..“terlambat 1 menit…pulang!”..

Masih dengan malas, aku mengguyur badan ini dengan air. Dingin selalu tak bisa kompromi dengan badanku yang tipis ini. Aku bergegas membereskan semua keperluanku dan berangkat. Komrad dengan mata yang kantuknya masih tergantung di kantong matanya, berusaha berdiri dan mengantarku ke depan. Ya…dia memnepati janjinya…hampir dua bulan ini…dia selalu berjalan mengiringiku menjumpai pagi. Walau hanya sampai di depan, langkah-langkah gontai itu begitu berarti, meyakinkanku akan kekuatan sebuah janji dan juga sumbu semangatku untuk memulai rutinitas kerja. Setidaknya, hal ini meminimalisir rasa cemburuku akan tidurnya yang tak terganggu rongrongan jam 7. Padahal kutahu, setelah melihatku berlalu dan dibawa lari angkot, ia akan pulang dan mencari potongan mimpinya yang tercecer.
“Ah tidak…, setelah mengantar kamu, aku olahraga! Jalan keliling kampus, main basket, dan berusaha untuk tidak tidur lagi.” Paparnya saat kupastikan tentang hal itu. Jalan yang sama kulalui. Aku berpikir, aku ingin melewati rute yang berbeda sesekali. Tapi, ini adalah rute yang paling cepat sekaligus aman. Aman dari….terlambat. 
Pasar terong hari ini masih lapang, padahal perkiraanku aku sudah hampir terlambat, harusnya orang sudah ramai tawar menawar harga di sini. Sayangnya, perkiraanku betul, walau becak yang kutumpangi sedari tadi melaju agak kencang, aku toh tetap masuk dalam jaring terlambat, karena pagar sekolah sudah mulai ditutup. Aku tersenyum penuh kekalahan, disaksikan hampir semua murid yang berdiri di pinggir pagar.
“ Lari…lari, Bu…” teriak beberapa anak dengan lantang seolah ada anjing di belakangku dan siap menggigit. Beberapa yang lain tepuk tangan seolah memacu kakiku untuk bergerak cepat. Tapi, aku berjalan biasa saja. Kupandangi mereka dengan heran. Seingatku, jam-jam begini, biasanya mereka masih asyik berlari-lari di halaman sempit di depan sekolah, sebagian sibuk saling memburu di tangga, sebagian menggerayangi Bu Neni, penjaga kantin sekolah, hanya satu dua siswa yang berdiri di depan pagar, itupun karena mereka sedang mengantar keberangkatan mobil ayah atau ibunya yang beberapa menit lalu menitipkannya di sekolah.
“ Terlambat 1 menit lagi…, ibu pulang” kata murid SMP yang langsung menjabat tanganku. Beberapa murid SD, kelas kecil juga menyalamiku dengan bersyukur aku tidak terlambat. Aku terheran-heran. Apa yang terjadi di belakangku selama 2 hari aku tidak datang? Aku masih dikerumuni murid yang bercerita kalau beberapa temannya tadi di suruh pulang.
“ Jam 7 lebih 4 menit” kataku dalam hati saat melihat jam dinding. Aku masih bingung, benar-benar bingung. Kutinggalkan murid yang masih sibuk berdiskusi tentang beberapa temannya yang pulang sambil mengunyah es berwarna-warni panjang, aku lupa namanya.
Aku masuk ke ruangan perpustakaan sekaligus ruangan guru. Bu Oda seperti biasanya, masih sibuk dengan catat mencatat pengembalian buku siswa. Bu Ami kulihat sibuk dengan bahan pelajarannya. Aku masuk ke ruang kepala sekolah. Tentunya si empunya ruangan belum datang. Sekretaris pribadinya, sudah sibuk mencak-mencak mengomeli komputernya yang tiba-tiba tidak punya file yang dia save kemarin.
“ Ada peraturan baru ya?” tanyaku sambil mengambil minum.
“ Makanya Bu Nita. Rajin datang dong…” katanya tanpa melihatku, masih sibuk mengutak-atik laptopnya.
“ Peraturannya, semua siswa jam 7 teng..teng…teng…sudah harus ada di sekolah ini. kalau tidak, pulang. “ katanya dengan tegas. Masih tanpa menoleh padaku. Peraturan apa itu? tayaku dalam hati.
“Itu ditentukan rapat Jumat kemarin.” Katanya seolah mendengar dumelan hatiku.  Kutarik nafas.
“S**t…bad Friday…” gerutuku
“Gurunya…?” tanyaku lanjut
“ Kalau muridnya harus tepat waktu, gurunya pasti. Kalau tidak, potong gaji.” Katanya sambil melibas-libaskan tangannya di leher. Aku menggeleng, tersenyum. Dan tertawa mendengar aturan baru ini. Lucu…kutinggalkan Bu Erlin yang masih sibuk. Masih tertawa kecil aku duduk di tangga menuju lantai 3. Bel sudah berbunyi
“Bu Nita., upacara!!!” aku makin tertawa. Setelah hampir lima tahun,sejak SMP aku tidak upacara. Aku selalu mangkir dengan berbagi alasan. Tapi hari ini aku kembali ke lapangan, berbaris bersama guru-guru yang lain, walau terpaut beberapa perbedaan yang mencolok tapi tetap saja namanya UPACARA.
“ Hari ini, peraturan telah ditegakkan. Jadi, siapa saja yang datang terlambat, dipastikan akan pulang dan tidak belajar. Kalau kalian tidak belajar, siapa yang rugi?” tanya Pak Arafah tanpa meminta jawaban dalam amanatnya pagi itu. Tapi, tetap saja. Anak-anak berteriak macam-macam…
“Tidak ada, sekolah, guru, Al Biruni, enak-enak, nda belajar, pulang main game,” teriak anak-anak silih berganti. Aku menggeleng-geleng hingga upacara selesai. beberapa guru melihatku dan tertawa. Setelah dua hari aku tidak datang, aku dihadapkan dengan lawakan aturan yang lucu. Dari sekolah yang ingin mendidik anaknya disiplin. Betul, yang rugi adalah mereka yang pulang. Sekolah ini dibayar mahal oleh orang tua mereka, jika harus pulang tanpa belajar, itu artinya rugi.
Dan aturan baru ini, mengukuhkanku kembali bahwa angka 7 ini, ternyata tidak akan mengukungku saja tapi juga murid-murid di sini. Dia mulai menunjukkan giginya padaku sembari tersenyum licik. Tidak akan ada lagi keceriaan saat mereka datang, tapi mereka meninggalkan rumah menuju sekolah dengan dihantui ketakutan. Aturan macam apa ini? Kalau gajiku dipotong, karena aku terlambat. Itu toh biasa, aku toh sudah tahu akan arti konsekuensi. Tapi, anak-anak ini? Selama 5 hari dari seminggu, mereka akan tebangun dengan penuh ketakutan. Menyantap sarapan dengan tergesa-gesa, memakai sepatu tanpa memakai kaos, tanpa henti menyuruh supir, ayah, kakak, atau ibu yang kebetulan mengantarnya hari itu untuk memacu gas lebih kencang, Gugup karena menghitung detik–detik di traffic light, menunggu lampu hijau menyala. Generasi inikah yang akan mereka ciptakan?
Kenapa kita selalu diburu oleh waktu?? Kenapa tidak membiarkan mereka menikmati pagi sejenak…berbincang bersama keluarga, bermain sedikit dengan adik kecil mereka, mengintip film kartun kesukaannya barang 5 menit saja…bukankah itu energy yang luar biasa yang akan mereka bawa ke sekolah lalu dirasakan oleh temannya, gurunya, dan semua orang di sekitarnya. Kenapa pelajaran harus dimulai jam 7? Kenapa tidak kita beri mereka kelonggaran hingga jam 8, memberi mereka waktu bermain dan bercengkarama dengan teman-teman mereka, lalu memulai pelajaran dengan gembira. Sekolah ini, selalu saja lupa kalau mereka hanya anak-anak…
Aku memilih duduk di tangga sembari memandangi anak-anak yang masih menggerutu soal aturan baru ini. Akusetuju, sejak kecil kita memang harus belajar disiplin. Tapi, rasanya tidak adil membebani mereka dengan pembayaran yang begitu mahal, lalu membatasi hidup mereka…mereka masih anak kecil yang belum paham apa pentingnya pendidikan untuk mereka. Sebagian dari mereka berlari, bersemangat datang ke sekolah untuk bertemu teman-teman mereka, bukan untuk tercekoki dengan aturan yang konsekuensinya sangat tidak mendidik.
“Aku bisa apa?”tanyaku dalam hati. Keputusan rapat hari Jumat, adalah keputusan mutlak yang tidak lagi boleh diganggu gugat sampai setelah rapat kembali. Aku menunggu hingga Jumat 4 hari lagi. Will see...

Mei 2007
# hari ini,.gajiku dipotong, 5 ribu…

Komentar

Postingan Populer