The State is Dead … Long Live The State*

Pengantar

Salah satu pembahasan penting dalam studi maupun isu perdagangan internasional yaitu mengenai posisi dan peran negara-bangsa. Para penganut mazhab (neo) liberalisme khususnya  kelompok hyper-globalis menganggap bahwa di era globalisasi dimana ‘batas’ menjadi begitu kabur (borderless), posisi dan peran negara-bangsa kemudian menjadi tidak begitu signifikan. Belum lagi, kombinasi revolusi informasi dan teknologi serta semakin meningkatnya kuasa perusahaan-perusahaan transnasional semakin mengkerdilkan posisi tawar negara-bangsa. Atau dalam bahasa yang lain dan sangat menyederhanakan, Charles Kindleberger melihat negara-bangsa hanya sebagai unit ekonomi dalam sistem dan mekanisme ekonomi global, tidak lebih.[1] Namun tidak demikian pandangan kelompok yang dalam tradisi studi ekonomi politik internasional disebut sebagai merkantilis. Bagi kelompok ini, anggapan bahwa globalisasi kemudian menegasikan peran dan posisi penting negara-bangsa dalam sistem ekonomi global pada umumnya dan perdagangan internasional pada khususnya justru salah alamat dan menyesatkan.  Dan pandangan ini sejalan dengan pandangan Dicken yang juga menolak anggapan bahwa negara-bangsa tidak lagi memainkan peranan signifikan dalam tata ekonomi global, namun mesti diakui bahwa saat ini telah terjadi redefinisi peran negara-bangsa.[2]

Negara-Bangsa Belum Mati

Frasa pendek diatas, saya kira menjadi sangat relevan untuk menggambarkan apa yang maksud oleh Dicken tentang bagaimana peran dan posisi Negara bangsa dalam panggung ekonomi global kontemporer. Pandangan ini sebenarnya justru berangkat dari asumsi sederhana bahwa pada dasarnya sistem pasar bebas yang menjadi motor penggerak sistem ekonomi global pada dasarnya dijalankan oleh pemerintahan yang secara politik dan ekonomi berkuasa di sebuah Negara. Meski tentu pada prakteknya terdapat banyak Negara yang belum berhasil menampakkan kemajuan-kemajuan signifikan dalam perekonomiannya kendati telah mengadopsi model-model pembangunan atau perdagangan (neo) liberal namun juga tidak sedikit Negara-negara yang sejauh ini relatif telah berada dalam posisi yang mapan secara ekonomi dan memproklamirkan diri sebagai pendulum model pembangunan atau perdagangan berbasis liberalisme baru.
Dalam konteks inilah, dalam bukunya berjudul Global Shift khususnya pada bab yang ia beri tajuk The State is Dead…Long Live the State, Dicken mencoba secara sederhana memperlihatkan dan memberikan analisa menarik kepada kita mengenai signifikansi peran Negara Bangsa yang oleh para liberalis dianggap telah memudar di satu sisi dan di sisi lain juga dianggap sebagai biang kerok atas krisis yang sering mendera sistem ekonomi politik arus utama karena intervensi Negara dianggap sebagai bentuk proteksionisme yang tentunya sangat menggangu terlaksananya pasar dan perdagangan bebas yang berbasis pada kompetisi.
Dickens kemudian secara umum mengajukan empat aspek penting peran Negara Bangsa dalam sistem ekonomi global kontemporer.[3]
Pertama, Negara sebagai ‘wadah’ dari budaya, praktek dan institusi yang berbeda-beda. Secara historis, masyarakat telah mengembangkan berbagai macam metode untuk mengelola sistem perekonomiannya. Metode ini sebenanarnya berangkat dari basis dimensi ‘kultural’ dan karakteristik yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai bentuk praktek dan institusi ekonomi politik. Bahkan menurut Dickens, ini juga terjadi dalam konteks ideologi kapitalisme secara universal yang melahirkan berbagai macam varian seperti model kapitalisme pasar neoliberal (neo-liberal market capitalism) yang digawangi oleh AS dan Inggris, model kapitalisme pasar sosial (social market capitalism) yang dicontohkan oleh Jerman dan Negara-negara Skandinavia, dan model kapitalisme pembangunan (developmental capitalism) yang banyak dipraktekkan di Jepang, Korea, Taiwan, Singapura dan kebanyakan negara-negara di Asia Timur. Bahkan dalam konteks tertentu, model kapitalisme komunis (communist capitalist) a la Cina.[4] Dan yang penting dalam konteks ini, bahwa model-model diatas yang memiliki karakteristiknya masing-masing khususnya dalam model tata laksana pembangunan dan pengambilan kebijakan ekonomi maupun politik, diwadahi pelaksanaannya oleh Negara. Kedua, Negara sebagai regulator perdagangan, investasi luar negeri dan industri. Dalam ranah ekonomi, Negara pada dasarnya tidak hanya berurusan praktek ekonomi transaksional dalam berbagai bentuknya seperti perdagangan, investasi dan industri, namun lebih dari itu Negara juga menjalankan peran untuk membuat aturan main berkenaan dengan aktivitas ekonomi yang berada diwilayah teritotialnya. Dan hal ini minimal dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain: karakteristik kultur politik dan kuatnya institusi serta kelompok kepentingan, kondisi ekonomi nasional khususnya pasar domestik, sokongan sumber daya baik psikis maupun fisik, dan posisi sebuah Negara dalam ekonomi dunia termasuk posisinya dalam pembangunan ekonomi dan industrialisasi. Ketiga,  Negara sebagai kompetitor. Meski, Paul Krugman menganggap bahwa Negara yang kompetitif adalah obsesi berbahaya,[5] namun pada dasarnya tidak bisa dipungkiri bahwa kompetisi antar Negara (paling tidak Negara-negara yang memiliki basis ekonomi yang relatif mapan) sepanjang sejarah selalu berada dalam posisi berkompetisi. Ini bisa kita liat misalnya saat Cina mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan, maka Negara-negara maju yang dimotori oleh Amerika Serikat mendesak agar Cina mendevaluasi mata uang Yen nya sehingga dapat setara dengan Negara-negara maju lainnya yang terus didera krisis finansial atau bagaimana misalnya Amerika Serikat relatif memproteksi pasar domestiknya dari gempuran produk garmen dan tekstil Cina sekitar tahun 2005-2006 yang semakin memperkuat indikasi adanya kompetisi antar masing-masing Negara. Kompetisi ini menjadi sangat wajar mengingat bahwa masing-masing Negara berusaha untuk memperkuat posisinya dalam perdagangan dan aktivitas ekonomi internasional lainnya dan selanjutnya dapat meningkatkan keuntungan dari proses perdagangan tersebut. Tidak berhenti sampai disitu, masing-masing Negara juga terus berkompetisi untuk melakukan apa yang disebut ‘locational tournaments’, dimana Negara-negara tersebut bergiat untuk memfasilitasi proyek investasi ke wilayah territorial mereka.[6]  Keempat, Negara sebagai kolaborator dalam pengembangan perjanjian integrasi regional. Dalam kaitannya dengan upaya sebuah Negara untuk meningkatkan pencapaiannya dalam bidang ekonomi dan kesejahteraan, maka tentunya dibutuhkan jalinan kerjasama dengan berbagai pihak. Dan dalam konteks inilah, maka Negara seringkali menjadi kolaborator dengan Negara lain untuk menjalin kerjasama dalam bentuk yang lebih luas, semisal perjanjian kerjasama regional dalam kerangka regionalisme. Apalagi model-model regionalisme belakangan telah menjadi ciri dominan ekonomi global kontemporer.[7]

Kesimpulan : Redefinisi Peran Negara

Beberapa alasan yang dipaparkan oleh Dicken yang sekaligus menjawab argument salah alamat kelompok hyper-globalis diatas, tentu lebih menarik dan mengejutkan jika dikontekstualisasikan dengan kondisi krisis finansial kontemporer yang menemukan momentumnya pada tahun 2008 hingga kini. Krisis yang meluluhlantahkan pondasi perekonomian Negara sekaliber Amerika Serikat yang juga menjadi agitator sistem ekonomi neoliberal dan menyerukan perdagangan dan pasar bebas ke seluruh penjuru dunia melalui lembaga-lembaga seperti Bank Dunia, IMF dan WTO tersebut,[8] kemudian harus mengeluarkan paket kebijakan penyelamatan ekonomi dalam negeri berupa penggelontoran dana talangan (bail out) yang kemudian memberi nafas segar bagi perusahaan-perusahaan multinasional yang terancam gulung tikar mengikuti nasib tragis Lehman Brothers. Pertanyaannya adalah siapa yang mengeluarkan kebijakan Bail Out? Jawabnya tentu sangat sederhana, Negara.
Lalu pertanyaan selanjutnya, apakah dengan peran dan posisi Negara yang pada dasarnya tetap signifikan di era borderless ini kemudian menjadikannya semacam proteksi bagi perdagangan dan pasar bebas? Saya kira untuk menjawab pertanyaan ini, maka ajakan Dickens mengenai redefinisi peran Negara justru menemukan relevansinya. Seperti yang dijelaskan Dickens bahwa kebijakan untuk menjalankan paket perdagangan internasional pada dasarnya dikeluarkan oleh Negara yang kemudian berujung pada pembukaan pasar domestik terhadap berbagai produk asing. Dan beberapa kasus proteksi yang diberlakukan oleh Negara-negara maju sekaligus menunjukkan bahwa belum satu pun Negara yang secara utuh menjalankan model perdagangan dan pasar bebas. Maka tidak salah kalau ada yang menganggapnya sebagai utopia. Namun disi lain, Negara juga pada dasarnya sangat memiliki kapasitas dan kuasa untuk tidak menjadikan model liberalisasi sebagai the only way of doing things. Pengalaman-pengalaman menarik Negara-negara di Amerika Latin dalam beberapa tahun belakangan memberikan cara pandang yang lain, bagaimana Negara justru bisa menjadi container, meminjam istilah Dicken, yang melahirkan kebijakan ekonomi politik termasuk kebijakan mengenai perdagangan internasional yang tidak melulu mengikuti resep-resep neoliberal. Benjamin Dangl menyebutnya Dancing with Dynamite[9], untuk menggambarkan bagaimana kelompok gerakan sosial membangun kolaborasi yang apik dengan Negara dan kemudian merancang dan mendesain kebijakan-kebijakan alternatif yang berbasis pada solidaritas dan kerjasama. Model kolaborasi yang kritis dan tidak didasari pada dominasi Negara yang sering mengarah pada kediktatoran.
Dengan demikian, tantangan sistem kapitalisme global yang mengindikasikan liberalisasi di segala lini termasuk perdagangan internasional yang sering terbukti hanya menguntungkan Negara-negara maju khususnya dalam kerangka WTO[10] sebenarnya akan sangat bisa dijawab oleh reposisi peran Negara yang idealnya menjadi perpanjangan tangan dari kepentingan nasional dalam hal ini kepentingan kesejahteraan masyarakatnya. Paling tidak ini yang bisa dilakukan sembari mulai berani memikirkan model ideologi alternatif yang lebih manusiawi.



[1] Charles Kindleberger, American Business Abroad: Six Lectures on Direct Investment, Yale University Press, USA, 1969, Hal. 207
[2] Peter Dicken, Global Shift: Mapping The Changing Contours of The World Economy, Sage Publications, London, 2007, Hal. 173
[3] Ibid., Hal. 175-204
[4] Op.Cit., Hal. 177
[5] Paul Krugman, Strategic Trade Policy and the New International Economics, The MIT Press, USA, 1986
[6] Op.Cit., Hal. 185
[7] Robert Gilpin & Jean Millis Gilpin, Tantangan Kapitalisme Global; Ekonomi Dunia Abad Ke-21, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, Hal. 207-208
[8] Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Pustaka Pelajar & Insist Press, Yohyakarta, 2006, Hal. 204
[9] Benjamin Dangl, Dancing With Dynamite: Social Movements and States in Latin America, AK Press, USA, 2010
[10] Hira Jamtani, WTO dan Penjajahan Kembali Dunia Ketiga, Insist Press, Yogyakarta, 2005


*Tugas Critical Review
Global Shift: Mapping The Changing Contours of The World Economy, Sub Bab: The State is Dead … Long Live The State. Hal. 173-204

Komentar

Postingan Populer