Panggil mamma “Gaja” aja!


Setiap mendengar berita perkembangan maha dari ibunya baik via telpon atau saat chating saya pasti selalu tidak bisa menahan tawa karena pola dan tingkahnya yang memang lucu. Misalnya, saat maha memutuskan untuk tidak mau mandi sore dalam beberapa hari tanpa alasan yang pasti. Pokoknya “nda’ mau ibu”! begitu saja jawabnya. Mendengar kabar itu pastilah saya jadi orang “gila” yang tertawa sendiri depan komputer dan membayangkan maha mulai ber acting bak sineas muda berbakat dari Kota Arung Palakka dengan membuat wajahnya berlipat-lipat sepuluh saat ibunya mulai agak “represif”. Dan saya sendiri sebenarnya lebih suka maha tidak mandi sore. Alasannya sederhana, saya sangat suka alias demen mencium baunya maha kalau lagi kacci-kacci (red: bau apek) nya. Senang betul saya. Ada aroma khas yang membuatku rela menggaruk seluruh tubuhnya sepanjang malam karena gatal yang terus menyerang akibat ulahnya sendiri. Aneh ya? Biarlah terkesan aneh tapi bagian yang paling senang saya ciumi itu bagian lehernya. Hmmm… What a smell! Hahahahaha. Tapi saya juga tidak setuju kalau aksi “child disobedience” itu dilakukan maha tiap hari. Alasannya juga sederhana, karena ia akan begitu tidak nyaman tidur di malam hari dan parahnya lagi karena Papa Bebi nya yang selalu “Siap Siaga” membantu menggaruk bagian-bagian tubuhnya yang tak terjangkau oleh tangannya yang imut sedang tidak bersamanya. Nah, kalo membayangkan itu, suasananya pasti akan jadi agak “Rinto Harahap” alias melankolis.
Dua hari lalu saya lagi dapat kabar tentang maha dari ibunya. Bukan soal tidak mau mandi atau soal kegemaran terbarunya menghafalkan semua lagu-lagu Bondan Prakoso yang selalu di dengarnya dari TV. Juga bukan soal request terbarunya ingin dibelikan Skateboard dan sepatu serupa sneakers. Tapi kali ini permintaannya agak-agak prinsipil.

“Ibu, tidak mau dipanggil mamma*, Gaja* aja nah”!

Terperangah. Mahatma tidak mau lagi dipanggil “maha”. Ia memilih panggilan “Gaja”. Karena maha belum bisa menyebut Gaza maka ia menyebutnya “gaja”. Tidak salah dan tidak mengada-ngada kalau maha meminta ia dipanggil Gaza atau Gaja. Karena toh Gaza atau Gaja adalah bagian dari namanya yang agak panjang itu. Mahatma Ali El Gaza.
Soal panggilan “Gaja” ini, maha pernah begitu marah. Saat itu ia masih berumur sekitar satu tahun dan kami masih tinggal di Makassar bersama puang-puang nya yang “lucu-lucu” itu. Persoalannya sederhana, maha sangat tidak senang kalau panggilan “Gaja” diplesetkan menjadi “Gojo” dan terus diulangi berkali-kali oleh Ana, puang tantenya maha yang selalu merasa tidak diperhatikan semenjak maha nongol di keluarga ini. Sangking tidak setujunya, maha akan terus menegaskan kalau namanya bukan “Gojo” tapi “Gaja”. Berkali-kali diulanginya dengan nada yang semakin mengeras dan diujung itu ia kan menangis sejadi-jadinya kalau tetap saja dipanggil “Gojo”.
Sebab pilihan “Gaza” menjadi salah satu bagian dari namanya maha sebenarnya sederhana tapi tidak sesederhana yang dipikir. maha lahir pada Januari 2009, saat Israel membombardir Kota Gaza, Palestina. Makanya karena itu pula kenapa original soundtrack kelahiran maha yang kami pilih adalah We Will Not Go Down In Gaza Tonight gubahan Michael Heart. Selain alasan miladiyah itu, bagi kami “Gaza” adalah simbolisasi keteguhan, perjuangan serta kerja keras. Keteguhan atas sesuatu yang dianggap benar, Perjuangan atas hak yang terampas. Dan kerja keras untuk hal yang tidak sepele, kedaulatan. Karena nama adalah doa, maka kami berharap dan berdoa “Gaza” akan menjadi nilai yang menghuni dalam diri maha, juga kami dan kita semua. Nilai yang kini sering dianggap tidak lagi terlalu penting dan dianggap cukup menjadi bait-bait puitikal di pamphlet-pamflet deretan pejuang yang menghuni buku-buku sejarah yang berdebu.
Kami tak tahu siapa yang mengajarnya. Tapi 2 hari lalu maha meminta ia dipanggil “Gaja” saja. Saya terdiam dan tertawa tidak lebar sambil membayangkan ia mendongakkan kepala ke arah Ibunya meminta diperhatikan. Dan pasti ia akan mengulangi itu seharian sampai keinginannya dipenuhi. Meminta ia dipanggil “Gaja”.
Pinta maha mungkin hanya sehari dan akan ia lupakan esok atau ia akan terus mengingatnya. Tapi yang pasti “maha sudah mulai belajar memutuskan sendiri apa yang penting baginya” begitu ujar Ibunya.

Hmm… apa pun  itu kami akan terus belajar bersamamu maha!
Love you!

28 Mei ‘11
Bantaran X Code
Saat lelah setelah sebuah perayaan…

*karena belum bisa menyebut maha, maka ia melafazkannya dengan lafaz “mamma”.

Komentar

Postingan Populer