Berjumpa Fredy S


Setelah menunggu agak lama ternyata kuliah on line dengan beberapa universitas luar batal dilaksanakan dan diundur hingga tanggal 31 Mei. Selanjutnya, pilihannya ada dua. Pulang ke kosan dan melanjutkan “istirahat” yang sempat terinterupsi beberapa jam sebelumnya atau memilih mengitari Kota Jogja sembari menjambangi spot-spot yang kami anggap menarik. Ternyata pilihan saya dan partner sejatiku sore kemarin setelah azan ashar berkumandang adalah “Paket Wisata Buku”. Anda semua tahu dan tentunya sangat mafhum kalau untuk urusan yang satu ini Jogja adalah tempatnya. Spot pertama yang kami kunjungi paling awal adalah bazaar buku murah yang berada di dekat Kopma UGM dan tidak jauh dari PSKP, tempat kuliah yang batal tadi. Setelah mengitari dan memperhatikan semua buku yang dijual ternyata tak satu pun yang menarik perhatian kami. Tidak perlu berpikir lama untuk menentukan spot berikutnya. Selanjutnya kami menuju Realino, tempat penjualan dan sekaligus percetakan bukunya Univ Sanata Dharma yang berada di bilangan Gejayan. Sudah lama tidak mengunjungi tempat ini. Sampai di situ, bangunan yang kami maksud terlihat sepi dan sepertinya sudah lama tidak ada aktivitas. Dan setelah kawanku mengeceknya ternyata betul. Pintu terkunci dan tak Nampak satu pun orang di dalamnya setelah diintip dari kaca pintu depan. Tak perlu kecewa toh masih banyak spot-spot lain. Setelah itu pilihan spot berikutnya saya serahkan sepenuhnya kepada kelebatan ingatan yang paling pertama muncul di kepalaku. Motor tetap melaju separuh kencang dan sebelum lampu merah perempatan Gejayan – Colombo ingatan ku segera tertuju pada beberapa kios buku loakan di bilangan perempatan Katamso – Mataram – Senopati dan Sultan Agung.  Dan selanjutnya sang juru kemudi segera menjalankan kewajibannya.
Apa yang menarik dari kios-kios buku loakan seperti yang kami tuju ini? Debu dan asap knalpot dimana-mana karena tempatnya yang berada tepat di pinggir jalan besar. Belum lagi tumpukan buku yang penuh debu yang mesti dibongkar dengan susah payah. Sama sekali tidak nyaman dalam ukuran kenyamanan “prosedural”…hahahaha…. Tapi yang membuatnya menantang dan membuat kita berdebar-debar justru saat melayangkan pandangan ke seluruh sisi rak yang berisi buku dengan penataan ala kadarnya dan kemudian membongkar-bongkarnya dan akhirnya menemukan buku keren meski sudah usang atau masih lumayan baru. Dan sensasi selanjutnya tentu pada training kepiawaian menentukan harga yang positive sum game. Jadi saat melayangkan pandangan ke tumpukan-tumpukan buku perhatian harus ekstra full jangan sampai ada yang terlewatkan. Coba anda bayangkan bagaimana bahagianya anda yang Marxist tulen misalnya kemudian mendapatkan karya Marx dengan versi asli misalnya dan kemudian hanya dihargai tidak lebih mahal dari buku-buku inovasi mencapai hidup bahagia yang marak sekarang-sekarang ini. Menarik lah pokoknya !

Tapi sore kemarin saya menangkap peristiwa menarik, lucu dan tentunya penuh pesan. Peristiwa itu terjadi di kios kedua tempat kami mencari buku, di tempat itu hanya ada sekitar lima kios. Saat sedang asyik “memata-matai” buku-buku entah dari mana datang seorang ibu atau tepatnya seorang nenek. Perawakannya seperti sedianya seorang nenek yang hidup di kota besar dan tidak terlalu beruntung secara ekonomi. Sepertinya nenek itu baru pulang dari menjual karena dibahunya masih mengelantung sebuah bakul. Mungkin. Si nenek singgah di kios itu dan memperlihatkan robekan kertas yang sepertinya berisi rujukan buku yang ingin dibelinya. Saya tidak begitu memperhatikan buku jenis apa yang dimintanya karena saya tidak memperhatikan tulisan di kertas kecil bungkus obat nyamuk itu lalu saat berkomunikasi dengan Ibu penjual buku si nenek juga menggunakan bahasa Jawa yang tentu tak kupahami. Setelah membongkar lemari kaca yang berisi buku-buku berukuran kecil serupa buku-buku doa maqbul dan teman-temannya, si Ibu penjual buku kemudian menyerahkan buku yang kira-kira dimaksud si nenek. Setelah memastikan bahwa buku yang dimaksud sudah tepat, si nenek beranjak pergi.

Kagum betul saya melihatnya. Meski umur sudah setua itu tapi masih mau membaca, tidak peduli apa pun bacaannya. Pokoknya selera membaca di umur setua itu tidak dimiliki oleh banyak nenek yang lain apalagi dengan kondisi ekonomi yang kurang beruntung. Begitu pikirku awalnya.

Namun tiba-tiba si nenek kembali ke kios itu dan kebetulan saya sudah berada di depan kios tersebut. Si nenek dengan bahasa jawa nya sepertinya kembali memastikan apakah buku yang dibelinya sudah tepat dengan yang tertera di sobekan kertas tadi. Karena penasaran dengan buku yang dibeli si nenek, maka saya mendekat sambil berusaha melihat judul buku yang diperlihatkan si nenek kepada si Ibu penjual buku. Betapa kagetnya saya setelah melihat bahwa buku yang diberikan si Ibu penjual buku kepada si nenek ternyata adalah novel bergenre sex bebas zaman dahulu kala saat cerita esek-esek belum mudah didownload gratis via internet, Fredy S. Betul-betul terperanjak dan sempat beberapa detik tidak percaya dengan apa yang saya saksikan. Namun kemudian saya membuat semacam praduga bahwa sepertinya si nenek tidak tahu membaca dan si Ibu penjual buku salah menafsirkan isi kertas rujukan buku yang ingin dibeli si nenek. Ini saya tau ketika si Ibu penjual kali dengan bahasa Indonesia menjelaskan kalau novel cinta dewasa seperti yang tertera di sobekan kertas itu ya Fredy S. Hahahaha… yang jelas tidak ada tulisan yang eksplisit bahwa yang diinginkan adalah novel karya Bang Fredy S yang sampai sekarang tak pernah kulihat batang hidungnya sekalipun. Sama sekali tidak ada. Novel Fredy S yang digenggam si nenek betul-betul merupakan hasil tafsir bebas atas novel cinta dewasa oleh si Ibu penjual. Siapa yang salah? Tidak keduanya saya pikir.

Si nenek akhirnya tetap membawa novel “berkelas” pada zamannya itu dan kemudian berlalu. Dari jauh saya membayangkan kalau si nenek sebenarnya ingin memberikan kejutan buat cucunya yang gemar membaca novel-novel bergenre cinta a la Romeo and Juliet atau kisah-kisah cinta religius besutan pengarang-pengarang Islami atau kisah-kisah cinta yang lebih elegan lainnya namun karena ketidakmampuan membaca dan terbatasnya kemampuan ekonomi kemudian harus berakhir di kisah cinta yang lebih berbau mesum. Tapi si nenek sudah berusaha meski mungkin harga buku itu sama dengan hasil jerih payahnya selama seminggu. Dan saya sangat berharap saat menerima buku itu si cucu akan segera memeluk si nenek dan berterima kasih meski sempat terperanjat sesaat.

Sore yang indah dan lucu.

25 Mei ‘11
Bantaran X Code

Komentar

  1. Inalilahi wainalilahi rojiun
    R.I.P FREDY SISWANTO
    Sat, January, 24 2015 - 16:00 WIB
    One of the best novelist in Indonesia

    I know I have to let you go, how do I will, I dont know
    I know This is your time to die, what I don't know is how to say good bye
    May you Rest in Peace Papa

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer