..mereka mewarnaiku setiap waktu…

Tidak semua penulis bisa seberuntung J.K Rowling yang karena ketajaman imajinasinya mampu membawa hamper seperdelapan penduduk dunia berdegup, rela antri berlama-lama, demi menyantap dengan cepat lompatan, terkaman, serangan akan buah pikirannya yang termaktub dalam semua seri Harry Potter miliknya. Tidak semua penulis seperti Agatha Cristie yang dengan kekuatan kata-kata mampu mewujudkan ketakutan dalam setiap pembacanya, mencetak sekian juta copy yang laris manis seperti es cendol di musim kering. Namun, walau begitu, profesi penulis secara massal bukanlah sebuah profesi yang menjadi pilihan bagi orang tua untuk anaknya, profesi penulis seperti jalan yang berliku, berbatu, terjal dan sangat lama untuk sampai pada surga kemewahan dan kemapanan. Mungkin karena alasan itu, banyak orang tua yang belum bisa mengapresiasi bakat menulis anaknya. Pandai menulis, bukanlah sebuah bakat besar apalagi jika dibandingkan dengan bakat aritmatika, Bahasa Inggris, yang dianggap sebagai senjata ampuh untuk menaklukkan dunia.Dan menurutku, inilah salah satu alasan mengapa muridku yang memang tidak terlalu senang menulis, semakin ogah-ogahan saat melihatku meneteng kertas, membagikannya, dan memulai untuk menulis. Sebagian muridku yang seperti inilah, yang untuknya hamper 50% perhatianku tertuju pada mereka. Karena, aku yakin betul, mereka punya bakat. Saat mereka menulis dan aku membacanya, aku seperti menemukan pencerita yang tak bias berhenti berimajinasi. Mereka punya bakat, tapi sangat jarang diapresiasi.
Ada Rezki di kelas Umar. Sama dengan anak lainnya, ia lebih memilih menggambar daripada menulis. Tapi, jika mood menulisnya datang, anak ini bisa menulis cerita sepanjang dua halaman kwarto dalam waktu 45 menit dengan focus pada satu tema utama. Pernah satu kali, aku meminta mereka menulis tentang hewan. Hamper semua temannya menulis tentang binatang peliharaannya, atau binatang yang mereka sukai. Aku menghampiri Rezki yang saat itu kulihat menggerakkan pensilnya dengan cepat. Aku berhenti di depannya, dan ia masih saja terus menulis. Tak ingin kuganggu konsentrasinya, aku teruskan langkahku. Dari belakang, kulirik tulisannya, kulihat judulnya
“BURUNG PERKUTUT…BERNYANYI”
Rasa penasaraanku kuakhiri dengan membaca dua halaman tulisannya. Aku terpukau membacanya. Dia bercerita tentang jenis burung. Dia menyebut beberapa jenis burung yang tidak kuketahui namanya dengan detil. Misalnya warna paruhnya,ukuran badannya, makannnya, lalu mengkhusus pada burung perkutut. Menurut tulisannya, burung perkutut awalnya burung yang tidak bisa bernyanyi karena paruhnya sangat pendek. Tapi, ia berlatih terus, siang dan malam hingga punya suara yang merdu. Keseluruhan cerita begitu menyatu. Ia sama sekali tidak mengusik hal lain selain burung dalam tulisannya. Dan satu lagi yang mebuatku kagum, bahwa pengetahuanannya tentang burung sangat jauh melampauiku. Kucek diperpustakaan tentang daftar buku yang sering ia pinjam. 80% semua tentang burung.
Ada juga Hasbi Munir Di kelas Ali. Aku mengenalnya sebagai sosok yang pendiam, hampir setiap rapat mingguan namanya disebut oleh seorang guru. Dia cukup bermasalah. Ia jarang berbicara. Ia pun tidak suka bermain. Ia lebih suka menyendiri dan melakukan semua keinginannya sendiri di pojok kelas. Sampai pertemuan terakhirku dengannya di kelas Ali, ia sama sekali tidak menyentuh worksheetnya. Saat teman-temannya menuliskan proyek tulisan mereka. Hasbi hanya kelihatan menunduk, sama sekali tidak memperhatikanku. Pernah satu kali, aku memaksanya menulis. Entah aku lupa, kenapa aku kalap memaksa seseorang untuk menulis. Jelasnya, saat itu, ia memegang pulpennya menatapku dengan amarah dan air mata di sudut matanya. Setelah hari itu, aku tidak lagi memaksanya. Apalagi, setelah kudapati buku matematikanya yang saat ittu tercecer di perpustkaan. Tanpa sengaja kutemukan kumpulan tulisan di bagian belakang bukunya. Memang tidak banyak, tapi seingatku, topic dalam tulisan-tulisannya adalah topic yang pernah kubahas di kelasnya. Yah..dia memperhatikan, dia menulis tapi tidak ingin di bawah tekanan. Setelah itu aku mengerti.
Ada juga Awal di kelas yang sama, setiap kali aku masuk ke kelas, dia langsung cemberut.  Tubuhnya yang gempal dengan kulitnya yang legam, dan melahirkan kesan lucu dalam setiap keluhannya. Ia selalu saja mengeluh akan proyek tulisannya. Menurutnya, tulisannya tidak bias menemui ujung cerita. Sama persis ketika dia bercerita secara lisan, aku kebingungan menemukan poin-poin utama dalam pembicaraannya. Tapi, ketika kubaca tulisannya…begitu mengalir. Ia sangat jujur.  
Ada beberapa case yang mirip dengan dua anak ini, mereka sebenarnya bisa. Tapi tidak menganggap bahwa hasil tulisannya akan membuat orang berbalik menganggap mereka berprestasi. Nah, mereka inilah yang selalu kuberi perhatian lebih karena pada dasarnya dalam setiap kelas, minat anak-anak  terhadap Writing sangat besar. Seringkali mereka kuberikan perlakuan khusus. Dan kerennya, hampir semua teman-temannya paham, no complain. Ya, sampai 4, 5 kali pertemuan, aku kewalahan mendapati semangat menulis mereka yang naik turun. Aku sibuk mencari jurus jitu yang mampu menggugah mereka untuk menulis.  Untuk Hasbi Munir, aku percaya sepenuhnya dengan keinginannya menulis tanpa tekanan dariku. Dan penilaian akhirku, yang sialnya harus berupa angka, kuambil dari tulisan-tulisannya yang tercecer.  Tapi, untuk  Rezki dan Awal dan beberapa muridku yang lain dari kelas yang berbeda, yang kutahu selain punya bakat menulis juga sangat pandai menggambar, kutugaskan untuk membuat komik. Dan hasilnya, hampir  semua memaksimalkan kemampuannya. Bahkan, untuk Awal, sudah sangat rapi dalam pembuatan komiknya. Selain gambarnya punya kekuatan cerita yang mengalir, ia mampu memadupadankan kata-kata yang pas dengan gambar, ia pandai memilih kata yang tak mampu dibaca hanya lewat gambar saja. padahal dia baru 9 tahun. Entah apa yang bisa ia ciptakan 10 tahun ke depan.
Dan kamu tahu, beberapa kasus menulis yang rumit dalam kelasku ini, membuatku semakin kaya. Kaya akan pendekatan-pendekatan belajar yang tidak boleh selalu monoton. Aku juga merasa semakin matang, menghadapi kenakalan-kenakalan kecil mereka.  Dan ada yang menarik, mereka selalu memberiku pertanyaan yang sama setiap kali mereka akan menulis, tapi aku selalu punya jawaban yang tidak sama setiap hari. Mereka selalu bertanya
“ Kenapa saya harus menulis, Bu?”
Dan hari ini, aku dikejutkan pertanyaan yang sama, hamper tiga bulan mengajar, aku cukup mengenalnya. Dia cukup menonjol di kelas Umar, karena tampangnya yang sangat gagah. Kulitnya putih, bening seolah tidak terjamah cahaya matahari, parasnya sangat rupawan, dengan hidung mirip Tom Cruise dan dua bola mata bulat, dekelilingi bulu mata yang panjang dan lentik, dia semakin kiut terlihat dengan bibirnya yang mungil. Saat ia tertawa, giginya yang putih dan rapi berjejer sepadan. Yah…dia begitu mempesona ditambah dengan rambutnya yang keriwi-keriwil. Selain karena tampangnya, ia juga cukup mudah dikenali karena termasuk salah seorang yang cerewet di kelas ini. Dan di kelasku, ia selalu punya semangat yang besar untuk menulis. Makanya, aku tiba-tiba heran saat ia kelihatan tidak bersahabat ketika kelas kumulai. Kupikir, mungkin ia bertengkar dengan temannya dan sedang tidak ingin diganggu. Setelah bercerita beberpa hal, worksheet kubagikan. Aku melihatnya, dan ia sama sekali tidak bergerak. Kutanyai Bu Naima. Ia menggeleng tidak tahu. Aku menghampirinya. Ia tidak menatapku seperti  biasa. Ia hanya melihat lurus ke arah lembaran kertas yang tadi kubagikan. Aku baru mau  angkat bicara. Ia lalu melontarkan pertanyaan itu.
“…kenapa saya harus menulis, Bu?, saya mau duduk saja….” katanya pasti. Aku menepuk bahunya. Aku sempat heran, bukan karena pertanyaannya tapi karena kalimat setelah pertanyaan itu. 
“ ayo…menulis saja. “ kataku tidak memperdulikan tanya dan pintanya. Aku melangkah ke depan, dan duduk di kursiku. Aku menemukan anak-anak sering merasa bosan dengan aktivitas menulis, jadi kubiarkan saja dia. Tapi tidak lama Fariz datang di depanku. Merobek kertasnya, tanpa babibu. Kelas ricuh, aku seperti sedang ditodong senjata dan kaku. Bu Naima, selaku nahkoda kapal, langsung menariknya dengan agak keras setelah menghentakkan suaranya dengan keras. Aku terperangah, melihat tingkah bocah 7 tahun di depanku yang tiba-tiba berubah garang seolah ingin menerkamku. Aku punguti worksheetnya, sembari Bu Naima menghandle nya dan kupaksa memoriku mengulang pertemuan minggu lalu di kelas ini. Aku tidak menemukan benih yang kira-kira menumbuhkan amarahnya hari ini padaku. Kertas kwarto yang ia robek di depanku, kukumpulkan dan masih bisa kusambung.  Bu Naima di sudut lain kelas kulihat masih sibuk menanyainya dan belum menemukan jawabannya. Kelas berjalan sunyi setelah gemuruh akibat insiden yang masih menyisakan misteri di depanku. Aku memilih untuk tidak vis a vis dengan Fariz, karena aku bias merasakan, ia begitu marah padaku.
Kukumpulkan  worksheet anak-anak, kepalaku masih terngiang-ngiang adegan tadi. Dipenuhi tanya, pastinya. Kututup kelas dengan membacakan sebuah dongeng “ Putri Salju dan 7 Kurcaci”. Kelas kuakhiri dengan  antusias, bel berbunyi, dan dengan komando mereka keluar satu persatu. dengan senyum, penuh ketabahan aku berjalan ke sudut belakang kelas, Fariz dengan Bu Naima, masih saling berbicara. Kulihat sesekali, ia mengangguk. Aku duduk di samping Fariz..
“ Ini….Bu, katanya Bu Nita bohong, katanya ada tulisan Fariz yang katanya dijanjikan untuk masuk Buletin minggu ini.”
“Astagfirullah….., oh…itu!” aku ingat akhirnya. Dua hari yang lalu, ia memberiku tulisan di perpustakaan, sebuah cerita. Ia mengharap, tulisannya bias masuk di bulletin. Yah…aku hampir lupa, sekolah ini punya bulletin yang terbit tiap minggu. Isinya, adalah tulisan-tulisan siswa, puisi, cerpen, cerita, apa saja. dan aku yang ditugaskan untukk menanganinya. Tugas itu, secara otomatis kuemban, karena mendukung mata pelajaranku. Dan bulletin ini, hamper sering membuatku punya masalah dengan anak-anak. Apalagi kelas Umar dan Usman, mereka berlomba agar tulisannya terbit di bulletin sekolah. Mereka tidak mau tahu, bahwa ada proses seleksi kecil-kecil yang dilakukan. Misalnya, pencocokan tema. Tapi, anak sekecil itu tidak ingin tyahu, mereka hanya tahu, bahwa tulisannya telah ia berikan padaku, dan jika kuterima maka ia akan terbit di bulletin. Aku ingat, cerita yang diberikan Faris dua hari yang lalu.
“ Fariz….cerita Faris masih ada sama ibu. Dua hari yang lalu, ibu tidak janji. Ibu Cuma bilang, akan diterbitkan tapi tidak minggu ini. Lagian, tulisan kamu khan masuk 1 hari sebelum bulletin terbit, jadi belum diperbaiki. “ kataku pelan padanya. Ia seolah tidak ingin mendengarku. Ia hanya tertunduk marah.
“Nda mau ma’ menulis” katanya pelan. Aku tersenyum.
“ Iya nak…istrihat saja dulu!” kataku mencoba tidak terlalu memusingkan amarahnya. Ia berjalan keluar kelas. Ibu Naima tersenyum lalu memastikan dia akan baik-baik saja. Aku tersenyum, aku tahu. Aku hamper kenyang dengan kisah-kisah seperti ini. Aku hanya kagum pada anak-anak seperti mereka, yang sejak kecil mampu membahasakan amarahnya dengan baik. Mereka besar dalam lingkungan yang demokratis. Itu poinnya. Dan semua anak ini, tidak berhenti memberiku warna baru setiap waktu. Tidak berhenti menjadi tanda tanya-tanda tanya yang harus selalu sedia kujawab. Terima kasih telah mengajariku banyak hal…aku yakin, kalian semua akan membuatku lebih kaya.
Juni 2007
#thanks to you…

Komentar

Postingan Populer