..What a Long Friday…


Sejak dulu, Jumat selalu jadi hari favoritku. Saat itu, umat Islam, laki-laki diwajibkan untuk shalat Jumat di mesjid. Dan menurutku, karena alasan itu, hari Jumat selalu lebih pendek dari biasanya. Saat SD, di hari Jumat, kita bisa pulang pukul 9 pagi, saat istirahat pertama. Saat  SMP dan SMU, di jam 11, kita sudah meninggalkan sekolah . Satu hal saja yang membuatku tidak senang dengan hari Jumat, yaitu seragam Pramuka. Hanya saat aku SMP kelas 1, seragam Pramukaku terlalu besar, hingga badanku yang besar untuk ukuran SMP saat itu, kelihatan semakin besar. Ibu tidak pernah punya waktu membawanya ke tukang jahit. Hampir satu caturwulan aku memakai seragam itu. Yang akhirnya kuganti dengan baju Pramuka kakakku Nanang, dan dipermasalahkan guru BPku karena bajuku baju laki-laki. Tapi, tidak lagi saat SMU..apalagi saat aku menjadi anggota aktif Kesatuan Pramuka di Gugus Depan sekolahku, menggiringku menjadi sekretaris umum di Kwartir Cabang bone, membuatku menjadi Pramuka sejati yang berpedoman pada Tri Satya dan Dasa Dharma Pramuka. 
Saat kuliah, rasa sukaku pada hari Jumat, berkurang. Karena saat-saat itu, semua hari terasa sama. Sama-sama pendek panjangnya. Aku bisa tidur sampai matahari naik sepenggal setiap hari.  Aku bisa memutuskan sendiri ingin pulang ke kos atau menginap di kampus saja. Tidak ada hari yang betul-betul istimewa.
Dan sekarang saat aku bergumul dengan kerja, kecintaanku terhadap hari Jumat, mulai tumbuh lagi. Sekolah yang menerapkan konsep Full day school. Dari jam 7 sampai jam 4 selama 5 hari dalam seminggu. Kenapa aku mencintai hari Jumat? karena setelah Jumat, kami akan mendapatkan 2 hari full, di mana aku bisa terlepas dari cengkaraman dua angka itu. Aku menghirup udara kebebasan ketika Jumat mulai berakhir. Tapi, sebelum udara kebebasan itu kuhirup, aku diharuskan menikmati akhir Jumat. Sebuah Jumat yang panjang….
Ba’da Ashar saat hari Jumat, aku tidak akan bersemangat seperti hari-hari lainnya, untuk menyongsong jam 4 dan aku berlari menyetop pete-pete untuk pulang ke kosan. Karena hari Jumat, setelah murid-murid di pulangkan, kami para guru dan staf, akan berada di sekolah ini mendengar ceramah panjang Pak Kepala Sekolah. Inilah yang membuat Jumat berhragaku menjadi panjang dan  membosankan.
Rapat biasanya dibuka oleh Pak Parman, yang saat ini menjadi kesayangan Pak Arafah. Dilanjutkan dengan pembacaan 3-5 ayat suci. Dan teng-teng-teng, giliran Pak Arafah. Sebenarnya, konsepnya keren. Karena setiap minggu, setiap guru memaparkan kondisinya dalam kelas, memaparkan apa yang dibutuhkan, sarana, dan prasarana. Moment ini juga digunakan untuk mencari solusi untuk beberapa siswa yang dianggap punya kendala dalam kelas. Dan untuk hal ini, saya harus mengacungkan jempol, karena siswa yang bermasalah dibedah mulai dari lingkungannya, keluarganya, ayah dan ibunya, faktor-faktor apa yang menyebabkan ia terkendala dalam belajar. Harusnya, ini menyenangkan, jika hal yang dibahas tidak diulang dari satu dua, atau bahkan tiga minggu sebelumnya. Apalagi masalah sarana.
“ Ibu harus kreatif, inofatif, memberikan siswa hal-hal baru untuk mereka” begitu selalu tuntutan  P Arafah pada kami. Sejak pertama aku di sini sampai aku lupa mengingatnya kapan terakhir kali ia mengatakan hal itu saking seringnya ia mengatakannya. Masalahnya, semua yang kami butuhkan di kelas, sangat sulit dipenuhi oleh sekolah. Hal-hal kecil misalnya, kertas untuk mata pelajaran Writing, pensil yang memang harus disediakan sekolah, apalagi buku-buku pegangan untuk mereka. Yang membuat kami selalu kelabakan karena alasannya selalu sama.
“ Pihak yayasan, akan mengusahakannya.”
“ Yayasan minta maaf, karena belum bisa,untuk sementara pakai saja yang ada.” Ini adalah sekolah termahal yang pernah kudapati. Tapi sangat sulit mencukupkan sarana yang belajar yang urgen dan kecil-kecil. Dan yang membuatnya semakin membosankan, kami membahas hal yang sama tiap minggu.
Di rapat seperti ini pula, akan selalu ada aturan baru yang muncul. Kesepakatn untuk datang jam 7 teng dan selebihnya harus pulang, juga dituntut untuk disepakati di forum ini. Hampir tiap Jumat, ada aturan baru yang muncul. Seperti Jumat ini.
Aku melangkahkan kaki dengan malas, menuju kelas Umar. Kelas paling nyaman, karena sangat bersih, buku-buku tersusun rapi, display kelas dipajang cantik dan artistik, Poko’nya kelas ini adalah kelas percontohan. Semua guru sudah duduk rapi menunggu sang pembawa titah. Rapat dimulai seperti biasa. Aku duduk menyaksikan semua mulut-mulut sedang berdiskusi, sementara mataku sedang melahap Sang Alkemis nya Paulo Coelho. Waktu berjalan cepat, tas telah kuselempangkan sesaat setelah kulihat Pak Alan siap-siap membaca doa. Tapi..,
“ Oh yah!!..untuk memaksimalkan kerja kita semua, mulai minggu depan, rapat akan diadakan dua kali seminggu. Setiap hari Rabu dan Jumat.” Tutup Pak Arafah dengan cepat, tak menerima pertimbangan. Aku dan Kiki saling berpandangan. Tiba-tiba AC  yang tadi menyejukkan kelas, tidak menyentuh badanku. Hawa panas menjalar dari kepalaku. aaahhhhhh…., aku kepanasan. Aku melihat ke sekelilingku, aku mencari wajah yang sama jengkelnya dengan wajahku. Tapi, tak kudapati satupun. Kupandangi Bu Inna yang mungkin sedari tadi memperhatikan perubahan di raut mukaku. Ia mengeluskan dadanya untukku, dan kulihat bibirnya bergerak dan kubaca
“ ikhlas…ikhlas…” jujur kata-kata itu tiba-tiba membuatku muak. Apa yang ingin kuikhlaskan? Apakah hanya aku yang merasakan ketidaksepakatan ini. Kenapa ia seenaknya menentukan aturan, tanpa membicarakannya lebih dahulu. Aturan jam 7, segala aturan indisipliner, dan lagi…aturan rapat 2 kali seminggu, dengan ancaman potongan gaj tentunya. Siapa dia? yang bisa mengatur  hidup kami, seenak perutnya saja, tanpa menanyakan perlu atau tidaknya aturan itu. dan parahnya, si pembuat aturan ini adalah satu-satunya orang yang paling rajin melanggar aturan yang ia buat sendiri. Tapi, ia kebal. Ia kebal. Dan kekebalan itulah yang membuatku betul-betul muak. Aku menahan nafas, menyaksikan rapat berakhir.
Kututup mulutku dan menahannya memuntahkan umpatan-umpatan. Aku menghela nafas panjang, berjalan sangat pelan menyaksikan hidupku yang kutinggalkan entah dimana. Dan aku… pulang sambil tidak behenti mengomel sendiri di pete-pete. Hidupku semakin pendek karena kuhabiskan semuanya di sekolah ini. Lalu saat di rumah, aku hanya bisa menuruti rasa lelahku.
Apa yang kulakukan terhadap hidupku? Bukankah dunia kerja seperti ini yang selalu kutakutkan? Bukankah aku menolak tawaran K Heri untuk kerja di bank, seperi yang ia lakukan bertahun-tahun, karena aku takut menjadi seperti ini? menghabiskan hidupku untuk kerja demi segepok uang, yang kuterima di awal bulan, itupun kadang terlambat dan dipotong sana-sini?
Aku terjebak. Ya, berkali-kali aku katakan. Aku terjebak…..oh..Jumat yang panjang, berakhirlah! Aku ingin lari menemui puisi di ujung malam…

Juni 2007
# untuk hidup yang kutanggalkan….

Komentar

  1. Sekolah di Bone ini ya? Sekolah apa namanya? Mudah-mudahan mahalnya makin diimbangi dengan kesejahteraan guru2nya dan peningkatan kualitas sarana prasarananya :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer