan yang sebenarnya tidak terlalu menarik, merasa memiliki semuanya padahal didapatkan dengan menghacurkan kesempatan yang lain untuk melanjutkan hidup dan banyak lagi wajah-wajah lainnya yang takutnya ada dalam diri kita. Makanya sering-seringlah memandangi “cermin” yang mungkin tidak menempel di tembok kamarmu. Tapi cermin itu ada di dirimu sendiri dan sering dia hadir dan mewujud dengan kehadiran sahabatmu. Yup, sahabat di sebelahmu!

Saya tiba-tiba teringat kata seorang Kakek yang sampai akhir hayatnya tetap “berbicara”. Katanya, “bersikap adil lah sejak dalam pikiran”. Mulailah dengan hal yang “kecil” itu. Mulailah dengan memikirkan apa yang membuatmu berbeda dengan yang lainnya sehingga membuatmu ingin menjadi “barikade” baru.

Dan marilah kita rayakan kesetaraan ini. Kesetaraan yang azali.


31 Mei ‘11
Bantaran X Code
Catch Me When I Fall

Komentar

Postingan Populer