Letter to Ourselves

Surat untuk Tuan Presiden telah rampung kubuat tentu tanpa berharap akan terbaca olehnya yang pasti super duper sibuk. Tapi kerjaan belum selesai karena saya harus segera kembali memikirkan dan merangkai kata-kata untuk dua surat berikutnya. Juga untuk Tuan Presiden. Tapi untuk dua surat berikutnya sepertinya saya tidak perlu berpikir keras seperti yang saya lakukan untuk surat yang pertama saya buat. Untuk surat yang pertama memang saya harus agak sedikit konsentrasi dan harus merelakan sekitar 60 menit 180 detik untuk menyusun dan merangkai kata-kata yang sedikit menarik dan tentu tanpa menomorsekiankan esensi surat. Meski kemungkinannya kecil, tapi saya ingin surat yang saya buat untuk Tuan Presiden tidak a la kadarnya karena sangat bisa dipastikan bahwa surat yang masuk dan sampai di tangannya pastinya sudah terseleksi dengan ketat. Dan yang terpilih pasti surat yang “indah-indah” saja. Hahahaha…………… makanya kenapa surat pertama ini harus kubuat “indah”. Namun kalau ternyata suratku pun akhirnya tak terbaca olehnya, maka saya tak ingin surat ini akhirnya nangkring di dashboard blog ku dengan sederhana dan akhirnya malas dibaca orang dan selanjutnya pesan suratku pun tak “terbaca” oleh teman-teman. Alasannya hanya sesimpel itu.
Untuk dua surat berikutnya, saya hanya menghabiskan sekitar 180 detik kurang sedikit untuk menulisnya. Bukan mengetiknya tapi menulisnya. Iya, menulisnya di sobekan kertas buku agenda kuliahku dengan pulpen yang macet dan tintanya lumer kemana-mana. Isinya serupa basa basi “busuk” orang rendahan yang sebenarnya tak begitu peduli lagi dengan hiruk pikuk urusan kenegaraan karena harus berpikir keras bagaimana mengakali rasa lapar esok hari, namun dipaksa harus mengisi lembaran-lembaran yang tak dipahaminya demi se liter beras jatahan. 

……………………….


Surat pertama akhirnya tak kukirimkan untuk Tuan Presiden. Karena ia tak kutulis tangan tapi kuketik di computer pinjaman teman sekosanku dan tak sempat kuprint karena buru-buru takut telat mengumpulkan surat dan tak bisa dengan khidmat merayakan akhir pekan. Dan akhirnya dua surat yang kutulis tangan dengan sangat a la kadarnya yang kukumpulkan. Satu untukku dan satunya lagi untuk kawan yang memaksaku menulis surat yang tak penting menurutnya. Kedua surat itu kami tukarkan dengan pita hitam dan pintu masuk bertemu dan bercerita bersama Jenny. Kedua surat yang sepele itu dan ratusan surat-surat lainnya sengaja dikumpulkan dan akan disampaikan kepada Tuan Presiden melalui helatan Letter to President yang diinisiasi oleh beberapa teman-teman yang “tahu” dan merasa perlu bercerita kepada Tuan Presiden bahwa begitu banyak dari kita yang tak sungkan lagi menggunakan kekerasan untuk membela sekuat tenaga atas apa yang mereka anggap “benar” dan tak mau lagi duduk bersama, saling mendengar dan mencoba memahami perbedaan dengan bijak dan kritis.

Dan berikutnya adalah saat bercerita bersama Jenny. Kali ini begitu dekat dan kami betul-betul bercerita. Tiga alunan berlalu dalam tempo yang tidak semakin melambat. Dan tanya tiba-tiba menyeruak dan dengan segera memenuhi ruangan yang biasanya begitu hingar.

“Apa pentingnya surat itu kalian tulis? Apakah Tuan Presiden akan membacanya”?

Diam. Hening. Sesaat.

Si ceking yang selalu bersama “kitab” nya itu sesaat berubah menjadi serupa senjata mematikan dengan pertanyaan yang baru saja dilontarkannya.

Tetap diam. Tetap hening. Sesaat.

Apa artinya surat itu kalau toh kita sendiri juga ternyata tak begitu menghargai keberagaman dan perbedaan.
Si ceking yang malam itu tampil begitu “rapi” segera menyulap hingar bingar menjadi begitu hampa namun indah dengan sentilan agak sedikit “sakit” barusan.

Masih diam. Masih hening. Sesaat.
……………………………

Pagi itu si dosen bercerita tentang bagaimana membangun budaya perdamaian. Ia bercerita kalau banyak hal yang bisa dilakukan untuk membangun budaya perdamaian. Antara lain melalui pendidikan yang bermuatan nilai-nilai perdamaian, toleransi dan solidaritas, penghormatan atas hak-hak azasi manusia dan persamaan hak antara perempuan dan laki-laki. Atau melalui kampanye pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan dimana pembangunan tidak hanya diterjemahkan hanya sebagai jalan untuk mengumpulkan rupiah sebanyak-banyaknya bagi Tuan-tuan yang selalu memproklamirkan diri sebagai “wakil” kita, tapi pembangunan juga adalah urusan bagaimana agar alam raya tak “terperkosa”, agar yang kecil tetap bisa mengais “sisa” di tanah yang kaya raya ini yang perlahan mulai sirna karena terus digerayangi tanpa ampun. Dan juga penting agar informasi dan pengetahuan bisa didapatkan oleh siapa pun tak peduli dengan kasta dan tetekbengek status sosial yang tak penting itu. Selanjutnya perdamaian dan keamanan seyogyanya menjadi urusan prinsipil yang harus diperhatikan secara serius. Yah begitu cerita dosenku pagi itu.
Dan yang paling penting bahwa yang bisa melakukan semua itu adalah kita sebagai individu dan komunitas. Dan tentu Negara dimana kita bernaung ini, yang punya otoritas membuat aturan ini itu. Membuat aturan bahwa pendidikan harus milik siapa saja, bahwa menjadi berbeda itu biasa saja dan bahwa siapa pun boleh bercerita tentang apa saja.
Semuanya punya porsinya masing-masing untuk sama-sama berbuat sesuatu untuk wajah kita yang seringkali begitu tak bersahabat ini hanya karena teman disamping kita memilih cara yang berbeda untuk memknai hidupnya. Padahal kita selalu bisa saling bercerita dan berbagi.
Betah rasanya berlama-lama mendengar cerita si dosen.
………………………………
Sesaat segeplok amplop kosong dibagikan satu per satu ke siapapun yang berada di ruangan kecil malam itu. Semuanya. Tak terkecuali diriku.

“Tulislah surat untuk kita sendiri! Write the letter to ourselves”! pungkas si ceking.

Lirih namun berirama.

Dan sesaat cerita-cerita menarik kembali mengalun bersama perayaan akhir pekan yang kadang penuh tangis.

Akhirnya semua berakhir. Kami pulang dengan asa bahwa Tuan Presiden punya sedikit waktu membaca surat kami di sore hari dengan ditemani secangkir teh hangat sambil menemani si cucu yang mulai pintar berdendang.

Dan gerimis tetap menemani.


27 Mei 2011
Bantaran X Code
Sedang menyusun manifesto

Komentar

Postingan Populer