untuk bapakku...

Untuk bapak yang tak mampu kutemui jalan pikirannya. Kami buntu tak bertemu jalan
Tak ada yang mampu kubaca dan kupahami. Semakin tua usianya, harapku ia semakin bijak melihat dunia. Tapi, tidak. Bapak semakin “pincang” berjalan. Salah ia menilai, salah ia melihat, salah ia berpendapat.  
Untuk bapak yang tak mampu kutebak segala resahnya. Bukankah aku anak yang sama yang pernah saat kecil dulu kau sisir rambutnya dan sesekali menyekanya, melihat apakah tidak lagi ada kutu di sana. Bukankah aku anak yang sama, yang pernah kau gendong saat aku terlelap karena tontonan tivi yang melenakan. Aku anak yang sama yang pernah beradu canda, tawa bersamamu.
Ada apa di sana? Di balik tubuh yang mulai renta dan tidak lagi sekuat dulu. Aku temukan dirimu kehilangan kepercayaan. Aku temukan penyesalan atas kemampuanmu yang tak mampu menemukan aktivitas yng cocok untuk. Aku temukan dirimu hilang semakin lama semakin hilang dalam hari-hari yang menggerogotimu tanpa kesibukan.
Aku kecewa, aku gagal membuatmu bangga akan dirimu yang telah membuat aku jadi seperti ini. aku gagal membuatmu merasa bahagia akan dirimu yang telah membuatku sebahagia hari ini. Aku gagal membuatmu percaya bahwa dalam setiap tawa kami, dalam setiap bahagia, dalam setiap suka, bahkan dalam  setiap rupiah yang aku dapatkan, ada dirimu di sana.  
Bapak mungkin lupa, dirimulah yang membuat aku, kami anak-anakmu seperti hari ini. Bapak mungkin lupa, bahwa masa mudamu telah habis hanya untuk kami. Bapak mungkin lupa, tapi kami tidak. Aku tidak.
Lalu kenapa harus menghabiskan masa tuamu dengan penyesalan? Santailah sejenak, pak! Habiskan kerutan di keningmu. Tersenyumlah menyambut masa tuamu yang bahagia bersama cucu-cucumu. Apa lagi yang kurang? Toh kami tidak lagi menuntutmu apa-apa. Ibu, kami anak-anakmu telah cukup menghabiskan keringatmu. Harusnya kau nikmati investasi besar dalam hidupmu hari ini. Hentikan segala resahmu, jangan pikirkan kata mereka. Kami lebih tahu apa yang telah kau lakukan untuk kami.
Bangunlah dan tersenyumlah pada dunia….kami bahagia, kami bangga memilikimu…tak pernah sebangga ini…
Berbahagialah, pak! dengan begitu, lengkaplah kebahagian kami.


_Ibunya Mahatma_
“Setelah semalam kami saling melengkingkan suara”
9 Juli 2011

Komentar

Postingan Populer