Cerita dari Code

Foto oleh Arief Wicaksono

Malam ini, di kotak yang selalu bertanya apa yang di pikiranmu saat ini, kuisi dengan gairah sederhana. “malam ini sepertinya akan begitu "panjang"...berjanji bertemu kata-kata...hahaha”. Entah kenapa belakangan pertanyaan tentang isi pikiranku di kotak itu selalu kujawab dengan deretan kata yang sok puitis. Tidak ada alasan detail yang bisa menjawabnya. Tapi satu hal, dan ini jujur saya ungkapkan, kalau saya sebenarnya selalu “cemburu” dengan kemampuan Ibunya Mahatma membuat puisi dan apalagi kalau puisi itu memang special untuk saya. Misalnya saat berulang tahun. Wah, saya bakalan “terkapar” tak berdaya. Nah, status –status itu kenapa jadi rada puitis dan cenderung metaforik perlu dilihat dalam kerangka usaha saya untuk membuat Ibunya Mahatma juga “terkapar” tak berdaya dengan puisiku kelak. Hahahah…  Namun urusan menjawab pertanyaan di kotak “mau tau aja” itu tidak selalu selalu kulakukan karena bukankah tidak selalu apa yang ada di pikiranku harus kuberitahukan ke banyak orang.


Nah, status yang saya biarkan orang lain mengetahuinya dan saat tulisan ini diketik sudah di “jempoli” oleh dua orang, sebenarnya berhubungan dengan gairah menulisku yang membuncah beberapa hari ini yang sayang belum bisa saya transfer untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah yang semakin bertumpuk berserakan tak terurus. Entah kenapa belakangan ide-ide untuk tulisan yang kemudian berakhir di blog yang barusan kuganti templatenya itu begitu mengalir deras dan apa saja yang kudengar, kuliat dan rasakan tiba-tiba saja berubah menjadi ide segar untuk ditulis bahkan dengan mudah langsung kuterjemahkan menjadi satu judul tulisan. Malam ini kembali itu kurasakan. Tidak ada yang salah dengan gairah ini bahkan bukankah itu justru pertanda baik. Paling tidak saya bisa kembali “membenarkan” puja puji guru-guru saya di SD dulu sebagai murid yang pandai menulis (zaman dulu lebih sering disebut “mengarang”, istilah yang pantas diperdebatkan). Lalu? Masalahnya adalah deretan ide-ide itu sepertinya lalu menjadi beban yang harus segera kutunaikan. Dan kalau sudah seperti ini tentu menulis sudah tidak mengasyikkan lagi. Dan saya tidak mau gairah yang membahagiakan ini harus segera “kubunuh” untuk alasan karena ia telah menjadi rutinitas yang kaku. Saya tak rela!
Makanya gairah yang membuncah hingga ke ubun-ubun ini coba kukendalikan perlahan-lahan dan kumulai lagi dengan ide sederhana yang sebenarnya juga hendak kutuliskan beberapa hari lalu saat saya memutuskan menambah satu “tema cerita” di blog kami dan teringat lagi malam ini. Cerita dari Code.

Awalnya semua tulisan tentang pengalamanku di kota dengan berbagai julukan ini kumasukkan dalam tema “Corat Coret” di blog kami. Tapi belakangan saya berpikir untuk mengabadikannya di tempatnya sendiri karena begitu banyak cerita tentang kota ini dan berbagai sudutnya dengan berbagai aktivitas yang sayang bila tidak di “potret” dengan baik dan menarik serta diberikan tempat yang spesial. Dan geliatku di kota ini di berbagai tempat yang sebenarnya belum sama sekali merepresentasikan kenalku atas kota ini semuanya menjadi ide menarik untuk kucarikan rangkaian kata serupa alunan “Yogyakarta” milik Kla Project yang membuat siapa pun yang pernah ke kota ini pasti ingin kembali. Mulai dari kisah Mama Edho, pemilik kios yang seatap dengan kosan dimana aku huni, yang belakangan selalu nampak tak bersahabat saat kami meminta dibuatkan minuman dingin yang termurah seantero Jogja. Atau kisah Mas Bro, penjual makanan yang jaraknya hanya sepelemparan tombak dari kosanku, yang selalu menyapa kami dengan bahasa Inggris saat kami muncul dan menampakkan wajah lapar di depan display makanan yang terbuat dari kaca itu. Atau kisah kami di angkringan UGM yang membuat kami menasbihkannya sebagai angkringan dengan menu (khususnya susu jahe) yang ter maknyus diantara angkringan yang pernah kami tongkrongi. Atau kisah perburuan kami saban malam minggu untuk mencari dan merayakan akhir pekan dengan band-band gratisan. Atau kisah seorang kawan yang selalu mengingatkan kami untuk bermain futsal tiap hari minggu jam dua siang dan ia datang mengagetkan kami dan dengan enteng menyuruh kami mengakhiri aktivitas yang sedang kami lakukan tanpa sadar kalau saat ia datang jam di handphone ku masih menunjukkan pukul 12 siang. Atau kisah religius kami setiap tanggal 17 malam tiap bulan di Maiyahan Cak Nun dan Kyai Kanjeng yang membuat kami harus menahan rasa kantuk untuk capaian spiritualitas yang tetap “membumi”. Atau cerita-cerita intelektualitas dibalut komedi-komedi berkelas saat berkeringat dan berpeluh mongabrak-abrik barisan buku di berbagai spot loakan demi hemat rupiah yang memang tak selalu banyak mengisi Kartu Anjungan Tunai Mandiri ku. Atau deretan kisah-kisah menarik lainnya yang sekali lagi sangat sayang untuk dibiarkan hanya menjadi kisah yang akan menjadi masa lalu dan mengandalkan ingatan untuk kelak di rayakan kembali.

Cerita dari Code. Sengaja tajuknya kubuat seperti ini karena saya sangat yakin bahwa iklim komunal di Kali Code ini begitu memberikan banyak inspirasi dan gugah. Code bagiku adalah simbol antitesa kata “menyerah” dan sekaligus membuat kata “perjuangan” kembali kukenal dengan baik dan ramah menyapaku saat subuh menyapa dan kuamati geliat mereka yang sering tak lagi mendapat tempat dalam ruang kota yang sering sengaja dibuat timpang demi remah kapital yang selalu berwajah garang dan siap membantai siapa saja yang tak tunduk dan akhirnya banyak yang memilih berkompromi.
Code selalu tenang dan beriak kecil tapi suatu waktu ia bisa marah dan siapa pun yang berada di bantarannya harus waspada. Sederhana, siapa pun kalian jangan pernah memandang sepele mereka yang sering kau liat memilih diam karena suatu waktu saat ia marah maka “kursimu” akan segera terjungkal dan semuanya dalam sekedipan mata akan berubah menjadi akhiran.

Cerita dari Code. Cerita tentang harapan besar.

Terima Kasih jendela kamarku!


30 Mei ‘11
Bantaran X Code
The Place I Wanna Go mengalun pelan dan damai…



Komentar

Postingan Populer