…”kami mau P Gegge”…

Sebagai seorang penulis sekaligus ketua Forum Lingkar Pena Makassar priode itu, harusnya namanya sudah kukenal. Tapi, tidak. Buku produk lokal, memang selalu lebih sulit ditemukan di toko buku mainstream. Ia hanya terdistribusi di kalangan terbatas. Dua buku yang sudah ditelurkan S. Gegge Mappengewa, sama sekali belum pernah kubaca. Atau mungkin karena selama ini, aku jarang melirik tulisan, novel, cerpen yang berbau Islami. Jangan salah, bukannya aku tidak suka, buktinya hampir semua kara Helvi Tiana Rosa kulahap habis, entahlah….
Pagi itu, hari ke tiga setelah aku dinyatakan diterima di sekolah ini. sebagai guru. Masih dengan celana panjang, kemeja dan jilbab seadanya, tampilan paling rapi menurutku yang nantinya harus terganti rok dan jilbab yang agak besar, aku menemuninya. Dia sedang membenahi beberapa kertas di loker besi yang kuintip tertulis namanya di situ. Gegge.
“Hari ini, saya akan memperkenalkan ibu ke beberapa kelas. ada  3 kelas hari ini.” katanya, masih menyusun beberapa kertas yang dia keluarkan dari amplop paket besar berwarna coklat. Tanpa menatapku, ia menyatakan kalau sebenarnya ia ingin sekali menemaniku memulai kelas pertamaku di semua kelas, sekaligus pamitan. tapi, waktunya tidak cukup.
“Saya harus pergi besok.” Katanya menambahkan. Aku terhanyut mendengar penjelasnnya yang tenang dan pelan. Kutahu ia sedih. Tapi, setahuku, ia tidak dipecat, tapi mengundurkan diri. Lalu apa yang membuatnya sedih?
Ia bercerita banyak tentang mata pelajaran yang sebentar lagi kuambil alih dari tangannya. Ia memberiku tumpukan kertas sebagai symbol, kalau mulai hari itu, aku yang memegang kendali atas mata pelajarannya. Dan ia memberiku sebuah binder.
Masih, sambil mendengarkan ceritanya, kami menyusuri tangga menuju lantai tiga. Kelas Usman Bin Affan terbuka.
Kami masuk. Hampir semua mukanya heran. Tubuh-tubuh kecil ini tidak berhenti saling bertanya. Pa Gegge mengajar seperi biasa, ia bungkam atas pertanyaan anak-anak tentang saya. Hampir dua jam pelajaran, kami menuju kelas Umar bin Khatab. Dan sama, Pa Gegge mengajar dan hanya terdiam saat anak-anak menanyakan saya. Tiga kelas kami jelajahi dan ia memperlihatkanku bagaimana mata pelajaran ini dijalankan, sekaligus memberitahuku bahwa ia bukan guru biasa. Aku menggantikan seorang guru Writing, mata pelajaran favorit di sekolah ini, sekaligus guru yang disenangi hampir semua siswa di sini. Dan aku???

Hari ini, kamis. Jam pertama 07.15
Hari pertamaku mengajar. Penampilanku telah berubah. Calana telah berganti rok, kelihatan sedikit kumal, warnanya telah berubah warna menuju lebih muda atau tepatnya lebih usang. Aku tidak menyentuhnya sejak setelah ospek, tiga tahun lalu. Kelas pertama yang kuhadapi Abu Bakar Assidiq, di sekolah biasa mereka siswa kelas 1 SD. Kumenarik nafas, menenangkan hati, bersiap atas semuanya.

“Assalamua alaikum…” kataku sambari berdiri di depan pintu. Kusapu pandanganku ke seluruh kelas. kulihat hampir 20 siswa. Aku melangkah pasti. Di tengah-tengah kelas, aku berhenti. Kurasakan pertanyaan siap menghujankiku.
“Bu, sekarang belajar Writing, Writing Bu… kata salah seorang anak. Dan yang lain menimpali. Kubiarkan mereka mengeluarkan semuanya. Kudengar bersahut-sahutan
“guru apa? ih…P Gegge sekarang, writing toh?’
Aku menulis namaku di kelas dan perlahan-lahan mereka terdiam, memperhatikan tulisanku. Beberapa membaca dengan lancar dan yang lain mengeja.
“ N ITA” teriak mereka bersamaaan.
“yap…, nama ibu, Bu NITA. Ibu di sini, mengajar Writing, mengganti P Gegge,.” Belum kalimatku smpai. Mereka sudah berteriak, bertanya, bergemuruh seperti dengungan lebah yang madunya coba diganggu. Bu Inna, wali kelasnya mencoba menenagkan. Saya juga coba menenangkan, kuberikan sinyal tepuk tangan, berteriak halo, tapi tetap saja, tingkahku membuat mereka tidak terarah. Semakin lama, dengungannya semakin ribut, dan puncaknya, semua siswa perempuan menangis. Mereka menyebut-nyebut nama P Gegge.
“kami mau Pak Gegge, kami mau Pak Gegge…, dia guru kami, guru Writing” dan tangisan anak-anak perempuan yang lucu itu, menjalar ke beberapa anak laki-laki. Maka jadiah kelas pertamaku, diisi dengan membujuk mereka yang menangis.  Semakin lama, mereka menyebut anma P Gegge, semakin aku merasa tersisih..dan hari pertamaku terasa berat
Kelas Abu baker kutinggalkan, kutarik nafasku dalm-dalam, kuteguk segelas air.
“Bu…minumnya sambil duduk.” Kata seorang anak usia 10-11 tahun, kelas 6 SD menurutku, sambil melihatku dengan tatapan aneh. Namun, aku nurut saja. Aku duduk dan kuhabiskan air putihku.
“ Aku tidak tahu berada di mana ”

Sesuai jadwal, hari ini aku ada 4 kelas.  Aku menuju ke kelas yang paling besar. Kelas VIII, kelas dua SMP. Kali ini apa? aku tidak bisa menebak. Tiba-tiiba pekerjaan ini terasa berat, mengingat P Ggge adalah idola mereka. Akrab, dan dekat dengan mereka. Siswa kelas delapan berlarian, setelah tahu, kalau aku akan menuju kelas mereka. Sembilan orang.
“Penggantinya P Gegge ya bu?” Tanya seorang siswa laki-laki sebelum sempat menjawab salamku. Aku mengangguk. Dan berjalan, menuju ke meja guru di depan kelas. Dengan senyum, kumulai perkenalan. Semuanya, masih diam, kaku, dan melihatku seperti makhluk dari planet lain. Minimal mereka tidak menangis
“ibu, sudah punya buku?” kata seorang perempuan dengan tatapan sinis. Kulirik tangannya yang sedang memegang buku karya P Gegge,aku tersenyum.
“ belum. Kenapa?”
“ Pa Gegge sudah punya dan sebentar lagi, buku keduanya akan terbit.” kata teman laki-lakinya pada temannya yang sebenarnya ia tujukan padaku.
Kucoba cairkan suasana, menurutku mereka lebih gampang ditarik minatnya mengingat usianya yang sudah beranjak remaja. Dan aku paham betul apa yang mereka suka dan mereka tidak suka, dan berhasil. Pertemuan itu, kuawali dengan cerita tentang aku saat seusia mereka. Kelas yang tadinya beku perlahan mencair. Kunikmati suasana yang mulai kondusif sampai akhirnya waktunya selesai. Sebelum sesi perkenalan ini kuakhiri, aku mendekati seorang anak yang dari tadi duduk di sudut sambil menekuni bukunya. Ia tidak bergerak saat aku tepat di depannya. Kuintip buku di depannya. Aku tersentak, ia menulis.
“Aku tidak mau guru baru, aku mau p’ Gegge..”
Hariku cukup berat, kutatap jam dinding lekat-lekat saat tiba di ruang guru. Hari baru saja didatangi siang, jam 4 masih lama, dan aku berdiri sendiri di sini, terhimpit dengungan suara muridku tadi, yang tidak menginginkanku. Tapi, kalian akan lihat, apa yang bisa dilakukan oleh guru barumu ini, seorang sarjana HI yang kebetulan hanya suka menulis dan kebetulan mencatumkan pengalaman organisasi sebagai pemimpin redaksi Buletin Himpunannya, hingga ia ditunjuk untuk menggantikan guru tersayang kalian.
Dan suatu saat, kalian juga akan menangis untukku…

February 2007
#pertemuan pertama dengan kalian….


baca kisah sebelumnya di  http://bapakmaha.blogspot.com/2011/07/dont-judge-book-by-its-cover.html

Komentar

Postingan Populer