…aku membunuh diriku..

Bunuh diri, menurutku tindakan paling pengecut di dunia, bentuk penyiksaan diri tingkat tinggi. Memaksa malaikat maut mencabut nyawamu dengan cara tidak terhormat. Adegan bunuh diri yang sering kita lihat lewat layar kaca, beragam. Membunuh diri dengan memotong nadi di tangannya. Membiarkan darah habis, membiarkan nyawanya terbang, menuju hidup yang lebih panjang. Ada juga yang meminum racun serangga, seperti yang dilakukan seorang temanku karena merasa harga dirinya hilang diambil oleh laki-laki lain yang memacari pacarnya. Ada juga yang menggantung diri, ini akan lebih sakit merasakan nafasmu tecekik tak bisa lewat, menabrakkan diri di kereta api, di bus, lompat dari jembatan, meluncur ke sungai, ke jurang atau apa saja untuk mengahabisi hiduppnya.
Dan akupun melakukannya hari ini. Aku telah menghabisi hidupku sendiri, dengan tanganku sendiri. Tanpa darah, tanpa rasa sakit, dan tanpa campur tangan Israil. Aku melakukannya perlahan, tapi pasti.
Harusnya, malam ini menjadi malam indah, karena untuk kali pertama dalam jumlah yang cukup besar, aku merasakan keringatku, peluhku, tepatnya kerja kerasku. Tapi…malam ini berubah menjadi kelabu. Yah harusnya bisa secerah pagi tadi, andai saja……
Yah…hari ini, kubuhkan tanda tanganku di atas materai yang tertera angka 6000 di atasnya, di atas kertas dua lembar yang penuh dengan aturan yang mengikatku secara hukum. Hari ini kugadaikan semua kebebasanku demi angka sekian ratus ribu dikantongku tiap bulan. Sebuah hasrat untuk memenuhi kehidupan mandiri lepas dari sokongan dana orang tua.
Aku berjalan linglung setelah Pak Arafah pergi dengan membawa berkas kontrak kerja yang kutanda tangani barusan. Ku meminta ijin untuk pulang lebih awal. Pete-pete kampus berhenti di depanku. Kosong. Aku melangkah naik.
“Betulkah keputusan ini? Bukankah aku melalui masa percobaan dengan berat. Yah, aku telah berada di sini hampir sebulan lebih. Masa adaptasi dan percobaan untukku. Yayasan menganggap, aku pantas untuk diperkajakan, dan hari ini aku menadatangani kontrakku yang sebenarnya. Tapi aku ingat betul yang kulalui sebulan ini, aku kewalahan menerjemahkan hidupku kembali. Aku keteran, aku diserang lelah hampir tiap hari setelah jam 4 datang. Dan setiap pulang, aku selalu bilang pada komrad
“ aku tidak ingin memperpanjang masa percobaan, aku ingin berhenti saja.” Begitu kataku. Tapi, untuk kali pertama dalam hidupku, aku tidak ngebet mewujudkan keinginanku. Dan untuk kali pertama pula, aku takut dengan keinginanku. Karena jika ingin, cukup mangkir tiga hari, sekolah itu pasti langsung memecatku. Tapi…, aku …takut!! Entah pada apa…
Perjalanan panjang menuju kampus, terasa begitu lambat di tengah suasana Makassar yang mulai ramai dipenuhi pete-pete dan puluhan motor. Aku menelpon mamaku di Bone sana. Seperti kemarin-kemarin, jawabannya sama
“Jalani saja! Kan cuma tiga bulan. Kalau tidak bisa, kontraknya nanti tidak usah dilanjutkan lagi. Lumayan, gajinya tinggi untuk ukuran guru. Di Bone mana ada?” katanya mencoba meyakinkankanku untuk tidak surut setelah kurasakan aku telah melewati simpang jalan, dan aku berbelok ke arah yang tidak kuinginkan. Harusnya aku tidak perlu salah belok, bukankah aku yang menyetir sendiri. Atau secara tidak sadar, sesuatu sedang menyetir hidupku??
“ Semuanya tergantung kamu, kamu toh yang kan menjalani. It’s about your life. Your choice.” kata komrad yang kumintai pendapat saat kuutarakan segala keresahanku. Kutahu ia yang paling mengerti keadaanku. Ironinya, saat ini kami adalah dua pengangguran yang sedang berjalan bersama, dan kami butuh uang untuk melanjutkan hidup kami yang mungkin tak akan disubsidi lagi oleh orang tua. Sebelumnya, keperluan kami bisa kami cukupkan lewat sablon menyablon kecil-kecilan ini, yang masih perlu kami pelajari lagi.
Sebenarnya, aku tidak akan merasa telalu berat, jika sekolah ini bisa memberikanku kelonggaran. Aku senang mengajar, aku senang anak-anaknya. Pintar dan semua menginspirasiku untuk terus belajar. Aku senang mata pelajaran yang kuajarkan WRITING. Sesuatu yang tidak pernah habis untuk dilakukan.
“Pak, bagaimana kalau akau datang, hanya pada jam pelajaranku saja.” Negosiasiku pada Pak Arafah , saat kami bicarakan tentang jam kerja.
“Oh, tidak bisa Bu. Sekolah ini full day. Ibu harus ada sekolah ini jam 7 dan pulang jam 4, seperti siswanya. Ini bukan tempat kursus.”
“Tapi, pak. Saya bisa jamin, kwalitas mengajar saya tidak akan berbeda jika saya ada di rumah, saat jam saya kosong. Toh saya bisa melakukan banyak hal.” Kataku membela diri.
“ Tapi, di sini ibu akan lebih konsentrasi pada mata pelajaran ibu. Dan itu yang kami inginkan” Katanya menutup pembicaraan. Aku menelan ludah. Saat itu, kontrak belum kutanda tangani. Aku geram dan ingin lari, karena aku mulai merasa, akhirnya aku berada di bawah tekanan sesorang. Bahwa ada sesorang yang menguasai sebagian diriku dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Harusnya, saat itu aku bisa pergi atas ketidaksetujuanku. Tapi, besoknya aku tetap datang jam 7 dan pulang jam 4. entah karena apa.
Dan hari ini, kuserahkan diriku sepenuhnya pada aturan-aturan yang tidak ingin kuikuti. Inikah tirani kerja yang dulu hanya bisa kukoar-koarkan pada kakakku, si pegawai bank yang kerja dari jam 7 hingga jam 5, berkutat dengan perintah dan aturan tiap hari? Inikah dia? Yang tak bisa kutinggalkan karena jauh di dalam sana hatiku berbisik, bahwa aku membutuhkannnya?
Makassar yang panas, membuatku berkeringat semakin banyak siang itu. Pete-pete yang kutumpangi belum juga sampai di kampus. Niatku untuk langsung mengisi perut di warung mache tiba-tiba buyar, tiba-tiba aku kekenyangan. Kuputuskan untuk pulang ke kosan.
Dengan lunglai, kubuang diriku di kasur. Dari kamar sebelah, komrad datang menghampiriku. Kulihat ia belum mandi, dan sebuah buku di tangannya. Kupandangi ia yang sedang bertanya tentang keadaanku dengan penuh rasa cemburu. Aku tidak akan bisa seperi dulu lagi, tidur saat matahari mulai muncul karena malam kuhabiskan untuk menulis, membaca atau sekedar bermain game dengan komputerku. Aku tidak akan bisa lagi seperti komrad, yang bisa mandi di siang hari dan menikmati buku dengan secangkir kopi untuk menahan lapar.
“ Kontraknya kutandatangani.” Kataku pendek. Aku menangis. Aku menangisi diriku yang baru saja perlahan kuhabisi. Menangisi keputusanku, untuk selanjutnya tiga bulan lagi terkungkung dunia kerja, terpenjara waktu.
“ Aku akan menemanimu, setiap pagi mengantarmu dan menjemputmu di depan tiap sore. Aku akan berada di sampingmu. Kamu tidak sendiri menjalaninya. Tapi jika kamu betuk-betul tidak kuat, kapanpun kamu ingin, berhentilah!.” Kata komrad pasti dan menumbuhan semangatku lagi.
“Aku kalah…”kataku pada diri sendiri
“ Dari awal kita semua telah kalah. Tapi, perang harus dilanjutkan. Jika kamu mengisi harimu dengan rasa bersalah dan kemurungan, kamu kalah. Tapi, jika kamu mengasah harimu di sana dengan belajar dan bermanfaat untuk anak-anak di sana. Kamulah pemenangnya. Apalagi yang bisa kita berikan selain ilmu?? ” kata komrad dengan serius. Atau mungkin sok serius. Ah…komrad, dia selalu tahu bagaimana membuat pandanganku yang gelap menjadi terang. Aku tersenyum. Kurapikan kembali semangatku yang sejak siang tadi mulai berantakan. Kutata kembali dengan sesekali muncul ketakutan, apakah aku mampu menjalaninya. 
Tapi, kumulai perangku yang sesungguhnya, aku siap berperang, dan akan memenangkan perang itu.

Akhir april 2007
# aku mengangguk setuju..

Komentar

Postingan Populer