..puisi pertama mahatma...


Setelah sekian lama tidak menulis, tiba-tiba seperti biasa inspirasi terbesarku menulis dua tahun belakangan ini “berulah”. Diantara tumpukan agenda English Home yang coba kurampungkan sejak semalam, dan proposal skripsi pesanan beberapa teman mama, aku melampiaskan nafsu menulisku yang tiba-tiba membuncah.
Malam minggu pertama setelah komrad pergi, kami aku dan maha, mami dan aira, menghabiskan senja di pantai kering. Rutinitas akhir pekan yang biasanya kami lewatkan berempat, karena kebetulan dua ayah anak-anak ini tidak bersama mereka. Dan, saat kami kwartet ibu dan anak ini melangkah bahagia dan dilirik banyak orang sambil tersenyum,sangkaku mereka mungkin bertanya “ mana semua bapaknya ini?”. Kami tinggalkan pantai kering, setelah Aira dan maha melahap sepiring sate_tepatnya, di bantu ibu-ibu mereka_ dan beberapa potong martabak, lalu kami menyusuri pasar malam yang mulai rame dan pulang dengan becak.
Rumah sepi, karena bapak dan mama sedang mengahadiri acara Isra’ Miraj di mesjid, bertambah sepi saat tv kunyalakan dan hanya ada gambar biru di layar datar. Kuatasi sepi dengan menjajal dunia maya, not too interested…maha sedang berkutat dengan sebotol susu dan sebuah buku yang seolah-olah sedang dibacanya atau mungkin sedang ia baca dengan caranya sendiri. Ia melempar bukunya.
“baca bu..” katanya menyuruhku membacakan buku itu untuknya . Kucari buku  yang lain, karena sejak kemarin ia hanya membaca buku itu, buku yang berjudul “Arthur and Firedrill” lalu kuambilkan sebuah buku yang entah kenapa berada di tumpukan koleksi buku- bukunya maha. Aku tersenyum. Kuperlihatkan padanya.
“baca ini na!” tanyaku meminta izinnnya. Ia mengangguk
“ ini buku puisinya Wiji Tukul, nak! Ibu dan bapak bebi dulu selalu baca buku ini. Keren puisinya. Ia melihatku tidak tertarik. Masih sambil menggigit ujung dotnya, tidak bersemangat. Tiba-tiba aku teringat malam puisi yang sempat kami harapkan saat di Makassar beberapa hari yang lalu, tapi tentunya tidak sempat…ahh…di Makassar, kami selalu punya agenda yang padat. Aku tidak mengacuhkan maha yang tidak terlalu tertarik akan usulku. Dan seolah suasana mendukung…lagu Tantang tiraninya Tika and Dissident terdengar sayup-sayup dari laptopku. Aku berdiri di atas kursi sudut di ruang keluarga yang sudah aus karena usianya yang hampir setuaku. Imajiku menggiringku ke sebuah panggung kecil di sudut kampus beberapa tahun yang lalu
“Di tanah Negeri ini milikmu Cuma tanah air” kubuka puisi malam ini dengan suara Tika mengiringku. Maha tersenyum melihatku. Kubaca satu persatu bait Wiji Tukul yang seperti biasa mampu membakar semangatku. Penonton tunggalku memusatkan perhatiannya padaku, mulai tertarik, dan mengulang beberapa kata yang familiar dengannya
“lapar…rumah..tanah..air…”katanya masih tersenyum serasa aneh melihat ibunya begitu ekspresif di panggung kecil yang empuk ini. Kuakhiri puisiku dengan membungkuk berterima kasih pada seluruh penontonku, aku menunggu tepuk tangan. Maha melihatku lalu bertanya
“abis ibu? “aku menaikkan alisku, ia bertepuk tangan…
“aji…aji… (lagi…lagi)..” katanya. Tanpa diminta berkali-kali, aku buka lembaran-lembaran buku yang sudah terurai satu-satu karena juga sudah usang. Kutemukan!
“Puisi menolak patuh” kubacakan seekspressif mungkin, maha menatapku dan mulai mengikuti ritme gerak tangan dan kakiku, mengulang kata terakhir  tiap baris yang sampai di telinganya. Sesekali ia menertawai dirinya sendiri.
penjara sekalipun
tak bakal mampu
mendidiku jadi patuh
Kututup puisisku dengan membungkuk, tanpa bertanya lagi, maha telah paham kodenya. Ia bertepuk tangan.
“nah…sekarang maha berpuisi” kataku meberikan panggung kehormatan ini untuknya. Ia berlari menuju rak buku, dimana koleksi buku kami tersusun tidak rapi di situ. Ia membongkar buku dan mengambil sebuah buku, yang jelas bukan buku puisi. Ia membolak-balik buku, mencari-cari sesuatu di halammnya, seperti caraku memilih puisi beberapa menit yang lalu. Ia berlari, menuju panggungnya. Bersandar, membuka halaman buku lalu teridam. Aku duduk menunggu puisinya. Ia diam, seolah masih bingung untuk apa dia di sana. Seperti biasa, tingkahnya yang menurutku selalu tidak tergambarkan itu, sangat lucu dan aku mulai senyum-senyum meperhatikan tiap geraknya.
“ayo..mana puisi maha? Kan tadi ibu puisikan pusi wiji tukul..maha mo puisikan apa?” mata kecilnya,membulat, bersemangat, bercerita padaku..ia masih malu…
“mana puisinya nak…ayo!!” kataku menyemangatinya. Mulut kecilnya mulai bergerak. Tiba-tiba dari audio player laptopku terdengar suara sexinya Frau. Ia menaikkan alisnya dan melirik sumber suara, seolah berkata "eh..aku akan berpuisi di temani lagu ini." lagu yang cukup dihafalnya...
“puicikan banana…” bait pertama keluar dari bibirnya. Aku menahan tawaku melihat tingkahnya yang mencoba mengadaptasi gayaku sebelumnya.
“Terus..?” kataku…
“puicikan eipel…puicikan stobeyi…” ia terdiam, matanya meliar lagi
“puicikan umah…puicikan pooh….” Ia membungkuk, setelah sebelumnya tersenyum padaku lalu berkata
“tengkyu..”aku memberinya standing applous dan tentunya reward pelukan dan ciuman, dia juga ikut bertepuk tangan merayakan puisi pertamanya, aku tidak berhenti bertepuk tangan, ia juga. Sambil melompat-lompat kegirangan. Tawa kami membahana di rumah kecil ini, tepuk tangan kami membahana seolah semesta bertepuk tangan untuk maha. Buktinya, Si Aira yang tadinya sudah ingin merasuki dunia mimpi, terbangun karena tepuk tangan kami.
Tak henti, cium ku daratkan di pipnya, di seluruh tubuhnya. Inilah akhir pekan yang paling keren, sebuah pertunjukan yang sangat romantis, sebuah malam puisi yang paling “cantik” dari semua malam puisi yang kujabani. Sebuah pementasan yang paling fenomenal dari semua panggung yang pernah kujejali… agak lebay mungkin, tapi begitulah! melihatnya mengucapkan puisi pertamanya…wah! Rasanya…ahhh…entahlah, bagaimana membahasakannya (saat begini komrad selalu bisa dapat katanya)
Sayangnya aku tak sempat merekamnya, semuanya terjadi begitu spontan, begitu tiba-tiba…sayangnya lagi, papa bebi tidak bersama kami….dan menikmati pertunjukan ini…
Teruslah berpuisi maha…., you are the poem..our real poem…

_Ibu Mahatma_
2nd July 2011…
Maha terlelap…aku? Ditumpuki kerjaan..hehehe…

Komentar

Postingan Populer