…janjiku untuk 2 angka itu…

Aku masih berkubang tanda tanya. Dan aku tidak bisa keluar, atau lari memutuskan sebuah jawaban, saat kudapati, ayah dan ibu tersenyum bangga melihatku lulus dengan nilai summa cumlaude, dengan masa studi yang tidak lebih dari 4 tahun. Jangan salah, aku bukan mahasiswa bureng  yang datang paling pagi, lalu duduk di depan, dan takjub medengar petuah dosen yang lebih banyak omong kosongnya. Bahkan sebaliknya, hampir semua teman perempuan seangkatanku angkat tangan menasehatiku untuk lebih giat kuliah. Aku memang rajin, rajin nitip absen. Entahlah…kira-kira ini adalah keberuntunganku, sekaligus kritik pedas terhadap sistem pendidikan tinggi, banyak celah di mana-mana yang akhirnya bisa diakali oleh mahasiswa sepertiku. Bukan karena tidak mnecintai kampus, aku pergi secepat itu. Toh tempat inilah yang mengajariku kehidupan yang sesungguhnya. Menemukan rute yang harus kutempuh selanjutnya.

Dan sekarang, aku berada di rute ini. Kubangan tanda tanya itu masih menggerogotiku seperti lumpur hidup yang akan menarikku ke dalam, saat setelah beberapa hari kulaui hari-hari sebagai kelas pekerja. Apapun bentuknya, aku adalah kelas pekerja sekarang. Berada di bawah sebuah sistem kerja, punya majikan, yang punya hak atas hidupku. Dan inilah yang membuat ribuan tanda tanya mengepungku hari demi hari. Apalagi sangat sulit aku beralih dari zona nyaman “mahasiswa”. Betulkah pilihan ini yang kuinginkan? Atau aku hanya terlalu takut disebut pengangguran? Atau aku mengikuti tuntutan zaman yang begitu hegemonic dalam kepala setiap orang? Pilihan siapa semua ini? Pilihankukah? Dan tanya-tanya lainnya tak berhenti mengejarku setiap hari.

Setelah memasuki dunia kerja, hidup terasabegitu singkat. Aku terus berlari dan ironinya, aku tidak tahu apa yang sedang kukejar. Tapi, pastinya, setiap pagi aku bangun, keget, lalu tergesa, demi melihat jarum jam mendekati angka 7. Tidak ada lagi pagi yang nikmat saat aku bercumbu dengan bantal, dan mengabaikan semua hal yang penting, lalu terlelap lagi hingga mentari sudah congkak berdiri di atas kepalaku. Tidak ada lagi pagi itu. Dan saat siang datang, aku lelah menunggu hingga jarum menunjuk angka 4. Tapi, saat penantianku berujung bersamaan pula dengan habisnya semua tenagaku. Aku pulang menyusuri sore bercampur penat dan lelah, berbaur dengan kelas pekerja lain di atas pete-pete, lalu tiba di kosan dengan mata yang ngantuk, dan badan yang merindukan rebah. Ya….Angka 7 dan 4, ia memenjarakanku dan mencuri hidupku.

Setelah kuiyakan diriku menjadi seorang guru Writing di sekolah ini, aku mulai terbelenggu dengan dua angka ini. Sekolah ini menjalankan sistem full day school. Anak-anak berada di sini dari jam 7 pagi hingga jam 4 sore Aku harus berada di sana, jam 7 pagi dan pulang jam 4 sore. Sepotong hariku habis di tempat ini. Hari-hari awal berkenalan dengan habitat kerjaku, aku mulai tahu, tempat ini seperti tempat penitipan plus-plus. Hampir semua siswa di sini, adalah mereka yang berpunya. Setiap pagi, deretan mobil mewah silih berganti memuntahkan anaknya di depan pintu gerbang sekolah, mereka disimpan di sekolah ini, dan dijemput kembali tepat saat ayah dan ibu mereka telah puas melahap dunia kerjanya, menjumpai putra putrinya yang lelah belajar, dijumpai dengan kelelahan akibat kerja pula. Tidakkah mereka terbelenggu juga? Atau hanya aku yang merasakannya? Atau karena sejak dulu hidupku begitu santai, sehingga aku lupa dengan dunia yang berderap kencang seperti ini?

“ nikmati saja dulu, kamu khan percobaan 3bulan, kalau tidak suka, kamu boleh cari kerjaan lain” kata ibu saat aku mulai mengeluh tentang semua ini. Aku tahu, ibu akan bilang begitu. Masalahnya, masih kuingat rentetan ceritanya tentang betapa irinya teman-teman mengajarnya di sekolah, karena ibu tidak perlu melihat anaknya menganggur. Bercerita betapa beruntungnya si Nita, setelah wisuda langsung dapat kerja. Bercerita tentang semua kebahagaiaan-kebahagiaan besarnya karena begitu bangga melihat anaknya yang ketiga ini telah punya pekerjaan sendiri. Dan aku tidak tega memutus semua kebahagiaan itu tiba-tiba, hanya karrena ketidakmampuanku takluk terhadap dua angka ini.

Begitulah maka kuputuskan untuk menjalani nasehat ibu. Kujalankan dengan sepenuh hati. Karena jika tidak, semuanya semakin sia-sia, bukan. Aku hanya berjanji…bahwa akan kutaklukkan dua angka ini. Dengan menjalankan peranku sebagai guru mereka, sebagai teman mereka. Dan kugapai hariku di sekolah ini hingga jam 4 sore lalu aku akan menuju rumah dengan semangat yang baru lagi, terus menulis, membaca, melumpuhkan malam dengan puisi, aku akan tetap berdiskusi, tetap berHIMAHI, sesekali ikut aksi, dan tetap menjadi diriku yang dulu.  
Aku berjanji untuk tetap keren…aku kelas pekerja yang tidak akan tergerus oleh dunia kerja, kuharap aku bisa….walau ini semua kelihatan sulit, tapi aku percaya. Tapi, aku tetap berikrar,,,jika satu hari, aku pulang dan mendapati diriku telah habis dalam dunia kerja atau suatu hari aku mendapati bahwa hakku sedang diinjak-injak oleh “majikanku” atau suatu hari kudapati diriku tidak lagi mampu terlibat dalam “hidup” yang sebenarnya…maka aku dengan berani akan pergi dan menanggalkan semua ini.


Maret 2007
# belum lagi gaji pertamaku kukantongi….

Komentar

Postingan Populer