(Sama Sekali Bukan) Ulasan Musik

Foto oleh Zulkhair Burhan

(Catatan Ringan Diskusi Jakartabeat.net di Jogja)

Sejak di Jogja selera musikku sepertinya maqom nya lumayan mengalami vertikalisasi. Kota ini memperkenalkan banyak band-band keren yang membuatku tak pernah lagi menongkrongi acara-acara musik pagi di televisi yang justru ditongkrongi Mahatma, jagoan kecilku, tiap pagi. Saya berkenalan dan mendengar nomor-nomor apik dari Bangku Taman, Sangkakala, Frau, Melancholic Bitch, Risky Summerbee & The Honeythief, Serigala Malam, Armada Racun, ERWE, Orkes Sehat Jiwa, dan tentunya Jenny dan banyak lagi yang lain tentunya. Dan pertemuan dengan band-band ini punya cerita dan kesannya masing-masing.  
Frau, misalnya yang kukenal dari bincang-bincang dengan seorang kawan tak pernah berhasil kutonton live padahal sudah didepan mata, pertama karena hujan begitu tak bersahabat padahal dia main di UGM yg notebene hanya sepelangkahan kaki dari kosanku dan yang kedua seperti yang saya ceritakan di “Menanti Mesin Penenun Hujan”.
Selanjutnya, ERWE. Band yang beraliran Rock Ska ini pertama kali saya tonton secara langsung saat Endank Soekamti menginisiasi event pengumpulan dana untuk korban Merapi dengan tajuk acara “Gugur Gunung”. Saat itu personil ERWE, setelah manggung juga ikutan meminta sumbangan kepada para pengguna jalan di sepanjang Lembah UGM. Nah ini yang lucu, Orkes Sehat Jiwa. Band ini beraliran apa ya? Pokoknya lagu-lagunya komedikal gitu. Salah satu lagunya yang membuat seorang kawanku jingkrak-jingkrak tak terkontrol saat perjumpaan pertama kami di salah satu acara yang dibuat BEM Fisiplo UMY beberapa bulan lalu “Romantika Babi Negepet”. Betul-betul kocak. Cobalah bertemu dengannya di mesin pencari google. Dijamin anda akan terpingkal-pingkal tappokara’*. Atau Serigala Malam yang sebenarnya kuketahui dari beberapa poster gig di kota ini, yang membuatku segara mematikan software pemutar musik di komputer pinjaman ini saat pertama kali kumainkan lagunya setelah susah payah kuunduh karena sinyal internet yang rada lelet. Lagunya membuat bulu kudukku merinding saat kuputar pertama kali di suatu malam di kamarlu ini saat semua penghuni kost sudah terlelap.  Dan, Armada Racun. Awalnya meski sudah sering mendengar nama band ini saya tidak terlalu tertarik untuk mencari lagu-lagunya. Saya selalu terganggu dengan kata “Armada” yang mengingatkanku dengan sebuah band mendayu-dayu di negeri ini. Tapi rasa penasaran tetap tak terkalahkan dan akhirnya kutemukan video klip band ini dengan judul lagu “Amerika” yang berisi kritik frontal atas dominasi Negeri Paman Sam di republic ini dengan menggubah teks Sumpah Pemuda.

“Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu/Amerika/Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertanah air satu/Amerika/ Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbahasa satu/ Amerika.”

Dan saya punya cerita lucu tentang lagu ini yang semoga akan saya ceritakan di postingan-postingan berikutnya.

Ah pengantar yang panjang sekali. Dan bertele-tele. Tapi biarlah, “there is devil in details”. Cihuy!

Kota ini juga membuatku mengenal dan mulai membaca beberapa referensi tentang musik non mainstream dan salah satunya kudapatkan dari salah satu website yang mengusung Jurnalisme Musik sebagai panduannya, jakartabeat.net. Menurutku website ini menyuguhkan segala sesuatu yang beyond music! Bukan “musik” melulu. Jangan harap anda akan bertemu dengan laporan konflik triangle antara Anang, Syahrini dan Ashanti atau upaya mengungkap siapa ayah dari anak Mulan Jameela. Tapi anda akan dengan mudah mendapatkan ulasan dalam tentang kisah band Bangku Taman yang dinobatkan sebagai band terbaik 2010 oleh Majalah Rolling Stone Indonesia. Dan jangan kaget kalau di website itu anda akan mendapatkan perdebatan “lama” tentang “Mafia Barkley” yang turut andil menjerumuskan republik ini dengan model pembangunan a la Rostow yang gagal itu. Sekali lagi ini bukan melulu soal musik!

Betul-betul suka saya berlama-lama! Ayo segera ke nucleus!

Dan beberapa hari lalu di sebuah kedai yang bernama Kedai Kebun di bilangan Tirtodipuran, Jakartabeat.net mengadakan diskusi dan bedah buku “Like This” dengan mengusung tema Jurnalisme Musik dan Relevansinya sebagai Media Kritik Sosial. Wuih, berat ya! Nah, mengenai buku “like This”. Buku ini adalah kumpulan tulisan pilihan di jakartabeat.net selama tahun 2009-2010. Dan setelah membeli dan membaca beberapa tulisan yang sebenarnya juga bisa anda baca di website, saya berkesimpulan sebaiknya anda memilikinya.

Kami tiba di Kedai Kebun (sepertinya kedai ini menarik juga untuk diceritakan lebih detail karena tampakannya yang keren dan sangat inspiratif, nantilah..hahaha) sesaat sebelum Auf (personil band Oh Nina) membuka diskusi dengen pengalamannya bermusik dan membuat zine music indie. Tidak begitu lama ketiga pembicara sudah berada di depan meski Auf masih celoteh tertatih-tatih. Diskusi ini menghadirkan Taufiq Rahman (Jakartabeat.net), Risky Summerbee (vokalis Risky Summerbee & Honey Thethief), dan Wisnu Martha (dosen Ilmu Komunikasi UGM).

Diskusi ini digelar di lantai dua Kedai Kebun. Tempat yang sepertinya juga digunakan untuk bermain bulutangkis. Sangat minimalis. Saat kami datang, kursi plastik yang disiapkan untuk peserta diskusi sudah hampir terisi penuh kecuali beberapa di deret paling depan dan mau tidak mau disanalah kami memilih tempat. Akhirnya, Auf mempersilahkan juga pembicara pertama memulai diskusi ini. Taufiq Rahman dari jakartabeat.net yang juga menjadi wartawan The Jakarta Post. Kalau sudah menemukan website jakartabeat.net, maka selanjutnya carilah ulasan-ulasan musik menarik dari mas Taufiq. Betul-betul memukau. Padat , bahasanya lugas dan pandai memainkan kata hingga menjadi deretan kalimat yang syahdu dan tentunya sarat akan informasi keren. Belum lagi sentuhan-sentuhan Kafka dan Camus dalam berbagai ulasannya menambah kredit poin untuknya.

Mas Taufiq memulai dengan cerita hingga Jakartabeat.net kemudian hadir menjadi media “musik” alternatif di tengah bombardir media-media mainstream yang mengambil jalur serupa namun melihat musik hanya sebagai hiburan an sich, sehingga yang di tampakkan hanyalah hingar bingarnya. Hanya seputar sex, drug and rock ‘n roll. Padahal musik lebih dari hanya sekedar mengenai  bagaimana kebiasaan si vokalis A punya kebiasaan hura-hura, si drummer B yang gemar mengkonsumsi drug atau musik bukan hanya urusan A minor dan C mayor dan yang njlimet-njlimet itu. Sama sekali bukan. “Musik adalah kehidupan itu sendiri” begitu kata Mas Taufiq. Itulah salah satu alasan kenapa jakartabeat.net hadir setelah sebelumnya mereka memulainya di  berburuvynil.wordpress.com. Oh iya, Jakartabeat.net ini awalnya diinisiasi oleh beberapa orang yang kebetulan sama-sama pernah sekolah di luar negeri. Mas Taufiq sendiri dulu mengambil studi master ilmu politik nya di Illinois University, Chicago. Kota yang kemudian lebih mengakrabkan dirinya dengan musik. “anda betul-betul merugi kalau pernah tinggal lama di Chicago dan tidak bersahabat dengan musik-musik keren” kira-kira seperti itu kata Mas Taufiq. Dan alasan pula yang menurutku tepat kupakai untuk membenarkan waktu yang kuhabiskan untuk hunting band-band keren selama di kota ini. “rugilah anda pernah di Jogja dan tidak mengenal deretan band-band keren itu”.

Karena musik pada dasarnya adalah “kehidupan” itu sendiri, maka musik juga sangat punya potensi untuk menjadi kekuatan penggerak perubahan. Dan, setangkapku itulah esensi jurnalisme musik, dimana musik tidak dilihat berdiri sendiri. Musik sebagai produk budaya tidak bisa dilepaskan dari konteks sosio politiknya. Artinya bahwa musik perlu dipahami lebih jauh sebagai varian penting dalam deru kehidupan manusia sehingga sangat mungkin dijadikan sebagai picu penggerak zaman. Namun sayangnya jurnalisme musik di Indonesia tidak begitu mendapat tempat yang cukup baik. Kompas misalnya, menurut Mas Taufiq, yang mengulas budaya dimana musik termasuk di dalamnya, meski memberikan space yang lumayan besar namun kemudian yang dilakukan justru mengamini proses pengkotak-kotakan produk budaya sehingga memunculkan tafsir individu tentang produk yang baik dan buruk. Dan kategorisasi-kategorisasi itu parahnya justru menjadi tafsir generik di republik ini. Dan sekali lagi Jakartabeat.net yang mengusung jurnalisme music tidak hadir untuk mengulangi salah kaprah itu.

Membenarkan pembicara pertama, Mas Wisnu melihat bahwa kebangkrutan jurnalisme musik di Indonesia sebenarnya diperparah oleh bangkrutnya jurnalisme secara umum. Baginya, ini disebabkan oleh beberapa factor seperti menyatunya politisi dan pemilik media yang kemudian memunculkan istilah jurnalisme borjuis, menguatnya monopoli dan konglomerasi media, komodifikasi yang berlebihan, jurnalisme “fakta” yang kurang dipahami, jurnalisme “makna” dimana nilai dan konteks menjadi terabaikan dan yang terakhir yaitu fakta bahwa semakin sedikit masyarakat yang percaya dengan berita. Dan yang menarik menurutku dan juga diulas banyak di diskusi itu adalah mengenai monopoli dan konglomerasi industri media yang kemudian menjadikan kapitalisasi sebagai logika dasar kerja-kerja jurnalisme. Walhasil, berbagai media musik yang coba tetap berdiri kokoh mengusung “idealism” selanjutnya harus terseok-seok sebelum akhirnya memilih “mati”. Bahkan beberapa media yang dahulu lumayan apik dalam mengulas music seperti Majalah Rolling Stones, Majalah Hai pada tahun-tahun 90-an, kini harus nampak mulai “berdamai” dengan logika kapital sederhana yang sayangnya berlaku umum dan kemudian mempengaruhi kualitas terbitan.

Mas Wisnu yang untuk urusan musik selalu menolak mengaku berasal dari Lampung ini, juga membenarkan bahwa musik punya potensi menjadi “jembatan” untuk mewartakan fenomena-fenomena sosial yang ada di sekitar kita dan sekaligus menjadi kritik sosial. Ia menyebut Band Soul Asylum (kalau tidak salah ingat) asal Minneapolis dengan lagunya Runaway Train yang berkisah tentang penculikan anak di Amerika Serikat atau kritik sosial khas tahun 80-an a la (Alm) Frangky Sahilatua. Dan saya kira belakangan band-band Indonesia sudah banyak yang mengusung ini meski tidak lagi perlu lagi segarang musik-musik beraliran punk yang begitu kental dengan spirit anti establishment. Sebutlah ERK, Melbi dan beberapa band lainnya.

Diskusi ini semakin lengkap dengan paparan cerdas oleh Risky Summerbee yang enggan disebut anak band dan lebih ingin disebut sebagai aktivis kebudayaan. Risky memulai dengan eksplorasi dan saya kira sekaligus curhat, huhuy………., bahwa pemusik tidak bisa dilepaskan dari lingkungan sekitarnya dan dianggap bahwa kehidupannya hanya di atas “panggung”. Bagi Risky, ngeband adalah proses menyerap apa yang ada di sekitar kita yang kemudian dicerna, dikaji dan “dimuntahkan” dalam bentuk lain berupa karya. Sehingga baginya, pembacaan atas teks dan konteks menjadi begitu penting. Dia mencontohkan bagaimana lagu Kenakalan Remaja di Era Informatika milik Efek Rumah Kaca yang menyindir satir bentuk-bentuk “kenakalan” remaja masa kini yang doyan menjadi exhibitionist akibat mudahnya akses teknologi dan mudah mempertontonkan sesuatu yang membuat etika menguap entah kemana. Secara tekstual, ide yang diusung ERK lewat lagu ini juga penah dibawakan oleh kelompok musik lain pada tahun-tahun 80an atau 90-an (lupa saya kelompok yang disebut Risky) namun konteks “nakal” yang dimaksud tentu berbeda baik model maupun corak masyarakat dimana itu terjadi. Atau bagaimana Melancholic Bitch dalam salah satu lagunya yang bercerita tentang “terbunuhnya” salah seorang penjual gorengan di suatu tempat pada masa Orde Baru dan dalam liriknya menyebut peristiwa itu sebagai “noktah”. Sebuah peristiwa yang terlupakan karena pada saat itu terjadi Bapak Pembangunan sedang sakit dan akhirnya semua atensi tertuju pada Sang Bapak dan si penjual gorengan hanya menjadi “noktah”. Kemudian lagu itu juga menyiratkan pertanyaan apakah si penjual gorengan terbunuh secara “sengaja” atau sebenarnya justru dibunuh oleh sistem? Hmm…. Risky menutup sesi pemaparan oleh para pembicara dengan peng ”iya”an nya bahwa music sanagt mungkin menjadi agen perubah.
Sesaat setelah Risky, saya menoleh ke kawan sebelah. “sepertinya kita punya band referensi baru lagi” dan kami berdua tertawa tertahan.

Setelah itu sesi tanya jawab yang hampir semua berisi keluh kesah terhadap pewartaan atas musik hari-hari ini serta jurnalisme secara umum yang begitu terkebiri oleh sistem maupun pekerja nya sendiri. Tapi disana tetap ada harapan-harapan kecil yang harus dijaga dan dibiarkan tetap bernafas panjang oleh kita semua yang masih peduli dengan “music” dan kehidupan.

Diskusi ditutup dengan penampilan sederhana namun cantik oleh Answer Sheet.

Dan akhirnya semuanya kembali menjadi inspirasi dan tak sabar untuk menemui pagi. Dan saya membawa harapan itu di sebuah buku setebal 437 halaman dan saya “Like This”. Huh!


1 Juni ‘11
Bantaran X Code
Saat Pancasila seolah menjadi begitu “berarti”.


*tappokara' : bahasa makassar untuk kondisi terhancur

Komentar

Postingan Populer