..don't judge a book by it's cover"


Aku takjub berdiri di depan sekolah ini, saat pertama melihatnya. Papan nama 150 cm x 70 cm berdiri di sudut pekarangan, sekaligus halaman sekolah, usang dan tulisannya mulai kabur. Aku mendongak,  S I T   A L B I R U N I, ku baca tulisan di atas tembok ruko berlantai 3 di hadapanku.
“Ini tempatnya” kataku. Aku tesenyum, melihat pagar kayu berwarna-warni, setinggi perutku mengelilingi halaman kecil ini. aku masuk, sejujurnya, aku tak menyangka ruko ini adalah sekolah. Pintunya masih sama, pintu kaca yang saat itu tebuka.
Hari itu Sabtu, dan aku memenuhi penggilan atas lamaran yang kuajukan untuk mengajar di sekolah ini. seorang lelaki yang akhirnya kukenal bernama P Parman, menemuiku, guru agama di sini. Ada beberapa tes yang aku jalani. Tes kemampuan Bahasa Inggris, psikologi, dan tes mengaji. Ketiga-tiganya kulalui dengan mulus. Namun, aku kelelahan, karena ku di sana sejak pagi hingga sore.
Namun,s epanjang hari, aku tersenyum bahagia. Sejak melangkahkan kakiku pertama kali, aku telah jatuh cinta.
Menurutku, inilah sekolah yang kucari. Di lantai 1, ada satu meja kecil, seperti meja resepsionist, sebuah WC, dan sebuah kelas. aku masuk ke kelas untuk kelas 1 SD, kelasnya full AC, sangat inspiratif, di samping kiri kanan, ada karya anak-anak yang tertempel. Ruangan ini tidak seperti kelas biasa, ada berbagai macam mainan di dalam kelas, gambar penuh warna, dan segala yang merangsang anak-anak untuk betah di kelas.
Seolah ini terdiri dari delapan kelas, baru beberapa tahun berdiri. Konsepnya, mengikuti konsep sekolah Islam yang sudah ada, Al Azhar, dan sekolah ini memadukan konsep pembelajaran Islami yang modern. Memakai dua ruko yang besebelahan, ruko 1, untuk kelas 1,2,3, ruang guru dan perpustakaan, ruko 2 kelas 4 sampai kelas delapan. Sekolah ini terletak di jantung kota Makassar, antara Mesjid raya Makassar dan Mesjid Al Markaz.
Aku semakin tertarik, saat di lantai 2 kudapati sebuah perpustakaan yang sekaligus ruang guru. Buku-bukunya sangatkeren, bukan perpustakaan seperti di sekolahku dulu. Buku dongeng, komik, novel, hampir semua buku yang dicari anak-anak.
 ***
Pagi ini…, hari pertamaku menyandang gelar guru di sekolah yang telah membuatku jatuh cinta. Terima kasih mungkin patut kusampaikan untuk kawanku Muthe yang sejak setelah aku menyandang gelar sarjana, dia yang paling sibuk mencarikanku pekerjaan.
“aku hanya ingin jadi guru” kataku saat banyak pekerjaan yang ia tawarkan padaku lewat pencariannya di koran local. Tapi, itu malah menambah semangatnya. Dan ialah yang menuntunku untuk sampai di tempat ini.

Hampir dua buku dongeng yang kubaca dan Pak Arafah belum juga muncul. Dia adalah pimpinan sekolah ini, baru dua hari bertemu dengannya, aku tahu dia punya banyak urusan. Dia tidak pernah kelihatan tenang, meneteng tasnya, bergerak ke sana-sini. Setauku, hari ini aku belum masuk kelas. Tidak sabar rasanya menunggu, berjumpa langsung dengan kawan-kawan kecil ini.
Sesekali aku takjub, melihat lalu lalang anak-anak. Mereka lucu-lucu…menggemaskan, pokoknya. Iyyalah..aku sedang berada di ruko 1, tempat anak kelas Satu, Dua dan tiga,  
“tidak pakai seragam ya?” tanyaku pada pustakawati di depanku melihat anak-anak memakai baju biasa, cowo-cowonya memakai baju koko dan perempuannya memakai baju muslim lengkap.
“Tiap rabu dan kamis, mereka bebas berpakain apa saja.” Terangnya singkat. Wow…lagi aku takjub mendengarnya. Satu lagi pahaman tentang sekolah diruntuhkan. Seragam. Sembari menunggu kepala sekolah, kugali pengetahuan awalku tentang sekolah ini. Bu Oda, pustakawati ini juga kelihatan tidak lelah menjawab pertanyaanku. Ia bercerita banyak tentang betapa santainya anak-anak belajar, ada hari tanpa seragam, Satu kelas, tidak lebih dari 20 siswa, dan ini mempermudah proses belajar mengajar, ada buletin 2 kali sebulan karya anak-anak, semua tenaga pengajarnya anak muda,  dan ada pelajaran keren yang akhirnya menjadi mata pelajaran yang kupegang, WRITING. Tidak ada di sekolah manapun, sepanjang pengetahuanku.
Keren betul sekolah ini, pagi ini… aku tidak berhenti berdecak kagum atas apa yang baru kulihat. Seolah semua yang ada di kepalaku tentang sebuah sekolah telah ada di depanku. Aku terlibat di dalamnya.
Kulirik jam di dinding perpustakaan, hampir dua jam aku menuggu dan yang ditunggu tak juga datang. Tapi, untuk kali pertama penantianku tak berbuah kebosanan. Aku dikelilingi buku-buku yang keren…
“ Bun Nita…silahkan masuk!’ kata seorang staf pegawai dari dalam kantor kepala sekolah. Aku tersenyum, ternyata si pimpinan sudah ada di sana. Ia mulai percakapan dengan memberitahu, kenapa aku di terima dan apa yang ia harapkan dariku sebagai salah seorang tenaga pengajarnya.
“sangat ideal” pikirku. Ceramahnya yang cukup panjang, sesekali kutimpali dengan anggukan, senyuman, atau kata ya…
“kalau begitu…selamat bergabung di Sekolah Islam Terpadu Al Biruni” katanya sembari menjabat tanganku.
“besok, bu Nita akan masuk kelas didampingi PaK Gegge..” tanpa menunggu lama, aku permisi pulang. Kususuri tangga menuju lantai dasar. Kudengar seseorang berteriak
“ Gozi…bulan ini membayar ya…kasi tau ayahnya, kalo besok dah harus membayar.” Dari tangga atas aku liat anak yang dipanggil gozi berbalik. Tubuhnya gendut..lucu, pipinya tembem
“berapa bu…?” tanyanya lugu
“lho…sama dengan bulan lalu… 550 ribu khan?” deg. Aku tersentak. Aku tidak salah dengar bukan? 55o ribu, lebih banyak dari uang bulanan yang dikirimkan ibu, tiba-tiba semua pemahaman awalku dua hari terakhir tentang sekolah ini berkoneksi cepat. Ruko, gedung yang bagus, perpustakaan, buku-buku yang keren, media belajar, ya…semua itu bukan barang murah.
Pelan, kulangkahkan kakiku keluar pagar sekolah
“ don’t judge a book from it’s cover” tiba-tiba kalimat seorang kawan bernyanyi di telingaku. Yah…aku terlalu cepat takjub akan semua yang kulihat. Tiba-tiba aku gundah. Aku lupa, pendidikan sering kali dijadikan bisnis. Mugkinkah sekolah ini juga? Lalu, kukibaskan semua ketakutanku yang tiba-tiba muncul satu demi satu. Aku tidak ingin menilainya terlalu pagi. Yang aku tahu….aku telah berada di sini.
Kembali setelah sekian tahun sebagai murid dan berdiri di sini untuk tidak menjadikan pengalaman pahit sebagian anak-anak tentang sekolah terjadi pada anak-anak yang kuhadapi, minimal tidak dariku. Di sinilah, sekolah pertama yang akan mengajariku bergumul dengan anak-anak, membumikan semua pengetahuan yang kupahami tentang konsep pendidikan.  Bukan hanya yang sering kuteriakkan di jalanan lewat puisi-pusiku. Di sinilah aku, berushaa mewujudkan mimpiku sebagai seorang guru sebagai bentuk kontribusiku untuk generasi mendatang, generasi yang akan membawa dunia ini menjadi lebih baik atau lebih buruk.
Tapi dibalik semua ini, aku hampir lupa satu hal. Bahwa sekolah ini adalah ruko yang telah disulap sedemikian rupa. Dan tetap saja, ia akan kembali pada khittahnya, “jual beli”. Sebuah ancaman besar bagi kelanjutan dunia pendidikan, khususnya bagi mereka yang tidak berpunya.
Pete-pete melaju kencang, dan aku masih bergumul dengan banyak pengandaian….

Februari 2007
#semoga pilihan ini..tepat

Komentar

Postingan Populer