...already miss you...

Sesaat setelah kuberjuang, mengajarkan maha untuk ikhlas dan rela melepas kepergian bapaknya. Dulu, jika diberitahu bahwa bapaknya akan pergi, 1 atau 2 hari sebelum keberangkatan bapaknya, ia sudah akan mengangguk dan mengiyakan. Dan saat berangkat, ia tidak begitu sedih, karena telah mengantisipasinya sejak awal, bahwa bapaknya akan pergi untuk kembali lagi dan saat kembali akan membawakannya banyak buku, hadiah, dan segala hal yang ia minta. Tapi kali ini, berbeda. Sejak seminggu lalu, kami sudah memberitahunya bahwa bapak bebi akan ke Jogja lagi. Rencana untuk menyusun thesis di Bone harus di cancel, di sini ia terlalu focus pada kami.  Dan ia sulit menemukan “feel” untuk thesisnya. Saban hari, setiap bapaknya minta izin, ia selalu saja menolak tentunya dengan air mata. Dan jika sudah begitu, kami memilih untuk mencari waktu yang tepat.  Tapi, semakin ke sini maha makin tidak rela melepas bapaknya. Dan hari ini, air mata itu meluap tak terbendung, mengalir tak ingin berhenti.  Sejak pagi, ia terus menggelayut pada bapaknya. Mengulang satu kalimat sambil sesekali air matanya menitik “jangan peggi jogja bapa’” dengan raut wajah yang begitu sedih. Saat kurapikan baju bapaknya, kalimatnya makin tegas dan keras. Sesekali memukulku, dan semakin menegaskan padaku  bahwa bapaknya tidak akan pergi. Hampir sejam mengulang kalimat yang sama, sembari merengek dan sesekali perhatiannya dialihkan. Tapi tetap saja, hatinya menolak untuk rela.
Akhirnya, ia menwarkan solusi.
“Bu…mamma mau ke jogja sama bapak, nda mau di umah, Ibu saja.” Katanya pasti. Aku tersenyum. Sambil menayakan segala kemungkinan-kemungkinan hidupnya tanpaku.
“are you sure” tanyaku. Ia mengangguk. Saat kutanyakan, siapa yang akan membuatkan susu untuknya, membacakan buku sebelum ia tidur, menemaninya tidur, ia menerawang. Ia juga tidak menjawab, bahwa bapaknya bisa menggantikanku. Namun, saat kutarik kesimpulan bahwa ia tidak bisa pergi tanpaku.  Ia marah, dan lagi mengulang kalimat penegasan kedua pagi ini.
“mamma nda mau di umah, mamma mau ke jogja” ia mengulang kalimat itu berkali-kali. Masih dengan air mata di sudut matanya yang sebentar lagi ruah tumpah karena ledakan amarahnya. Sebenarnya, memang begitu berat memberitahu maha. Sejak setahun lalu, setelaha bapaknya melanjutkan belajar di jogja ini adalah kali terlama kami bersama. Sejak Ramadhan. Keinginan pulang ke Jogja sudah komrad rencanakan jauh-jauh hari di akhir September tapi, berbagai aktivitas membuat niat itu urung berkali-kali. Mulai dari kesibukan menata kembali English Home, kembali nyablon, dan bebeberapa urusan di Kedai Buku Jenny. Tapi, pada dasarnya komrad atau tepatnya aku dan komrad senang mengulur ketertundaan itu. As a little family, hari-hari terasa membahagiakan jika segala aktivitas kami lakukan bertiga. Membersihkan kantor, menyusun modul, menyablon, berdiskusi, jalan-jalan dan segala hal-hal kecil yang selalu membuat kami bahagia. Dan harus aku akui kehadiran komrad mempermudah banyak hal. Sejak dulu, memang komrad tidak hanya sekedar suami. Yang kewajibannya melulu menghidupkan asap dapur rumah kami yang sampai hari ini masih dalam angan-angan.  Tapi, ia adalah koki kami yang saban pagi membuatkan tempe bacem ala bobi, atau tahu orak-arik, atau segala macam makanan yang tentunya selalu menyudutkan posisiku , karena segala yang ia buat selalu lahap kami makan. Ia juga tukang ojek yang kemana saja akan pergi membawaku, melindungi dari terik matahari, dan membawa motor dengan laju yang kerap hati-hati. Dan saat malam datang, sejak maha tidak lepas dari susu, ia membiarkan selalu lelap tertidur dan ia melawan kantuk mengocok susu maha hingga berkali-kali. Ia juga mengambil banyak peranku di pagi hari, memandikan maha, memakaikannya baju, dan tentunya mengajaknya main. Lihatlah! Betapa hebatnya bapak bebi kami. Dia tidak pernah berhenti mengejutkan kami dengan hal-hal kecil yang buatku dan maha tergantung akannya. Dia mendefinisikan posisinya sebagai suami dan bapak yang perfect untuk kami.
Dan, karena semua hal-hal itu maha tidak rela bapaknya pergi begitu cepat. Mengingat selama ini ia berkoalisi dengan bapaknya dalam banyak hal. Mulai dari melakukan hal-hal ekstrem, melompat bersama dalam alunan lagunya Superman Is Dead, dan terlebih satu hal mengganggu ketenanganku. Mereka berdua selalu kompak. Saat aku begitu tenang menikmati tontonanku, mereka berdua datang. Kulihat maha telah tersenyum. 
“bapa’ ayo kita serbu ibu…one..two..three..” katanya berbisik lalu menyerangku dengan kitikan yang biasanya maha akhiri dengan pukulan yang sudah mulai agak sakit. Maha juga dengan mudah mendapatkan yang ia inginkan lewat bapak bebinya. Mereka dua lelaki yang sometimes memusuhiku dalam beberapa hal.
Dan pagi ini, mau tidak mau maha kami paksa untuk rela. Ia pasti menangis. Seperti tadi. Tangisnya tiba-tiba pecah saat mobil jemputan ke Makassar sudah ada di depan rumah. Suaranya mulai pilu dan air matanya tak henti mengalir. Ia bahkan tidak ingin digendong olehku. Ia ingin bersama bapaknya. Air matanya tetap tumpah saat bapak bebi menggendongnya  menuju mobil. Namun, ia betul-betul sedih saat harus kupaksa ia melepas rangkulannya dari tubuh bapaknya. Tangisnya pecah dan aku juga mulai tidak tahan. Sikapku yang sedari tadi sok kuat ternyata tidak mampu menenangkannya. Ia melihat bapaknya duduk di mobil hitam di kursi depan. Dan ia melambai juga. Kumelangkah cepat dengan maha di gendonganku yang tangisnya semakin keras mengantra kepergian bapaknya. Dan ia mengulang kliamat yang sama lagi
“jangan peggi bapa’ jogja” berkali-kali. Kucoba mengajaknya berbicara namun, itu tidaklah mempan. Ia bahkan semakin tenggelam dalam tangis. Kubiarkan ia meresapi kesedihannya. Yah..inilah hidup nak! Kita harus selalu siap merelakan sesuatu. Lama ia masih menagis di pangkuanku, lalu minta di ayun. Sejak 2 bulan lalu, dia tidak lagi pernah tidur di ayunan, hanya jika ia sedang sakit, atau perasaaanya tidak enak. Seperti pagi ini tentunya. Ia meminta susu dan minta kubacakan sebuah buku. Tangisnya mulai reda, sesekali  terisak. Ia menyimak cerita tentang kancil yang kubacakan untuknya. Sampai susunya habis, air matanya masih mengalir. Ia minta digendong. Kucoba menenangkannya dan tangisnya mulai hilang. Hanya raut wajahnya yang belum kembali bersinar. Aku tahu, aku harus mengerjakannya pelan-pelan. Kucoba untuk tidak menyinggung tentang bapaknya. Aku bercerita tentang drum yang semalam ia lihat dan ia inginkan saat ulang tahun ketiganya. Ia mulai mengikuti alur ceritaku dan mulai menyahut pelan. Semakin lama, ia mulai pulih dari kesedihannya.
“Bu…mo telpon bapa’ bebi” katanya. Aku tersenyum, dan kukatakan kalau bapaknya belum sampai di Makassar.
“nanti telpon bapak pake laptop, Bu! Pintanya padaku. Ia meminta video call dengan bapaknya segera. Yah…setelah sampai di Jogja nak! Doakan semoga semua cepat kelar dan kita berkumpul bersama. Kataku padanya!
Dan saat ini, maha telah sibuk memporandakan ruang tamu dengan mainannya sambil berlarian ke sana-kemari sembari bercerita pada neneknya kalau tadi ia menangis saat bapaknya pergi. It’ s ok honey! Just cry!! Iknow how hard you try!!
Already miss yo bapak bebi…dan hari mulai terasa lebih berat!
   

Komentar

  1. Oooh saya kira selesaimi bhoby ternyata memang masih kembaliji ke sana....
    Pesan buat Maha:
    Sabarki anure, sambil menunggu bapak ta, you must stay strong, 'cause now you're the man of the house..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer