Actions in Building Culture of Peace*

Oleh: Zulkhair Burhan

Pengantar
Perdamaian, oleh Galtung dilihat  dalam 2 kategori. Pertama, perdamaian negatif (negative peace) dimana perdamaian dimaknai sebagai kondisi dimana perang atau kekerasan telah berakhir (the absence of war and violence) . Sementara, perdamaian positif (positive peace), oleh Galtung dimaknai secara substantif sebagai integrasi masyarakat (the integration of human society) . Ini berarti bahwa perdamaian tidak hanya berkaitan dengan mengakhiri konflik yang ada di permukaan namun perdamaian positif harus dimaknai sebagai kondisi dimana individu atau masyarakat terbebas dari berbagai kekerasan struktural baik dari aspek sosial, politik maupun kultural. 
Berangkat dari pemahaman mengenai pahaman perdamaian yang lebih komprehensif dalam konsep peramaian positif (positive peace), maka dapat dipahami bahwa pada dasarnya sumber-sumber kekerasan bisa terjadi sebagai akibat konflik yang terjadi dalam bentuknya secara fisik seperti perang, konflik rasial yang berujung pada kekerasan fisik, dan secara lebih luas kekerasan bisa terjadi karena adanya kultur yang memungkinkan terjadinya kekerasan tersebut atau juga bisa diakibatkan oleh struktur atau sistem yang dimana nilai dan pengejawantahannya memungkinkan terjadinya kekerasan dalam makna yang lebih luas dan substantif. Dengan pemahaman seperti ini, maka proses perdamaian tentu mesti dilihat sebagai upaya untuk membangun budaya perdamaian (culture of peace) sehingga perdamaian yang komprehensif bisa mendapatkan relevansinya.

Budaya Perdamaian dan Transformasi Konflik

Budaya perdamaian (Culture of Peace)[1] dimaknai sebagai bentuk pendekatan integral yang dilakukan untuk mencegah terjadinya kekerasan dan konflik yang berujung pada kekerasan, dan juga sebagai alternatif terhadap kultur perang dan kekerasan yang berbasis pada pendidikan perdamaian, promosi pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan,  penghormatan terhadap hak-hak azasi manusia, kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, partisipasi demokrasi, toleransi, arus bebas informasi dan perlucutan senjata.
Delapan aspek yang dijelaskan dari definisi di atas yang menjadi basis penting dalam upaya membangun budaya perdamaian, kemudian oleh Majelis Umum PBB melalui Resolusi A/52/13 pada tahun 1998 diadopsi menjadi program aksi (Program of Actions) yang mengajak semua elemen pada level nasional, regional maupun internasional untuk ikut terlibat secara aktif dengan menjalankan delapan aksi penting, yaitu:

1.     Membangun budaya perdamaian melalui pendidikan
2.     Mempromosikan pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan
3.     Mempromosikan dan menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Azasi Manusia
4.     Mempromosikan kesetaraan gender
5.     Mempromosikan partisipasi demokrasi
6.     Mempromosikan nilai-nilai saling memahami, toleransi dan solidaritas
7.     Mendukung komunikasi independen dan bebasnya arus informasi dan pengetahuan
8.     Mempromosikan perdamaian dan keamanan

Program aksi yang dicanangkan oleh Majelis Umum PBB mengenai kultur perdamaian tersebut diatas, perlu dipahami sebagai upaya untuk mencegah terjadi kekerasan atau konflik yang disebabkan oleh berbagai persoalan yang ditimbulkan (root causes) oleh kultur perang dan kekerasan yang lebih sering bersifat latent dalam struktur masyarakat. Diantaranya; (a) pahaman bahwa kekuasaan mesti diterapkan melalui cara-cara yang koersif, (b) bahwa setiap individu atau kelompok pasti memiliki musuh, (c) tata kelola pemerintahan yang otoriter, (d) kerahasiaan informasi dan propaganda, (e) perlombaan persenjataan, (f) eksploitasi terhadap manusia, (g) eksploitasi terhadap alam, dan (h) dominasi laki-laki.[2]
            Secara keseluruhan dapat dipahami bahwa seruan untuk bersama membangun kultur perdamaian merupakan bagian inheren dalam upaya melakukan proses transformasi konflik yang menempatkan individu atau personal, komunitas (sosial) serta sistem (institusi) menjadi bagian prinsipil dalam setiap tahapannya. Hal ini penting diperhatikan mengingat bahwa konflik dan kekerasan dalam kehidupan bermasyarakat direproduksi oleh ketiga elemen ini yang tentu dengan kadar dan bentuk serta efek yang berbeda-beda tentunya. Dan ini bisa terlihat dibanyak kasus, misalnya bagaimana praktek kekerasan merupakan produk sosialisasi yang terus menerus direproduksi, atau bagaimana Negara sebagai sebuah institusi melalui kebijakan pembangunan kemudian memproduksi ketidakadilan distributif yang kemudian menyemai benih-benih ketidakpuasan sehingga dapat memicu lahirnya kekerasan yang sifatnya struktural di tingkatan masyarakat. Dan yang juga tidak boleh dinafikan bahwa individu juga dapat menjadi sumber atau pemicu (trigger) lahirnya kekerasan, misalnya dalam pilihan metode seseorang atau individu untuk menyelesaikan persoalan dengan cara-cara yang destruktif.
            Meski menjadi elemen potensial dalam upaya transformasi konflik, ketiga elemen (individu, komunitas dan sistem) juga dapat menjadi elemen yang menghambat proses tersebut. Tentunya dengan berbagai alasan dan sebab baik yang sifatnya kultural, sosiologis maupun ideologis. Sehingga dengan demikian, maka menjadi sangat penting bahwa transformasi konflik dengan mengadopsi pendekatan yang diserukan oleh Majelis Umum PBB menyentuh ketiga elemen ini. Sekali lagi tentunya dengan kadar dan porsi yang berbeda-beda. Dan saya pikir Negara sebagai sebuah “sistem “maupun institusi memegang porsi terbesar dalam kerangka transformasi konflik secara lebih luas. Artinya bahwa Negara berhak memproduksi regulasi dalam berbagai bentuknya yang memungkinkan terjadinya transformasi konflik dan yang lebih penting bahwa proses ini membutuhkan transparansi dan partisipasi masyarakat secara luas sehingga dapat meminimalisir potensi terjadinya monopoli Negara yang dapat berujung pada reproduksi kekerasan-kekerasan baru dalam berbagai bentuknya.

Transformasi Konflik di Indonesia

            Dalam konteks Indonesia, seruan Majelis Umum PBB ini tentu menjadi begitu relevan mengingat bahwa konflik dan kekerasan yang sering terjadi di republik ini terjadi secara kultural maupun struktural. Dan ini berarti bahwa hambatan dalam proses transformasi pada dasarnya terletak di semua lini baik individu, komunitas maupun Negara. Ini bisa kita lihat misalnya dengan menganalisa bagaimana sikap toleransi yang begitu defisit dalam masyarakat kita ternyata dianggap sebagai salah satu sebab lahirnya konflik atau kekerasan berbasis identitas. Sehingga dengan demikian pendidikan tentang perdamaian yang menginjeksikan nilai-nilai saling memahami dan toleransi terhadap perbedaan kemudian dianggap menjadi begitu penting.  Namun meski demikian, upaya edukasi yang transformatif ini tentu akan menjadi agak susah terejawantah secara lebih substansial jika ide-ide dan praktek kekerasan terus direproduksi oleh komunitas dalam berbagai bentuknya dan belum lagi diperparah dengan tabiat Negara yang terus mereproduksi aturan main berupa hukum yang seringkali kasat mata justru membenarkan kekerasan menjadi sebab atau akibat yang akhirnya berimplikasi secara resiprokal kepada masyarakat dalam hal ini individu dan komunitas.
            Dengan demikian sebagai bentuk affirmative action, model-model pendidikan yang berbasis pada proses penyadaran dan penginjeksian kesadaran kritis akan pentingnya perdamaian kepada individu maupun komunitas tentu perlu dikembangkan secara berkesinambungan. Dan yang lebih penting lagi bahwa semua pihak mesti mulai memikirkan dan mengambil sikap dalam upaya mentransformasi struktur ekonomi politik dan sosial yang dominan saat ini dan menjadi penyebab determinan lahirnya kekerasan dan konflik dalam berbagai manifestasinya.  




[2] Ibid

* Tugas review mata kuliah foundation in peace and conflict studies

Komentar

Postingan Populer