....“tembak mereka!! bunuh!!".......

Kunikmati perjalan yang sudah kukenal dari pagi ke pagi. Perjalanan yang menceritakanku tentang perjuangan dan kerja keras. Kulihat sekolah sudah agak sepi, mungkin kelas sudah terisi dengan anak-anak yang siap ujian. Hari ini hari terakhir ujian, sebentar lagi libur. Dan semakin dekat hari libur, semakin bersemangat aku.
Karena ujian, kami bisa pulang jam 2, dengan catatan pekerjaan harus rampung. Menurutku, masih terlalu lama, mengingat anak-anak sudah meninggalkan sekolah dan merampungkan ujiannya pada pukul 12. Tapi, perlahan kusadari tiga bulan ini secara pasti keadaan ini membentukku menjadi si penerima karena penolakanku telah dibabat habis oleh ketakutanku sendiri.
Waktu luang seperti ini, aku lebih sering menghabiskan waktu di lantai 3, di kelas Umar. Kelas yang selalu rapih dan bersih karena ketekunan Ibu Naima. Two thumbs up for you. Angin yang dingin, membuatku merasa lebih tenang membaca tulisan anak-anak. Tapi, tidak kali ini.
Duo cerewet datang di dekatku, Nakhda dan Ningsih. Seperti kataku, hubungan mereka ibarat cuaca, terkadang panas dan membakar amarah mereka, tiba-tiba dingin, tidak saling memperhatikan dan mengganggu, tapi bisa juga seperti hari ini, hangat seolah mereka akan berpelukan sampai akhir zaman. Mereka memulai cerita, menayakan banyak hal tentangku. Nakhda bercerita tentang kakaknya, Fadhil. Ningsih bercerita tentang kakaknya, Si Arum, yang sama-sama bersekolah di sini. Dalam hal ini, mereka senasib dan menjadi korban kefeodalan kakak-kakaknya di rumah. Mereka sama-sama sepekat, bahwa kakak-kakak mereka sok menguasai dan sok memerintah. Dan aku tidak bisa tidak melibatkan diri dalam perbincangan yang seolah-olah serius itu. Lama-lama, entah awalnya apa.
“Amerika….julukan bagi mereka adalah penembak.” Kata Ningsih dengan semangat luar biasa. Aku tersentak.
“Betul-betul, kalau besarh nanti aku akan jadi astrhonot. Aku akan menembak Amerhika dengan rhoket darhi bulan hingga merheka hancurh. Booo..boooom…boooom…” kata Nakhda tertatih-taih karena menyebut r dengan sush payah. Ia dengan berapi-api mempergakan bagaimana roketnya terbang dari bulan hingga menghancurkan Amerika. Aku menatap mereka dengan serius. Kusisihkan kertas hasil tulisan anak-anak yang tadinya akan kubaca.
“Kenapa kalian benci Amerika.” Tanyaku menelusuri.
“Anu Bu…Anu…, karhena menembaki orang-orang Palestina.” Kata mereka berdua berlomba. Aku tersenyum kecil, mereka baru sekitar 8 tahun. Aku tahu, mereka menggunakan mata dan telinganya. Dan , di umur semuda itu, mereka telah mengajari diri mereka membenci dari apa yang mereka dengar di televisi, dan parahnya mereka membenci satu bangsa. Mereka masih berceloteh tentang Amerika, saat pikirku tiba-tiab terbang ke Gaza, sebuah jalur yang tidak pernah berhenti bercerita tentang air mata, sekaligus terus mengobarkan perlawanan. Kuingat, Gaza juga melahirkan anak-anak kecil seperti Ningsih dan Nakhda. Dan aku yakin, rasa benci mereka lebih dari dua anak kecil di depanku, hingga anak-anak Gaza, berani angkat senjata dan menyatakan perang lewat batu-batu mereka. Menghadang tank tentara Amerika, dan aku yakin seribu keyakinan, semangat, harapan, kekuatan inilah yang membuat bangsa ini tidak pernah mati. Mereka dihancurleburkan tapi hidup kembali. Mereka berdarah tapi tetap berjuang.
“Bu…bu, banyak orang Amerika dan Belanda yang datang ke sini khan? “ tanya Ningsih membuyarkan lamunanku. Aku mengangguk.
“Mereka berwisata.” Kataku pendek.
“Ai…harusnya, sebelum mereka datang dan sampai di sini, mereka ditembaki, bunuh.bunuh semua..dor…dor…dor…”kata Nahda sambil seolah memegang senjata dan menembaki semua yang ada di depannya. Aku menggeleng-geleng, tidak tahu harus bilang apa pada mereka.
“dor…dor…dor… kata Ningsih dan Nhakda berlomba. Mereka berlari meninggalkanku, keluar kelas dan menuruni tangga. Dari sana aku masih dengar suara mereka berteriak berulang-ulang..memuntahkan peluru untuk oaring-orang Amerika di kepala mereka.
“ tembak mereka…bunuh..” bersahut-sahutan sesekali meletupkan suara tembakan. Kudengar juga suara Bu Erlin menegur mereka, suara tembakan dan teriakan mereka semakin lama semakin jauh turun ke lantai 1. aku terdiam. Tiba-tiba sosok mungil muncul di depan pintuku. Ternyata dari tadi Nanda di kelas sebelah dan mendengar semua percakapan kami. Dia berjalan menghampiriku. Jika kalian melihatnya, ia kelihatan dewasa dengan attitude ayang ia miliki. Ia selalu kelihatan tenang, dibalut jilbab rapi dengan wajah tembemnya yang lucu. Ia berjalan dan duduk di hadapanku, mencoret entah apa.
“Bu…ibu benci Amerika? Tanyanya. Aku belum sempat membuka mulut ia bertanya lagi
“Bu, Amerika itu Kristen atau Yahudi?” tanyanya polos. Aku tersenyum. Belum sempat kujawab, karena lama aku memikirkan bagaimana cara menjawab pertanyaan si kecil ini.
“Nanda….jemputanya datang.”kata Pak Beni, dari bawah. Dia berlari tanpa menemukan jawaban dariku. Dengan masih berpikir jawaban untuk Nanda, aku melirik jam. hampir jam 2. Saatnya pulang dan beristirahat. Aku meraih worksheet writing anak-anak. Tiba-tiba mataku menangkap coretan nada yang tertinggal.
“ Saya mau sekolah di Amerika..tapi banyak yang benci Amerika. “ aku terkesima, bukan hanya karena di umurnya yang masih dini, ia sudah bercita-cita melanjutkan pendidikannya di Amerika tapi juga karena ketakutan yang sama akan sebuah rasa benci yang terlanjur digeneralisasi. Dan di sekolah ini, dengan label Islami issu-issu seperti ini dimudahkan untuk diterima oleh anak-anak. Tapi tidak sesederhana itu menjelaskannya, bukan? Aku mengambil catatan Nanda, rencananya ingin kutanyakan tentang cita-citanya esok hari. Dan aku tahu, aku harus menyakinkannya untuk terus bermimpi melanjutkan pendidikannya ke Amerika. Kuakhiri hari ini dengan melangkah pasti untuk esok yang lebih baik.

Juni 2007
# don’t be afraid

Komentar

Postingan Populer