Menanti Mesin Penenun Hujan





Kali ini harus nonton Frau setelah beberapa bulan yang lalu gagal karena hujan yang tak begitu bersahabat. Begitu tekad ku dan kedua rekanku. Dan kami tentu berharap ini akan berakhir dengan bahagia dan senyum yang mereka seolah telah bercita di luar angkasa. Hahaha…

Informasi Frau akan manggung sebagai Opening Act nya Malik n D’essentials kudapatkan 2 hari lalu, sehari sebelum hari H, dari FB nya Frau. Mereka akan tampil di TBY dalam gelaran Kaskus Movie Night. Harga tiket masuk menurutku relatif murah. Untuk yang gold seharga sepuluh ribu rupiah sedangkan yang silver dibandrol dengan harga lima ribu rupiah. Dengan harga segitu anda juga akan mendapatkan macam-macam. Tiketnya menurut Kaskus bisa diperoleh via Kaskus atau lewat beberapa radio dan distro di kota ini. Sempat terpikir untuk langsung menuju tempat-tempat itu untuk mendapatkan secarik kertas yang akan ditukarkan dengan tiket masuk di tempat perhelatan tapi karena di informasi itu tertera tiket juga di jual On The Spot, maka saya pikir lebih baik langsung beli On The Spot saja. Dan inilah awal malapetaka itu!
Informasi ini segera kukabarkan bak sebuah kambar gembira dari langit kepada ketiga sejawat di kosanku ini dan khususnya kepada pemilik Suzuki Vision ber nomor polisi DD 2303 AS yang selalu setia bersamaku “berburu” panggung-panggu rendah tanpa barikade. Dan kali ini kami akan menembus panggung yang berbarikade tapi kami rela demi syahdu dari Mesin Penenun Hujan.  Tak sabar. Menunggu tanggal 20 Mei. Pukul 18.00. Berharap ini akan menjadi perayaan “harkitnas” yang betul-betul membangkitkan...Sambungi na’….
Pagi 20 Mei kemarin tidak begitu indah. Mual setelah mengkonsumsi berlebihan kue tart selebrasi ultah seorang teman sekosan. Tapi segera kuupayakan jalan agar semuanya segera berubah indah meski rasa coklat terus terasa pahit dari setiap dahak yang kukeluarkan. Meminta dimuntahkan tapi malu-malu. Pokoknya pagi kemarin agak tidak terlalu bersahabat ditambah keluhan dari perut yang selama di Kota ini belum terlalu banyak masalah karena tempat pembuangan yang lumayan tersedia banyak dan layak tidak seperti di “sana”. Tapi lagi-lagi ini harus kuatasi segera karena saya tidak ingin keluh kesah ini mengganggu perayaan “hari kebangkitan nasi(b)onal” ku sebentar sore. Dan juga pagi ini harus segera ke kampus menjemput kuliah-kuliah menarik tentang damai dan konflik. Dan akhirnya lumayan bisa kuatasi semua masalah-masalah kecil di pagi hari. Buktinya pukul 8.49 (yang berarti saya sudah terlambat 45 menit) telah duduk manis tepat dibawah mesin pendingin kelas A.103 mendengarkan Si Dosen bercerita tentang delapan action yang dianjurkan Majelis Umum PBB sebagai action untuk membangun culture of peace. Dan dari kelas ini pula segera kutau kalau sepertinya selebrasi ku dan mereka sore nanti harus segera di arrange sebaik mungkin karena si Bapak dosen mengajak kami peserta mata kuliah itu untuk menghadiri selebrasi di rumahnya. Selebrasi untuk pertemuan-pertemuan yang menarik selama beberapa minggu. Yang tentunya tidak bisa dilewatkan karena macam-macam alasan sekali lagi biologis dan ideologis. Tapi saya (lagi) berjanji untuk menceritakan selebrasi ini di celotehku berikutnya. Tolong diingatkan!....Dan acara ini juga sore hari sekitar dua jam sebelum opening gate di TBY. Saya mulai ragu bisa menghadiri selebrasi bersama Frau. Dan sore kemarin di rumah si Bapak menjadi tidak begitu kami nikmati karena sesekali harus melihat waktu takut terlambat ke TBY. Tapi bukan berarti tidak menikmati selebrasi di rumah si bapak. Buktinya banyak cerita yang akan kubagi. Tapi sabar karena sesaat lagi kebahagiaan-kebahagiaan kecil ini akan mulai berubah kelam.
Sekitar pukul 18.30 kami pamit pulang kepada si Bapak. Dan pemilik motor ber DD 2303 AS segera melaju dengan kecepatan diatas rata-rata menyusuri jalan yang agak padat sore kemarin. Di belakang kami setauku ikut motor ber nomor polisi Bima yang belakangan kami tau ternyata dia memilih jalur lain, jalur menuju kosan, sebuah pilihan yang seharusnya juga kami pilih.
Sampai di TBY, parkiran sudah padat. Dan setelah berurusan dengan si tukang parkir kami segera menuju pintu masuk dimana puluhan orang berkerumun. Setelah beberapa menit kami akhirnya tau kalau tiket sudah Sold Out. Dan dari seorang kawan yang juga hadir setelah kami mengetahui kabar itu kami tau kalau tiketnya terbatas dan dia sudah membelinya 2 hari sebelumnya. Wajah kami berdua mulai tidak bergembira lagi. Dan mulailah berandai-andai dan sesekali berpikir cara-cara lama yang ditempuh bak seorang supporter PSM yang tak mampu membeli tiket masuk pertandingan di Mattoanging. Dengan sesekali dan berkali-kali sumpah serapah berawalan “S”* terlontar deras tanpa ampun dari kami berdua.

“Nda’ tinggi ji pagarnya, manjat deh”, kataku.

“Baa bisa ja’ pasti panjati ini nah”, sambut  kawanku dengan yakin.

Tapi segera kami akhiri kemungkinan percobaan bodoh itu karena selebrasi yang sepertinya akan terinterupsi ini tidak ingin kami akhiri dengan muka lebam tentunya. Hahahaha…
Pilihan selanjutnya adalah memaksimalkan kekuatan massa. Konsep yang sejak mahasiswa baru hingga kini masih kupegang teguh. Puluhan massa di depan TBY yang bernasib sama dengan kami tentu punya potensi untuk digerakkan. Tapi hambatannya sepertinya besar meski tidak bermaksud meragukan. Pertama, mereka ABG-ABG lucu..hahaha…dan sepertinya mayoritas penonton Malik n D’essentials…taulah bagaimana perawakan mereka…sekali lagi ini bukan bermaksud meragukan potensi “marah” yang mereka punya. Tapi agak susah pastinya. Tapi sempat terlintas dan kusampaikan kepada si kawan disampingku bagaimana kalau konsepnya tetap pada kekuatan massa tapi metode nya di modifikasi. Caranya bagaimana kalo semua yang tidak dapat tiket ini rame-rame ngetwiit ke pihak Kaskus ato Simpati sebagai sponsor ato bahkan ke Frau dan Malik bahwa kita semua mau masuk. Karena kuyakin bahwa hampir semua atau bahkan semua dari mereka punya gadget dan tentunya sedang sibuk marah-marah di twitter. Tapi semuanya kan hanya berandai dan tidak kami lakukan. Maka tetaplah sumpah serapah itu mengalir meski kini hanya sesekali.
Setelah beberapa teman yang kami ajak datang akhirnya pilihan lain segera datang dan harapan bertemu Lani Frau kembali hadir. Calo. Ini pilihan berikutnya. Kami butuh calo. Dan si kawan berhasil bertemu satu dan sepertinya satu-satunya calo di helatan itu. Aneh. Tapi dari kawan yang orang sini membenarkan kalo di kota ini cara-cara seperti itu sedikit dilakukan di acara-acara seperti ini. Dari si calo harga tiket yang 5 ribu jadi 25 ribu terus yang sepuluh ribu jadi 25 ribu. Sebenarnya sempat terpikir untuk merelakan uang sebesar jumlah makan tiga kali di warung Mbak Sri untuk Frau tapi akhirnya harus gagal juga karena si Calo hanya punya 4 tiket sementara kami sudah bersembilan. Dan akhirnya mimpi bertemu dan berdendang bersama Frau gagal. Dan kekesalan ini harus kami salurkan di tempat makan bersama teman-teman.
Sesaat sebelum memacu motor, terdengar dari dalam dan terlihat olehku dari screen yang disediakan panitia Lani melantunkan Mesin Penenun Hujan…kembali harapan itu kami susun lagi pelan-pelan. Teman-teman kami minta berangkat duluan dan kami kembali mendekat ke pagar TBY dan menyaksikan Lani dari screen yang tidak terlalu besar. Kembali kami bertemu si Calo tapi kali ini tiketnya sudah habis. Kami mendekati para Satpam dengan harapan mereka bisa disogok tapi juga mentah. Kesal tapi kuharap mereka bisa jadi contoh baik dan tetap berjanji tak mau disogok. Dan setelah dua lagu berakhir akhirnya mimpi melihat Frau langsung kami kubur dalam-dalam sedalam sumur yang tak berair. Motor melaju kencang dengan satu serapah yang masih berawalan “S” kami teriakkan kencang dan dari kejauhan kudengar Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa. Lirih.

*seperti suntikan, sampah, sayur, sapi….hahahaha….

21 Mei ‘11
Bantaran X Code
Menunggu Mocca sore nanti

Komentar

Postingan Populer