Al Markaz : Mimpi Untuk Sebuah Sekolah

Ada satu hal yang selalu kuat mengikat aku dan komrad. Mimpi. Kami punya mimpi yang sama, mimpi- besar, dan mungkin tidak akan terwujud jika kami tidak saling bergandengan.
“ kami ingin membuat sekolah.” Begitulah aku dan komrad menuangkan salah satu mimpi kami. Kami sedang berjalan meraih mimpi itu. Dan aku sedang singgah sebentar di sini, berehat sejenak sekaligus menggali ilmu.
Jam pelajaran terakhir untuk mata pelajaranku, Writing, selalu ditungggu semua murid, bahkan olehku. Jam terakhir, selalu menjadi bagian paling bersemangat sejak dulu saat aku masih duduk di bangkus SMP hingga kini, setelah aku mengajar anak SMP. Kali ini jam terkhirku di kelas 5. Bel berbunyi panjang, dan aku menuju gedung sebelah. Hanya ada 9 orang di kelas ini, 5 laki-laki dan 4 perempuan. Semua anak ini, mencintai mata pelajaran WRITING. Mereka  punya kisah tersendiri bersamaku sekaligus bersama proses pembelajaran yang kami lewatkan bersama. Kelas ini, adalah kelas yang paling cocok denganku. Mereka bukannya tidak nakal, tapi kenakalan mereka kugolongkan sangat asyik, dan tidak pernah berakhir dalam kejengkelan malah sebaliknya kenakalan mereka selalu berbuah tawa di sela-sela proses belajar kami.
Di kelas ini ada Kiki. Si cerewet yang cerdas, sok dewasa, dan peraih medali emas tiap semester. Dia senang bercerita, beberapa kali, kami pulang bersama.  Lalu Nisa, pemegang medali perunggu, yang selalu berpenampilan lebih tua dari umurnya. Si Mira, gadis cantik..manja, postur wajahnya gabungan antara turunan Arab dan Latin, sangat ayu dan sedap dipandang mata, dia selalu jadi bulan-bulanan temannya karena tidak mampu menahan air mata.
“sedikit-sedikit tersinggung…” begitu kata teman-temannya. Ketiga perempuan di kelas ini punya kwalitas cerewet yang sama. Bahkan melebihi porsinya. Perempuan terakhir, namanya Inti.., dia tomboy, dan penghubung antara geng permpuan dan geng laki-laki yang sama sekali tidak pernah akur. Geng laki-laki ini, dipimpin oleh si Gun, sekaligus ketua kelas, kehidupan sehari-harinya dipenuhi dengan dramatisasi, kata yang keluar dari bibirnya selalu dibuat puitis, dia bersaing ketat dengan Nisa meraih medali perunggu. Ada Kifli, yang otaknya sangat encer se mudah keluar kata dari mulutnya. Tubuhnya yang gendut, tidak menjadi penghalang geraknya yang suka usil, bersama partnernya si Muhammad. Ammar, lebih sering bermain sendiri, dan paling sering menjadi tokoh antagonis dibalik tangisan Mira. Yang terakhir Hasman, dialah anak yang paling jarang kuajak bicara. Karena setiap mengikuti pelajaranku di dalam kelas, ia hanya tertidur. Sungguh, ia tertidur. Pulas.
Dan, si Hasman menjadi alasan utamaku kenapa kelas ini sering belajar di luar sekolah. Sore ini tidak ada agenda mengajak mereka belajar di luar, tapi mereka ternyata sudah menunggu di depan pintu. Meneteng pulpen dan buku mereka.
“ Di Al Markaz, K Nita.” Kata mereka semua merengek. Aku tidak bisa menolak. Aku mengangguk dan mereka semua berlari.
“Hati..hati..” teiakku menyusul langkah mereka.
Al Markaz Al Islami, sebuah mesjid besar di tengah kota Makassar. Hanya beberapa meter jaraknya dengan salah satu mesjid tertua, Mesjid Raya Makassar. Dua tempat ini, adalah tempat yang paling sering kami kunjungi saat belajar. Apalagi di jam terakhir. Hanya untuk kelas 5 ke atas. Dengan persepsi bahwa mereka tidak perlu lagi dituntun saat berjalan di jalan raya.  Aku berjalan mengawasi mereka yang sedang berlari menuju “sekolah mereka yang sesungguhnya”. Aku menyusuri lapangan yang lumayan besar, melewati kumpulan anak yang sedang bermain bola. Sore begini, angin Makassar sangat bersahabat.
Dan, inilah salah satu yang membuatku betah di sekolah ini. Belajar di luar, di pekarangan mesjid yang luas, dipenuhi pepohonan, rumput hijau, dinaungi langit biru, tanpa dinding, tanpa papan tulis, mereka belajar, mereka saling mengejar, saling mengganggu. Tapi mereka belajar.
Seperti biasa, pelajaran dimulai dengan aku duduk di tengah mereka yang sedang membuat lingkaran. Dimulai dengan doa sebagai ungkapan syukur kami, kutambah dengan sedikit relaksasi sebagai bentuk penyatuan  kami terhadap alam.
“Tulisan adalah prasasti sejarah yang akan kalian lihat di masa depan sebagai perjalanan yang jujur, yang tidak hanya menguak kisah dalam tulisan itu…tapi, akan membawa kita pada masa saat kita menulis, tulisan itu. Misalnya, kalian membuat tulisan hari ini. Mungkin tahun depan, kalian tiba-tiba membersihkan tumpukan buku, lalu mendapatkan tulisan kalian. Yang kalian ingat,  adalah..oo…saya menulisnya dengan K Nita, di Al Markaz, saat itu si Hasman disuruh berlari 3 kali mengelilingi pohon besar, untuk menghilangkan kantuknya, dan kalian akan mengingat semua momen sebelum, saat, dan setelah kalian membuat tulisan itu. Keren bukan?” Kataku membuka kelas dengan bersemangat.
“Menulis adalah menggali insprasi dari apa yang pernah, sedang atau akan kita lihat.” tambahku
“Inspirasi itu, yang tiba-tiba muncul ya K'?” Misalnya ketika aku melihat langit, aku punya ide menulis puisi tentang langit.” Kata Gunawan. Sang ketua kelas yang selalu ingin tampak lebih dewasa dibanding dengan temannya yang lain.
“Yap…begitulah inspirasi. Biasanya dia muncul tiba-tiba, secara alami. Namun, kadang kita perlu menciptakan suasana agar inspirasi itu datang. Seperti sekarang. Hari ini, kalian bebas menulis apa saja. Puisi, cerita, atau apa saja yang menurut kalian bisa rampung dalam waktu 40 menit. Bagaimana? Bisa?” kataku pada mereka.
Semua mengangguk dan siap-siap mengambil ancang-ancang untuk lari dan mencari tempat favoroiit mereka. Aku memilih duduk di bawah satu pohon yang rindang, di samping tangga utama mesjid megah ini, dan bisa melihat ke seluruh sudut, dan tetap bisa memantau ke sembilan anak itu. Saat seperti itu, jariku juga tak bisa berhenti bergerak. Seolah ribuan puisi mengalir di depanku, bersama angin dan suara kendaraan yang lalu lalang di jalan raya.
Inilah sekolah yang kami impikan. Sekolah yang membebasan manusia dari sebuah tembok dan dinding besar, pagar yang tinggi, aturan meja dan kursi yang sama setiap tahunnya, bukan sekolah yang menyeragamkan pikiran seperti mereka menyeragamkan pakaian. Dan menurut pantauankau, sekitar hampir dua bulan ini, khusus untuk pelajaranku, hampir semua anak lebih menunjukkan kwalitas yang bagus jika belajar di ruang terbuka seperi ini. Bahkan kemarin, saat kuajak anak kelas 7, belajar di Mesjid Raya, mereka bisa melanjutkan proyek semesteran mereka hingga 3 lembar dalam waktu 40 menit. Padahal, Mesjid Raya tidak punya halaman seluas Al Markaz, jadi kami tetap menulis di dalam mesjid. Dan hasilnya, hampir mencapai target maksimal. Artinya, anak memang kadang butuh suasana baru untuk menggali potensi dirinya lebih dalam, untuk melihat lebih luas, dan untuk “mencipta”.
Aku masih menggali banyak metode belajar sembari diterpa sejuknya angin. Sesekali kulihat mereka. Semua sedang asyik menulis. Di sini, kami pun khususnya aku seolah menari dengan waktu. Dia bergerak indah sesuai dengan irama langkahku. Tidak mencoba menggigit bahkan urung memperlihatkan giginya. Di sini, waktu seolah bersahabat, berjalan cepat dan kulirik jam, hampir jam 4.
Kuberi kode dan mereka semua berkumpul. Kami hanya butuh sekitar 20 menit, untuk bergiliran membaca karya mereka. Seperti biasa, karya mereka kukumpul dan akan dikemas ulang. Kami menutup kelas, dengan kembali berdoa. Mereka pulang berlarian, para lelaki, sebentar-sebentar singgah mencari belalang dirumput lapangan samping Al Markaz, 4 perempuan selebihnya, biasanya berjalan di sampingku sembari memegang tanganku dan mereka bercerita tentang hidupnya, tentang temannya, tentang apa yang mereka sukai dan tidak sukai, mereka bicara tentang apa saja. Momen yang semakin hari semakin mendekatkanku dengan anak-anak itu, secara pribadi. Sesampai di sekolah, biasanya halaman sudah penuh, berdesak-desakan dengan semua siswa yang menunggu jemputan sembari bermain. Tidak heran, antara jam 7-jam 4, inilah waktu yang paling membahagiakan untuk mereka, menurutku.
Dan, aku pun menuju pulang. Dengan semangat besar, kubawakan komrad  hadiah lagi hari ini, sebuah pelajaran yang akan kami gunakan untuk membangun mimpi kami.
Selamat tinggal jam 4. Besok, kuharap kamu secerah siang tadi….

April 2007
“this is how our dream, manifested!

Komentar

Postingan Populer