….”aku benci ibu nita”…

Pukul 2 lewat 10 menit. Sebentar lagi bel berbunyi, menuju jam pelajaran terakhir. Aku menatap menit demi menit, buku yang tadi kubaca kubiarkan tergeletak pasrah di tanganku sembari pikirku sedang mengembara entah ke mana. Aku menarik nafas.
“ apa lagi hari ini?” kataku pada diri sendiri sembari mempersiapkan bahanku untuk menuju kelas Usman Bin Affan. Kelas 3. Mereka adalah kelas yang berat kutangani untuk mata pelajaranku sekaligus untukku pribadi. Seminggu, dua kali aku bertemu mereka dengan durasi sejam lebih 30 menit.
Dalam perkembangan menulis, mereka tergolong lambat di banding kelas 2, kelas Umar Bin Khatab. Hanya ada satu orang yang selalu sibuk dan siap menulis di kelas ini, hanya Nilma, si juara kelas. dan yang lain, mereka setahuku tidak datang untuk belajar. Mereka datang untuk bersaing, selanjutnya saling beradu mulut, lalu bertengkar.
Awlnya, aku berpikir hanya aku yang mengalami masa-masa berat di kelas ini, tapi ternyata tidak. Hampir semua guru bidang studi, mengeluh atas pola belajar mereka. Kelas ini sangat kompleks, dan sumber masalah adalah siswa permpuannya. Hampir semua.  Tapi, di luar kelas, aku sangat akrab dengan mereka.
 Aku berjalan menyusuri tangga, membawa worksheet mereka. Untuk writing, mereka punya proyek menulis cerpen. Waktunya hanya dua bulan. Aku menyusuri anak tangga dengan lambat.
Kuingat pertemuan sebelumnya, saat aku masuk kelas, kursi-kursi sudah berantakan, mereka sedang bermain apa, aku tidak tahu. Setauku, Putri sedang menangis. Dua menit kubiarkan mereka, dan sadar aku sudah ada di depan papan tulis, mereka duduk tertib. Tepatnya mencoba untuk tertib. Tapi, masalah baru datang, mereka berlomba-lomba memperbaiki letak kusinya hingga mengenai beberapa temanya. Belum sempat,aku menanyai Putri yangsedang menangis, tambah lagi dua orang yang menangis karena terkena kursi. Kumencoba menjadi solusi atas tangisan dua anak perempuan ini, Sofia dan Kiki. Kutangani Putri belakangan, yang katanya menangis karena Dzaki, teman kelasnya yang menyebutnya seksi. Saat kutanya Dzaki,
“Karena kemarin, kulihat dia ke mall, bu. Tidak pakai jilbab, pakai baju you can see. HARAM” Katanya berapi-api dengan menekan kata haram di belakang kalimatnya. Putri mengangguk saat kutanya kebenarannya. Saat itu, kujelaskan sebisaku. Rasanya sulit mendefinisikan kata seksi untuk mereka yang baru berumur 8 tahun, dan telah lama dicekoki dengan ajaran agama yang tidak menyeluruh. Aku juga betul-betul enggan memberitahu Putri untuk selalu mengenakan jilbab, karena aku juga belum mampu melakukannya. Saat itu, aku hanya mencoba seimbang antara Putri dan Zaki, lalu kuanggap selesai. Mereka kuberikan sedikit penjelasan dan menulis lagi. Biasanya, aku akan menghabiskan 10-20 menit pertamaku mengurusi masalah pribadi mereka, hampir setiap pertemuan, selalu saja ada yang menangis.
Dan sekarang, mereka berlarian saat melihatku menuju kelasnya. Selain karena hari ini, aku cukup lelah karena mengajar 8 jam pelajaran, aku sedang terjangkiti malas untuk mengurusi hal-hal yang sering kali diributkan anak-anak ini. Kubuka pintu kelas, berharap aku bisa langsung duduk dan menikmati jam terakhirku dengan rehat sejenak, tapi….
“Bu Nita.. Bu Nita, masa Ningsih bilang kalau gigi saya jelek, hitam “ kata Nakhda sambil berlari memelukku sembari menangis. Aku mengelus dadaku. Tepat sekali perkiraanku. Aku belum sepat bertanya kutengok ujung kelas, tempat Ningsih selalu menghabiskan waktunya. Jika temannya duduk berjejer membentuk U di dalam kelas, dia lebih suka keluar barisan dan duduk di ujung kelas sendiri dekat perpustakaan kelasnya. Dan, tidak satupun guru yang komplain dengan keputusannya itu. Aku pun tidak, apalagi dia punya kemampuan menulis yang sangat beasr disbanding temannya. Dia sedang menelungkupkan kepalanya di meja. Dia sedang menangis. Juga.
Ia berjalan gontai saat kupanggil ke depan. Matanya dipenuhi air mata. Dan aku membuat kesalahan, tanpa bertanya dulu, aku menyuruh mereka saling minta maaf, dan menyuruh Ningih mengulurkan tangannya. Entah, karena pengaruh lelah mungkin. Aku hanya malas membahas ini seperti biasa, aku hanya ingin duduk, menjelaskan sedikit dan membiarkan mereka menulis.
Ningsih menatapku dengan ujung matanya, ia menatap dengan benci. Aku tersentak, tiba-tiba lelahku raib demi melihat seorang gadis kecil sedang menyuluh api kebencian padaku. Kulihat Nakhda, ia berjalan dengan senyuman puas.
“I make a mistake..”kataku dalam hati. Aku berpikir sejenak sembari menikmati kelas yang mulai tenang, kubagi worksheetnya dan bercerita sedikit tentang perolehan juga kekurangan yang kudapati dalam tulisan mereka. Sesekali kulihat Ningsih, ia masih terdiam membungkam diri. Kutahu ia sedang tidak senang, aku mengenalnya sebagai perempuan kecil cerewet, cerdas, tahu banyak hal, berani, tapi pemarah. Saingannya di kelas, si Putri dan Nakhda. Biasanya, jika ia sedang senang, dia akan menimpali sedikit demi sedikit ceritaku. Tentang apa yang ia tahu. Ia begitu optimis.
Kubagikan worksheet dan menyuruh mereka melanjukan tulisan. Dan setelah kubagikan worksheet, mereka biasanya akan kembali ribut. Aku sudah terbiasa dengan suasana itu. Tapi, kulihat Ningsih tidak meninggalkan tempatnya. Nakhda sudah mulai merocoki beberapa temanya lagi dan membuatku berteriak. Kubuyarkan pikiranku tentang Ningsih saat kulihat ia mulai menulis, walau matanya masih berlinang air mata. Kupilih untuk tidak menggubrisnya.
Hampir sejam berlalu, pertanyaan demi pertanyaan anak-anak kujawab. Tapi, inilah kali pertama tak kudengar Ningsih berceloteh. Dia punya bahasa verbal yang lumayan dewasa untuk anak seusianya. Dia sedang sibuk menulis, pikirku. 10 menit sisa kugunakan untuk bernyanyi bersama mereka, dan Ningsih masih meringkuk di kursinya tidak bergerak. Daus kuminta mengumpulkan tulisan teman-temannya. Setelah kuperiksa satu-satu, aku terdiam.
“AKU BENCI UBU NITA” hanya itu yang ditulis Ningsih di kertasya berulang-ulang hingga penuh dengan huruf kapital. Aku melihatnya, dan ia masih menunduk. Hampir pukul 4 dan kudengar bel sudah berbunyi. Aku keluar dan anak-anak berlari menuju Mushalla di lantai 4. Aku turun ke bawah dengan penuh rasa bersalah. Kutahu, aku salah menangani masalah tadi. Aku berpikir sembari menyusun pekerjaan mereka. Tidak pernah ada orang yang jujur sejujur Ningsih mengutarakn kebenciannya padaku. Setelah shalat, kulihat anak-anak mulai berlarian menuju pulang. Kulihat Ningsih masih gontai, dan kupanggil ia. Dia berjalan ke arahku. Kucoba menjadi bijak, dengan senyum aku bertanya.
“Ningsih, benci ama ibu nita?” kataku langsung. Ia tidak menjawab.
“Kenapa?”
“Karena bukan saya yang salah, Bu. Saya bilang begitu karena Nakhda bilangika dattelu, kecil” katanya berapi-api. Aku menahan tawa mendengar Ningsih yang mengungkapkan perlakuan tidak adil yang ia terima dengan suara bergetar. Bukan itu yang membuatku ketawa. Karena tekanan pada kata dattelu yang baearti pendek dan kecil, yang memang menggambarkan tubuhnya. Tapi aku lebih memilih kata mungil.
“ Harusnya ibu tanya dulu, Nakhda yang mulai, kenapa saya yang salah?” katanya lagi.
“ Ia, kalau begitu, Ibu minta maaf, harusnya saya tanya dulu. Tapi, saya suruh minta maf bukan karena Ibu menganggap kamu salah, tapi siapapun yang meminta maaf pada saudaranya dialah yang lebih berjiwa besar. Lagi pula, menghina orang secara fisik itu tidak baik,” kataku seolah menasehati diri sendiri.
“Jadi, Ningsih masih benci sama Ibu? Tanyaku lagi. Ia menggeleng. Kuulurkan tanganku dan meminta maaf sekali lagi atas perlakukanku yang tidak adil padanya. Ia tersenyum kecil dan berlari.
Saat berjalan pulang, melewati kelas Abu Bakar, kulihat ia sedang bercerita pada beberapa temannya termasuk Nakhda. Sedikit-sedikit kudengar, ia menceritakan tentang kisahku tadi dengannya. Ia dengan bangga bercerita bahwa Bu Nita meminta maaf padanya. Aku tersenyum meninggalkan sekolah. Aku bangga, aku mengajarkan sesuatu pada seorang gadis kecil hari ini yang akan ia ingat di masa depan. Bahwa gurunya adalah manusia juga, kubangan salah dan dosa, yang harus bisa meminta maaf bahkan pada muridnya...

April 2007
#thanks Ningsih…

Komentar

Postingan Populer