Belajarlah Dari Sejarah*

Oleh: Zulkhair Burhan

”History is not only becoming, it is also being”
Henry S. Canby (1878-1961)
           
            Suatu saat ketika mengikuti pendidikan politik pada salah satu organisasi mahasiswa ekstra kampus, seorang kawan sambil berkelakar mengatakan kalau kita tidak perlu terlalu memuja-muja eksponen ’66 yang menjatuhkan Soekarno atau Angkatan ’98 yang berhasil merobohkan kediktatoran Soeharto karena toh mereka juga menyisakan kekeliruan dan kegagalan. Dan ini paling terasa ketika kekuatan yang menjatuhkan Soeharto akhirnya harus memilih ”Reformasi” sebagai key word perubahan di negeri ini yang berarti tetap menyisakan kekuatan lama dengan sistem yang usang pula. Namun jangan terlalu cepat memberi kesimpulan, buru-buru kawanku itu meluruskan kalau kita tetap perlu menjadikan apa yang telah dilakukan oleh generasi-generasi sebelumnya sebagai bahan evaluasi bagi hari-hari panjang yang akan kita lalui esok hari. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya?
Mari Berbagi Kisah
           Sekitar 5 tahun yang lalu 2 orang mahasiswa Politeknik Negeri Ujung Pandang dijatuhi sanksi DO (Drop Out) dan beberapa yang lain mendapat sanksi skorsing 1 sampai 2 semester. Sanksi ini tentu bukan tanpa sebab. Sebelum sanksi ini dijatuhkan oleh pihak kampus hampir tiap hari mahasiswa yang dibawahi oleh lembaga intra kampus melakukan aksi dengan grand issue transparansi penggunaan keuangan kampus yang diikuti beberapa isu-isu turunan yang lain. Pada awalnya pihak mahasiswa meminta untuk dilakukan dialog untuk memperjelas apa yang menjadi tuntutan mahasiswa namun permintaan ini justru dibalas dengan penjatuhan sanksi terhadap mahasiswa-mahasiswa yang dianggap mendalangi aksi di kampus tersebut.
            Jatuhnya sanksi DO dan skorsing terhadap beberapa mahasiswa di Politeknik saat itu kemudian menyulut solidaritas dari berbagai kampus di Makassar yang kemudian membentuk SMAPER (Solidaritas Mahasiswa  Anti Pendidikan Represif). Solidaritas ini awalnya hanya dibentuk oleh beberapa organisasi intra dan ekstra kampus yang sadar bahwa fenomena represifitas dalam kampus dan pembungkaman lembaga mahasiswa adalah isu bersama dan perlu dikawal secara bersama pula. Kesadaran ini juga yang dijadikan sebagai acuan hingga jaringan yang dibentuk oleh SMAPER bisa mencakup hampir semua lembaga intra dan ekstra kampus di Makassar.
            Setelah gagal menuntut pencabutan sanksi DO dan skorsing melalui beberapa aksi yang dilakukan di depan Kampus Politeknik, SMAPER kemudian melakukan aksi mogok makan di Kantor Depdiknas menuntut agar pihak Depdiknas menuntut Direktur Politeknik mencabut sanksi yang sepihak tersebut. Aksi mogok makan ini kemudian dibubarkan secara paksa oleh aparat dan dilanjutkan di Sekretariat Lembaga Bantuan Hukum Makassar. Kasus ini kemudian diajukan ke PTUN, dan setelah melalui beberapa kali sidang yang dibarengi dengan aksi massa akhirnya kasus ini akhirnya dimenangkan oleh mahasiswa.
            Kasus di Politeknik saat itu juga menjadi isu nasional hingga berbagai macam aksi dilakukan di berbagai kampus di beberapa daerah sebagai ungkapan solidaritas terhadap perjuangan teman-teman mahasiswa di Politeknik dan juga sebagai bentuk kecaman terhadap tindakan birokrasi kampus yang semena-mena dan tidak demokratis. Selain aksi massa, berbagai lembaga intra kampus tingkat Universitas di beberapa daerah juga mengirimkan kecaman via faximile terhadap pihak kampus.
Serupa Tapi Tak Sama
            Beberapa bulan yang lalu, 8 mahasiswa Fisipol Universitas Hasanuddin yang juga merupakan ketua-ketua lembaga mahasiswa mendapat sanksi skorsing masing–masing 2 semester. Sebulan kemudian giliran 21 mahasiswa yang juga di lingkup Fisipol Unhas mendapat sanksi skorsing antara 1 dan 2 semester dan beberapa yang lain mendapat teguran keras. Sanksi ini diberikan karena mahasiswa dianggap tidak mengindahkan peraturan yang dikeluarkan pihak fakultas untuk tidak mengadakan proses kaderisasi mahasiswa sampai pada waktu yang ditentukan serta beberapa alasan lain yang tertera dalam surat sanksi yang diberikan kepada masing-masing mahasiswa yang terkena sanksi.
            Berbeda dengan kasus yang terjadi di Politeknik beberapa tahun silam, kasus serupa yang terjadi di lingkup Fisipol Unhas ternyata tidak menyita perhatian banyak pihak khususnya lembaga mahasiswa intra dan ekstra kampus. Kasus ini bukan tidak tersosialisasi bahkan setelah penjatuhan sanksi pertama salah satu harian berita di kota ini terus mengangkatnya ke permukaan namun toh tidak mendapat tanggapan apalagi mengharapkan penggalangan solidaritas. Kalaupun ada beberapa kelompok mahasiswa yang bersolidaritas itupun muncul setelah kasus ini mulai surut dari permukaan.
Dan bahkan ironisnya lagi, kampus yang telah memiliki lembaga eksekutif tingkat universitas ini yang seyogyanya menjadi payung bagi lembaga di tingkat fakultas pun tidak bisa berbuat maksimal.
Mari Berkaca !
            Apa yang membedakan antara kedua peristiwa diatas? Kenapa peristiwa yang terjadi di Politeknik saat itu begitu menyita banyak perhatian khususnya kelompok mahasiswa hingga mendapatkan solidaritas yang begitu massif sementara peristiwa serupa yang terjadi di Fisipol Unhas justru sebaliknya? Jawaban dari pertanyaan ini penting untuk kita sama-sama diskusikan apalagi oleh teman-teman yang sampai saat masih bergelut dalam dunia kemahasiswaan karena menurut saya hal ini akan menjadi cerminan gerakan mahasiswa saat ini paling tidak untuk beberapa hal.
            Meski berbeda konteks permasalahannya, namun yang ingin disoroti dalam tulisan ini bahwa seharusnya apa pun persoalan yang terjadi pada tingkatan lembaga kemahasiswaan idealnya harus menjadi fokus perhatian paling tidak dapat menjadi referensi bagi teman-teman untuk menjalankan langgam kerja organisasi masing-masing.
            Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan berkaitan dengan pertanyaan diatas. Pertama,  bahwa solidaritas tidak akan mudah dibangun secara instan namun lebih dari pada itu ia mesti melewati tahapan-tahapan yang lebih komunikatif. Kasus di Politeknik misalnya, solidaritas yang terbangun saat itu tidak datang serta merta ketika terdengar sanksi yang menimpa kawan-kawan namun sebelumnya memang telah ada bangunan komunikasi antar lembaga minimal di tingkatan elit lembaga tersebut. Bentuk komunikasinya macam-macam, mulai dari diskusi dan aksi bersama sampai pada hal-hal yang lebih kecil seperti upaya untuk membangun hubungan emosional (pertemanan) yang lebih erat.  Dan ini dibangun secara berkesinambungan tidak hanya ketika ada momentum tertentu. Mengapa dulu relatif mudah untuk membangun aliansi atau front untuk merespon momentum politik lokal sampai nasional apalagi kalau memang masalahnya terjadi di seputar kampus?. Salah satunya karena memang bangunan komunikasi antar lembaga relatif lebih terjaga baik. Kedua, untuk menjalankan kerja diatas tentu membutuhkan lembaga yang memiliki langgam kerja serta orientasi “perjuangan” yang jelas serta terukur. Artinya bahwa sebuah lembaga mahasiswa saat ini, khususnya ditengah pragmatisme mahasiswa, tidak patut lagi hanya terjebak dalam ritual-ritual yang hanya menguras energi namun tidak mengarah pada upaya untuk membangun iklim kampus yang tercerahkan.
            Mengamati kampus serta pergerakannya saat ini, saya selalu mengatakan kalau kondisinya mungkin hampir mirip ketika masa NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus) diterapkan pasca Peristiwa Malari. Kalau anda membaca referensi tentang sejarah gerakan mahasiswa, maka pada masa NKK/BKK ini mahasiswa “dipaksa” untuk kembali ke kampus dengan slogan “Back To Campus” dan targetannya adalah membatasi dan bahkan mengekang mahasiswa untuk terlibat jauh dalam upaya proses transformasi sosial. Kondisi ini kemudian yang mengakibatkan mahasiswa terjebak dalam aktivitas-aktivitas yang cenderung hedonistik serta pragmatis. Dan ini tentu tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi saat ini, jangankan untuk mengambil posisi sebagai Agent of Social Control di tengah masyarakat seperti yang sering didengung-dengungkan, bahkan persoalan yang terjadi di sekitar kita (baca:kampus) pun telah luput dari perhatian kita. Dan ingat bahwa kasus di Fisip hanyalah salah satu dari sekian banyak persoalan yang perlu disikapi atau paling tidak membutuhkan perhatian teman-teman mahasiswa. Akhirnya, mungkin saatnya untuk kembali memproklamirkan keberpihakan kita yang juga mungkin telah mulai terkikis oleh semakin megahnya kampus ini.

* pernah dipublikasikan di Terbitan Kampus Identitas Unhas
   pada tahun 2006

Komentar

Postingan Populer