Tentang Sepotong Hidup...


Kupandangi tiang bendera di depanku. Bendera berkibar, gagah! Mengingatkanku pada bendera itu. Bendera  yang menceritakan  hidupku. Bendera Merah Putih kehitam-hitaman. Aku pening, setelah ruang kuliah membahas tentang kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia yang ditinjau dari kepemimpinannya. Dan  semua itu menyentuh masa kecilku. Masa kecil yang harusnya kulewati seperti kebanyakan anak-anak lain. Tidak ada yang tersisa selain rasa takut yang masih terus mengusik tidurku di malam hari. Apa yang mesti kukisahkan selain rasa perih, kebingungan . Bangsa.., kita semua memiliknya. Tapi saat itu, aku betul-betul  tidak mengerti kenapa harus pro dan kontra. Kenapa ada yang harus pisah dan ada yang harus bergabung. 

*********

“Jadi, anak-anakku semua…, sekolah akan libur selama jangka waktu yang tidak ditentukan.  Anak-anakku sekalian, ingat! pulang ke rumah! Langsung ke rumah!! Akan ada pengumuman kapan kita bisa sekolah lagi. “ Pak Mukhtar, kepala sekolah mengakhiri amanat singkatnya di lapangan upacara. Mataku tidak berhenti memperhatikan tiang bendera yang menopang gagahnya Sang Merah Putih. Aku memang senang melihat bendera. Di sana, ada kehormatan, harga diri, pengakuan, sekaligus kebanggaan. Semua yang harusnya dimiliki oleh sebuah bangsa. Tapi tiga hari, baru tiga hari aku bisa menikmati bendera itu, setelah enam tahun melihat bendera yang sama di SD. Tiga hari dan kisah itu diakhiri seperti kuakhiri kisahku  di tanah ini.
“ Ma…, ada apa? Kenapa semua orang terlihat panik?”  Tanyaku saat itu. Ibuku cuma bisa menatapku dan kembali berjibaku dengan kegusaran-kegusaran yang kubaca jelas di wajahnya. Bapak juga sama.
“ Besok kita ke tempat pemilihan. Dan bawa semua anak-anak. Bapak percaya sama tentara indonesia tapi, bapak khawatirkan akan terjadi sesuatu. “ kata Bapak beberapa malam setelah aku menanggalkan seragam putih biruku. Dan malam mulai mencekam. Tak ada sudut yang bisa membuat kami tenang. Apalagi di depan televisi. Berita yang disiarkan di layar kaca cukup tidak sejalan dengan apa yang kami rasakan. Dili gempar karena presiden Habibi tiba-tiba mengeluarkan ultimatum dan memberikan rakyat Timor Timur dua pilihan integrasi atau merdeka. Itu kata di tivi.
Dan bapak yang sehari-harinya mengajar di SD, yang selama ini menghidupi keluarga dengan uang pemerintah Indonesia begitu percaya dan sangat menggantungkan harapan untuk tetap menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bapak tetap yakin, kalau keadaan aman-aman saja walau ia tidak pernah tidur beberapa malam ini. Bapak tetap bersikukuh untuk tidak mengungsi, seperti yang dilakukan beberapa keluarga lain.
Pagi datang.., kami berbondong-bondong ketempat pemilihan. Taka ada yang tampak biasa-biasa saja. Kecemasan menguasai seluruh Ermerah, sebuah kabupaten yang mungkin tidak terdeksi di peta Indonesia. Menurut ibu, Ermerah, kata yang diambil dari Air Merah. Kota ini memang penuh sejarah kelam, entah peristiwa apa yang menjadikan daerah ini seperti danau berwarna merah. Maka dianamailah ia Ermerah. Kami sekeluarga melalui pasar. Kebanyakan toko memilih tutup. Di jalanan penuh tentara, senjata menjadi barang yang biasa. Tempat Pemilihan Umum lengang, hanya sedikit orang yang memilih untuk tinggal dan berlama-lama. Ayah dan ibu masuk di dua kamar yang hanya dipisahkan oleh selembar kain spanduk. Ayah dan ibu melangkah bergegas keluar, kami berjalan meninggalkan TPU. Dan belum beberapa langkah.
“ kecurangan..kecurangan…,” lihat!!! Mana mungkin kotak ini sudah penuh sementara hanya beberapa orang yang datang.
“ Tidak..tidak..” Suara pertikaian silih berganti menjadi dengungan lebah yang sangat menganggu. Bapak dan ibu mulai panik dan mempercepat langkahnya. Aku dan beberapa saudara mengikuti ibu dan tetap memandang ke sumber suara. Lalu tidak berapa lama, seorang ibu jatuh tersungkur bersamaan dengan suara tembakan entah dari mana. Jeritan pekikan terdengar jelas dan kami sekeluarga berlari. Orang-orang yang tidak kami kenal menyusul kami. Baku tembak terjadi sudah, masing-masing pihak bertahan dan suara tembakan masih mengantar kepergian kami. Keringat mengalir deras di sekujur tubuhku. Kami tak lagi saling peduli, semakin kencang derap kaki kami, semakin jelas suara tembakan mengikuti telinga kami. Kami berlari dan berlari, menyusuri jalan-jalan yang sepi, semakin lama-semakin banyak orang yang berada di belakang kami, mulai dari anak-anak sampai orang tua. Kami tidak tahu kemana harus berlindung. Peluru tidak pernah tahu lawannya. Ia sama sekali tak bermata.
Rombongan kami menyusuri sungai dan beberapa dataran tinggi. Lumayan, melelahkan untuk ukuran betisku yang tulang-tulangnya masih kecil. Bapak tetap awas menjaga ketiga putria-putrinya. Aku tidak paham. Rombongan sesekali menyebut-nyebut kata Besi Merah Putih, Aytarak, integrasi, merdeka, kamp pengungsian, Euriko Guteres, dan masih banyak lagi yang mereka sebut dan hinggap di gendang telingaku. Hanya satu yang kukenal Pak Habibi, wakil presiden yang mengganti Pak Suharto, orang paling pintar di Indonesia yang bisa membuat kapal terbang.
Rombongan mulai menyusut ketika kami hampir sampai di rumah. Mentari berjalan begitu lambat. Seorang tentara Indonesia datang dan memberitahukan untuk segera mengungsi. Dan menunggu malam agar kami aman dalam perjalanan. Aku tidak tahu, yang kudengar bapak cuma menyuruh kami  untuk mengambil barang-barang seperlunya. Kukenakan sepatu baruku yang kuharap bisa kembali kupakai untuk ke sekolah. Bapak begitu sibuk membongkar barang kesayangannya yang baru saja ia beli dua bulan kemarin. Motor. Satu-satunya barang berharga yang menurut bapak bisa kami angkut. Dan bapak membongkarnya, sampai malam tiba, motor itu hanya tinggal rangkanya. Kami masing-masig membawa satu buah tas berisi pakaian kami masing-masing. Perjalanan  panjang pun kami mulai. Malam ini kami digiring para tentara Indonesia  untuk sampai ke perumahan Kodim. Katanya itu satu-satunya tempat yang aman, sebelum nanti akan dibawa ke Atambua, di NTT sana. Lebih dari 10 keluarga, kami melalui semak belukar, hutan dan sungai. Jarak tempuh  malam itu, tidak lebih dari tiga jam. Dan kami tidak merasakan lelah sedikitpun. Karena rasa takut begitu mengintervensi langkah kami.
Dan sampai di sana, bapak tercengang, masih aku dalam kebingungan. Bapak dan ibu seperti menahan kecewa dalam pandangan mata mereka. Bukan, bukan karena kami tidak punya  tempat yang layak untuk menginap malam itu. Tapi, karena perumahan KODIM ini sudah kosong melompong akan penghuni aslinya. Itu artinya, mereka sejak awal sudah tahu, akan ada kekacauan, sejak awal mereka sudah tahu bahwa kedaan tidak baik-baik saja. Lalu, para abdi negara itu, hanya menyelamatkan keluarga mereka. Bapak duduk bersyukur. Sedikit saja bapak masih berpegang pada keyakinannya, kami sekeluarga mungkin hanya akan menjelma menjadi  deretan angka di koran-koran. Dan aku, tersenyum bahagia. Bendera Merah Putih, menyapaku bersahaja di pelataran perumahan itu.  
Hampir malam, bapak belum menemukan tempat untuk merebahkan tubuh kami yang kelelahan. Kata petugas yang mengurus  tempat, dua hari kemudian barulah kami bisa menempati sebuah rumah di sana. Akhirnya, tidurlah kami sekeluarga di atas angkot yang rusak. Kami mengambil tempat masing-masing seolah ini adalah rumah ternyaman yang disediakan pemerintah untuk kita. Aku belum bisa tidur. Ibu yang dari tadi kelihatan begitu cemas, mulai tertidur sambil memeluk adikku yang paling bungsu.Bapak terjaga di luar. Aku tahu, ia sengaja tidak tidur, untuk menjaga-jaga. Bapak  membuang segala kepercayaannya pada tentara manapun. Yang bisa menjaga keluarga hanya dia. Aku tidak bisa terpejam. Bayangan sekolah masih terbayang-bayang jelas di mataku. Lapangan upacara, ruang-ruang kelas, papan pengumuman, lapangan olahraga, dan tentuya bendera Merah Putih. Dia selalu kelihatan tabah, menghadapi kerasnya angin. Seperti malam ini, saat bendera di depan mataku memilih untuk menenangkan diri mengikuti senyapnya angin. Dan aku menatapnya mencari perlindungan dibalik kibaran-kibarannya.
******
Hampir sebulan di perumahan KODIM ini. Kelihatannya baik-baik saja. Kami bisa tertawa, bercerita dan yang paling penting, hidup. Malam ini, katanya kami akan di bawa ke Atambua. Di Flores sana. Nanti malam dan kami akan diangkut memakai mobil truk. Tepatnya mobil angkatan darat yang seperti bak terbuka. Kami bersiap-siap. Dari televisi dikabarkan kalau Timor-timur memilih merdeka. Dan bapak memilih untuk tetap menjadi warga negara Indonesia.
 “ Ermerah.., hangus terbakar. Tidak ada lagi yang tersisa. ” Kata bapak dengan mata yang memerah menahan tangis.  Ibu terdiam dan menahan isaknya membuat dadanya teguncang begitu hebat. Aku dan dua adikku menatapnya, tak mengerti. Suara tangis itu mulai terdengar. Aku berjalan keluar dari angkot. Semua orang kebingungan, ketakutan mendengar Ermerah habis terbakar. Aku tidak tahu, sedikitpun aku tidak takut, sedikitpun. Tapi, tiba-tiba dadaku bergemuruh kencang dan memaksa mataku untuk menangis. Aku menangis tanpa suara. Duduk di depan gerbang KODIM, aku cuma mau menagis. Aku teringat rumah, teringat sekolah ku yang dulu. Ingat lapangan kosong di dekat rumah tempat kami bermain, aku teringat sekolah SMPku yang belum kuhitung jumlah ruangannya. Aku menangis dan melihat bendera itu, luntur. Bukan karena hujan, mungkin karena kami terlalu banyak mengeluarkan air mata. Aku terus menangis tanpa suara. Hanya menangis…
Malam datang, dan keluarga demi keluarga di angkut ke truk. Untuk ke Dili, ke ibu kota, kami harus melewati Ermerah. Sebuah jalur yang sulit. Bukan jalan yang berbatu atau terjal, tapi kami akan menjenguk masa lalu yang mungkin tak bisa kami dapatkan lagi. Kami akan menghampiri sepotong hidup kami yang habis terbakar di sana. Entah oleh siapa. Oleh mereka yang ingin merdeka atau oleh mereka yang masih tetap ingin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Dan betul, aku merinding saat mobil berjalan lambat di pusat kota Eremera. Tidak ada yang tersisa. Semua telah disulap menjadi  abu hitam. Bau sate madura yang dulu tercium dari ujung pasar, kini berunah menjadi bau hangus terbakar dan sesekali tercium amis darah. Bapak melarang kami melihat terlalu banyak, mungkin takut mengganggu pikiran kami. tapi semua yang kami lewati sampai hari ini, sudah cukup menganggu hidup dan mimpi-mimpi kami.
Dan.., aku tiba-tiba tersentak. Aku mengenal tempat ini. Bendera Merah Putih yang berkibar di tiang 3 meter, masih perkasa menantang langit.  Ada mimbar kecil di depannya yang sebagian sudah hancur, yang lain hangus terbakar. Rata seperti tanah kosong di dekat rumah. Ini sekolahku. Sekolah yang belum sempat kuhitung jumlah ruangannya. Sekolah yang belum mengenalkanku dengan Fisika atau Biologi. Sekolah yang belum sempat mengenalkan aku dengan guru-gurunya. Belum sempat mencarikan aku teman baru. Yah…, itu sekolahku!! Harapanku tiba-tiba luntur. Tidak ada mimpi lagi. Kupandangi sepatuku yang sudah tidak baru lagi. Aku mau sekolah. Malam merambat pelan dan mengantar kami hingga ke Dili.
Flores, tepatnya di Atambua,  tidak menjanjikan apa-apa. Kami ke sana dengan tujuan bisa keluar secepatnya dari sini. Ratusan nyawa mengungsi di sini. Bapak sudah menentukan tujuannya, Sulawesi. Di sana ada keluarga bapak. Aku tidak ada pengetahuan tentang Sulawesi. Yang kutahu di sanalah pak Habibi dilahirkan. Kucoba mereka-reka. Sambil menunggu waktu berangkat, bapak mengurus segala berkas-berkas. Sebulan berlalu, dan aku rindu sekolah. Sangat! Dan kalian tahu? mataku tidak lagi merindukan melihat bendera. Bendera terakhir yang tertelan dalam retina mataku, bendera di depan sekolah  yang warnanya dicampuri asap dan agak menghitam. 
*******
Dan enam  tahun tepat setelah hari itu. Aku di sini.. Hidup dengan segenap mimpiku untuk sekolah dan belajar. Aku lulus di Jurusan Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin. Mimpiku untuk tetap sekolah, membawaku sampai di titik ini. Setelah hari itu, baru kali ini aku memperhatikan bendera dengan seksama lagi. Tapi, tetap saja, bendera di depan sekolahku yang berwarna Merah Putih kehitam-hitaman yang masih terus membayang. Enam tahun,  dan aku masih tetap berharap, berharap suatu saat negara di Timur sana tetap bisa kutempati pulang. Kupandangi tiang bendera di depan ruangan dekan. Sudah sejak lama, kebanggaan, kecintaan, harga diri, kusaksikan luluh melunturkan Merah Putih. Dan aku tidak mau dan tidak pernah berhenti  bertanya, Indonesia.., kenapa rela kau hapus masa lalu kami?


_Ibunya Mahatma_
Ditulis untuk kawanku Murni yang kehilangan sepotong hidupnya….
23 Februari 2008

Komentar

Postingan Populer