Bersiaplah untuk Menang

Saya termasuk orang yang jarang bisa menerima kekalahan tapi untungnya lumayan bisa cepat melupakan kelahan itu dan kembali menumpuk harapan untuk kemenangan yang mungkin bisa diraih besok. Mau contoh? Soal timnas sepakbola kita yang lebih sering kalah. Terakhir kemarin ditekuk 3-2 sama Qatar. Saat waktu semakin terasa cepat menuju menit ke 90 dan sepertinya susah untuk memenangkan pertandingan atau minimal menyamakan kedudukan, saya dengan rasa dongkol setengah mati segera meninggalkan layar TV dan melanjutkan aktivitas cuci screen sablon yang kutinggalkan sementara untuk harapan atas kemenangan dan mungkin secuil cinta untuk garuda yang semoga masih di dada…
Tapi kekalahan yang bukan sekali ini, bahkan untuk kekalahan separah dan semengecewakan waktu Piala AFC kemarin, meski tidak terlalu cepat tapi juga tak terlalu lama kekalahan itu segera sirna. Dan seperti saya bilang di atas, selanjutnya adalah penantian akan kemenangan. Buktinya meski hampir selalu merasa Indonesia bakalan kalah, tapi saya hampir sama dengan semua orang yang diwawancarai TV jelang pertandingan timnas yang kemudian menjagokan timnas Indonesia bahkan dengan skor kemenangan yang telak. Dan selalu setia dan tak pernah mau ketinggalan menyaksikan kekalahan-kekalahan berikutnya. Hmm…
 Kata orang yang selalu mau disebut bijak, begitu lah resiko pertandingan kalau bukan menang ya kalah. Tapi untuk kekalahan-kelahan tersebut, menurutku persoalannya tidak sederhana. Ini bukan hanya sekedar kemarahan akan tidak becusnya organisasi sepak bola kita dalam mempersiapkan banyak hal sedari dini, atau sekedar kejengkelan kita mengapa Firman Utina Cs selalu kehilangan bola dan sering mempertontonkan inkonsistensi bermain. Bagi saya sama sekali bukan. Kata Tomy J Pisa, bukan itu yang kusesali. Hahaha…
Lalu apa? Bagi saya kekalahan tersebut lalu memperpanjang deretan kekalahan-kekalahan kita di begitu banyak ranah. Tidak usah menyebut betapa kalahnya kita dalam urusan pemberantasan korupsi atau dalam hal pembenahan tetek bengek di seputaran lembaga hasil adopsi model pembagian kekuasaan a la Montesquieu, karena saya kira hanya “muntah kuning” (maaf rada jorok…muntah kuning itu kalo sudah tidak ada lagi isi perut yang bisa dikeluarkan..kalo nda salah..hehehe) yang bisa mewakili rasa jengah atas kelakuan-kelakuan yang dipertontonkan secara seronok di depan khalayak ramai dengan dalih konstitusional lah dan dalih-dalih lainnya. Dan tentu tak perlu repot-repot membuat survey dan penelitian ini itu hanya untuk mencari justifikasi apakah benar para ‘umara’ itu tidak mampu memberikan kesejahteraan dan hidup yang layak bagi kami, mereka yang  99%[1] ini. Sama sekali tak perlu. Karena kita cukup sering-sering menengok ke luar jendela dan memasang telinga dengan seksama maka rintihan derita atas kekalahan-kelahan hidup yang tidak terjadi tanpa sebab itu akan segera terlihat dan terdengar. Kalau tak percaya, coba buka kaca jendela kamarmu, atau mungkin kaca mobilmu dan acuhkan sejenak gadis disampingmu yang masih sibuk berdandan, atau yang paling dekat cobalah buka jendela yang tak berbingkai yang ada dalam dirimu!
Malam ini saya membaca berita yang lagi memperpanjang catatan kekalahan itu. Sepele tapi selalu mengherankan dan menyakitkan. Mahasiswa UGM bersama beberapa kampus lainnya berhasil memenangkan lomba mobil berteknologi apa gitu di Malaysia namun akhirnya harus membayar hingga ratusan juta untuk sewa gudang dan kontainer di Malaysia karena mobil yang diiberi nama Semar itu tidak bisa cepat dikirim ke Indonesia. Tau kenapa? Karena urusan administrasi ini itu yang katanya belum lengkap. Wuih… Sekali lagi menerima berita kekalahan. Kekalahan kecil dan terus menumpuk disana sini.
Lalu bagaimana kita menanggapi kekalahan-kekalahan itu? Sepertinya karena sudah terbiasa atau mulai terbiasa dengan suguhan kekalahan dari pagi hingga malam, dari bangun hingga hendak menuju pembaringan, maka mungkin tak banyak yang bisa dilakukan selain berpangku tangan dan menopang dagu sambil sesekali mengeluarkan serapah dan segera mematikan tivi. Pasrah.
Saya pun sering diguyur rasa seperti itu tapi sesaat ketika ia akan kuamini sebagai kenyataan pahit yang mau tak mau harus kulakukan, selalu saja ada orang-orang keren yang tetap teguh menerjemahkan bahwa dunia ini harus kita buat menjadi lebih baik dengan caranya masing-masing. Selalu, mereka selalu tiba-tiba hadir dan langsung menohok wajahku saat mulai pucat pasi menghadapi ketidakmampuan bersikap. Mereka adalah istriku, keluargaku, teman kuliah, kawannya kawanku, sobat yang lama tak bersua, dosenku, atau bahkan jutaan orang yang berteriak dari Lapangan Attahrir, Yunani hingga Wall Street.
Kita mungkin sudah begitu rindu dengan teriakan kemenangan yang bisa membuat pagi kita akan begitu indah disambut. Andai timnas kita kemarin menang pasti pagi tadi banyak dari kita yang bisa tersenyum lebar dan siap menyambut kemungkinan kemenangan-kemenangan kecil di atas tumpukan kemungkinan kekalahan-kekalahan besar.

Tetaplah berlatih, berlatih untuk menyapa kemenangan dengan tiki-taka!

We Are Everywhere!

Watampone, 13 Oktober ‘11





[1] Istilah 99% digunakan pertama kali (kalo nda salah ya) oleh teman-teman gerakan Occupy Wall Street yang ingin menggambarkan bahwa akibat ulah para kapitalis yang sebenarnya segelintir (istilah 1 %) lalu rakyat mayoritas (99%) justru paling merasakan kepedihan dan kesengsaraan.

Komentar

Postingan Populer