...I “HATE” SUNDAY...


Aku benci hari Minggu. sejak dulu, aku memang membencinya. Menurutku, hari Minggu selalu terasa lebih pendek dibanding hari-hari biasanya. Hari Minggu seolah berlari menyambut malam dan besoknya hari Senin. Dan, aku tidak suka minggu malam datang karena jika aku menutup mata, ketika kubuka lagi, hariku akan dimulai dengan segela tugas, kerja dan tuntutan yang kadang membuatku begitu lelah. Dan saat hari Minggu baru saja berakhir, aku pasti akan merindukannya. Aku merindukannya, agar ia tidak pergi menyongsong Senin. Intinya, aku takut Minggu berakhir dan Senin datang. Jahatnya, hari Minggu seolah tidak memperdulikan ketakutanku.
Seperti hari Minggu biasanya, hari ini aku memanjakan diriku di kasur yang sudah hampir tiga tahun bersamaku. Sembari ditemani computer yang mengalunkan lagu-lagu Sheila on 7. Rasanya, begitu menenangkan, suara Duta mengalun, menemaniku tanpa ku perlu melihat jam dan bergegas mandi. 
Alunan lagu, masih membuai mataku, saat komrad datang. Ia memilih untuk bersama Ana, adik bungsuku, yang sedang bergelut dengan buku-buku SPMBnya. Aku salut melihat usahanya yang gigih, demi masuk UNHAS. Entahlah….Kalau dilihat dari luar, ia kelihatan santai dan biasa saja, tapi saat malam datang ketika kami semua terlelap, ia bergelut dengan rumus dan soal-soal hampir tiap malam, sejak dia ada di sini.
“Hari ini ada agenda apa?”tanyaku pada komrad. Ia tidak bergeming. Sejak kuputuskan untuk kerja, dan kuikarkan untuk tidak membuai diri dalam dunia kerja, apalagi dibudaki kerja, Sabtu dan Minggu selalu kugunakan untuk hal-hal yang membangun sisi lainku. Seperti malam kemarin, kami berlima, geng shabat. Komrad, Afan, Nurda, saya dan Ana, menggelar malam puisi kecil-kecilan. Di kamar kosan 2x3 meter, kami menyalakan dua batang lilin, mengumpulkan buku-buku puisi. Kami membuatnya seserius mungin, komrad membuka lingkaran kecil ini dengan puisi Wiji Tukul. Bergiliran, kami membaca puisi. Yah, malam kemarin kami bunuh dengan puisi. Hingga kami lelah dan malam kami berujung di bibir gelas sambil menyeruput dua gelas kopi untuk berlima, ditemani lima bungkus roti, dan tentunya rokok untuk arfan. Saat puisi telah lelah, kami mengahiri malam bersama 4 matanya Tukul dan tawa kami mneggelegar hingga ngantuk membawa kami ke kasur.
Bicara tentang puisi, kami berempat juga pernah menggelar malam puisi sendiri, saat Purnama belum begitu sempurna, gerimis turun malu-malu, langit menghitam, di danau Unhas tentunya. Kami berempat membaca puisi bergiliran lalu mengagumi diri kami masing-masing. Singatku, malam itu malam minggu, malam puisi kami berakhir di Pintu 1 UNHAS, tepatnya di bawah atap warung Coto di samping Pertamina. Kami yang akhirnya bersama riak hujan dan beberapa orang yang enggan melawan hujan malam itu, menunggui Kak Heri dari Bone, yang entah malam itu sedang punya urusan apa di Makassar.
Dan pagi ini, kami belum menyusun agenda. Paling ke kampus, melihat teman-teman mahasiswa beraktifitas di himpunan. Sat-saat libur semester panjang begini, para aktivis kampus biasanya sibuk di kampus, menyiapkan segala sesuatu untuk kedatangan adik-adik barunya. Mereka menyebutnya OSPEK.
Hari mulai menuju siang, aku mengguyur badan dengan lambat, kunikmati dinginnya air. Aku siap menikmati hari Minggu.
“Kita ke mall yah…” kataku. Ada pameran buku. Kataku menambahkan. Ana yang sibuk belajar, kali ini menolak karena harus ke bimbingan sebentar lagi. Aku melihat komrad yang sedang mengutak-atik computer. Dia tidak meresponku
“ Komrad…ke mall yuk.” Kataku mengulang pinta. Dia menatapku. Tidak seperti biasa, ia berlalu pergi ke kamar ujung. Ke ruangan pribadinya. Dan jika ke sana aku tahu dia akan melakukan apa. Tentu bergelut dengan peralatan sablonnya. Kami, aku dan komrad memang sudah menyablon sejak tahun lalu. Komrad yang punya inisiatif besar untuk itu. awalnya, aku hanya sebatas memberi masukan dan kritikan. Tapi, semakin lama, ia melibatkanku atau aku yang melibatkan diri, jauh dan  akhirnya aktivitas itu bukan hanya menghasilkan uang walau tidak seberapa, tapi juga perlahan membuat kami paham dan semakin membebaskan kami berdua dari tekanan kerja. Karena untuk urusan sablon menyablon…kami adalah bosnya. Dan, kami punya mimpi bahwa suatu saat, kami yang dua-duanya sarjana HI akan punya usaha sablonan. Dan kami akan menjadi bosnya. Ingat! Kami akan menjadi bos atas diri kami sendiri.
Semangat Mingguku, jujur tiba-tiba ciut karena tingkah komrad yang aneh. Kalau ingatanku tidak salah, semalam kami baik-baik saja, pagi tadi juga. Semua berjalan seperti biasa. Aku meringankan kakiku untuk bertanya, tidak seperti biasa.
“ Tidak mau pergi?” tanyaku di depan pintu, sementara yang kutanyai sedang serius membersihkan papan. Pertanyaanku kuulang dua kali. Tidak kutebak sama sekali, ia melihatku dengan mimic serius, lalu bertanya balik
“ Kapan kita terakhir ke mall?” dari pertanyaannya aku mulai paham, apa yang sedang bergelut di pikirnya. Aku dan komrad terakhir ke mall, Kamis lalu, sepulang dari sekolah.
Aku tahu, sejak mengajar, aku menuntut komrad masuk dalam dunia kerjaku. Menuntunya untuk ikut merasakan kungkungan sistem kerja yang membelengguku. Misalnya, bangun pagi. Aku selalu ingin saat aku terbangun dan bergegas ke sekolah, ia juga sudah bangun dan melakukan rutinitas bersamaku. Poinnya, aku iri dengan kebebasannya, dan ia menjanjikan akan berjalan bersamaku. Di akhir pecan seperti ini, aku menuntutnya berbahagia dengan merayakan kebebasanku. Dan aku rasa, dia mulai tidak nyaman.
Aku menuju kamar, di depan computer tepatnya. Aku kecewa, padahal aku sudah rapi dan bersiap berangkat. Kudengar langkah dari ujung mendekati kamar.
“ Aku rasa, ada yang salah dari beberapa kali perayaan kebebasanmu.” Katanya memulai pembicaraan. Aku seolah tidak mendengar.
“Aku hitung-hitung, sebulan ini, kita telah 7 kali mengunjungi mall. Ada-ada saja yang mengharuskan kita ke sana. Bukan, aku sama sekali tidak keberatan menemanimu. Aku hanya berpikir..ini salah. Aku tahu, kamu ingin berbahagia di akhir pekanmu, tapi haruskah dengan belanja?” aku hentikan kegiatanku.
“ Kita ke mall kan untuk belanja kebutuhan. Aku tahu,kamu pasti berpikir aku mulai seperti kebanyakan orang yang senang memilih mall sebagai tempat refreshingnya, setahuku, kita punya alternative, tidak melulu harus ke mall. Kenapa? Bosan?”dia menggeleng.
“ Aku takut, kita mulai menjadikan ini semua kebiasaan yang bisa membuat kita senang. Aku takut standar kebahagiaan kita mulai terukur dengan semua yang berbau materi.” Aku berbalik marah.
“Aku belanja dengan uang yang kudapatkan dengan kerja kerasku, dengan pengorbananku sana-sini, kenapa aku tidak bisa menikmati hidup?” kataku pasti. Komrad tersenyum, menggeleng
“Komrad..lalu apa bedanya kamu dengan milyaran orang di luar sana, mereka belanja juga karena punya uang. Kita tidak pernah menentang hal itu. tapi, budaya itu yang kita gemborkan sana-sini untuk dihilangkan. Ingat tidak? Lalu kenapa kita melakukan hal yang sama? Tiba-tiba menjadi butuh belanja, tiba-tiba setiap minggu harus ke mall. Inilah yang dimenangkan oleh sistem kerja. Karena setelah lelah dengan setumpuk pekerjaanmu, kamu akan lari menuju dunia di mana konsumsi..konsumsi dan konsumsi, beli..beli..dan beli adalah jalan satu-satunya untuk bentuk balas dendam atas semua kehilangan-kehilanganmu, sadar tidak? Kamu pikir apa yang dikebiri oleh dunia kerja? Ide! Kerja mengkebiri idemu, sehingga kamu dan ribuan pekerja lainnya miskin ide, miskin mimpi, miskin imajinasi. Dan menjadikan belanja satu-satunya alternative kebahagianmu, menghabiskan semua yang kau punya di barisan toko-toko itu. sejak awal, kamu, kita ingin memenangkan pertandingan ini bukan? Kita tidak ingin pekerjaan ini merubah dirimu, merubah hidupmu! Tapi,..coba pikirkan! Kamu, aku masuk terjerembab ke dalam kubangan-kubangan hedonisme“ komrad panjang menjelaskan, sementara ia masih berdiri di depan pintu dengan nafas terngah-engah, tekanan di sana-sini, dan nada suara yang sesekali bergetar. Kutahu ia sedang marah. Kepalaku mendidih, komrad betul-betul menudingku kali ini, menyentuh hal yang prinsipil yang sama-sama kami pegang dan sepakati. Dan ia ingin bilang, aku kalah. Setelah apa yang kulewati selama hampir 4 bulan ini.
Dia menunggu reaksiku, kutatap ia dengan amarah, dengan rasa campur aduk. Kuraih ranselku, berjalan meninggalkan komrad yang entah sedang memandangiku atau tidak. Aku berjalan menyusuri Sahabat dengan cepat, menyetop pete-pete. Sesuatu dalam diriku memaksaku  melanjutkan rencanaku ke mall, menghabiskan semua uang di ATM lalu pulang dengan puas dan memberitahu komrad kalau aku bisa melakukan apa saja. Tapi, kepalaku memutuskan menghentikan pete-pete’ tepat di depan Pintu 1 UNHAS. Aku memutuskan ke danau, berjalan kaki dan mencoba berpikir jernih karena insiden tadi.  Sepanjang perjalanan menuju danau, aku dibisiki suara yang membetulkan komrad. Yah..sekali lagi, aku tahu komrad betul. Sebulan terakhir ini, aku memang menikmati diriku yang bisa berkuasa dengan uang yang kumiliki. Berkuasa dalam artian memenuhi hasrat membeli yang sejak lama mampu kumatikan dalam diriku. Yah.., waktu kuliah dulu walau punya uang berlebih, aku dan komrad sepakat untuk tidak mengunjungi mall. Kami ke sana hanya untuk beli buku atau menonton film yang betul-betul bagus, dan versi komrad, film bagus itu, kalau si cantik Dian Sastro ada di dalamnya. Hampir tidak pernah kami mengunjungi mall untuk beli baju atau kebutuhan-kebutuhan lainnya. Kami tidak bermasalah dengan mallnya, tapi sekali lagi pola hidup. Aku dan dia, sejak awal berjalan dengan banyak kesamaan, termasuk untuk hal yang satu ini. Bahwa hidup punya cara-cara yang lebih unik untuk dimaknai. Tapi, sejak aku kerja, tepatnya sebulan terakhir, aku secara tidak sadar sedang ikut larut dalam parade konsumtif manusia.
Tiba-tiba..sore Minggu ini, terasa begitu panjang. Aku duduk sendiri, memandangi danau buatan yang tenang tanpa riak. Sore berjalan lambat. Di danau, aku melihat banyak diriku yang dulu memandangiku, merasa ibu dari permukaan air. Kerja harusnya tidak membunuhku. Harusnya kunikmati hidupku seperti aku telah menikmatinya 4 tahun belakangan ini dengan sederhana dan bahagia. Aku sadar, aku tidak boleh sekerdil ini. Hidupku tidak akan kubiarkan berakhir seperti, aku toh tidak pernah jatuh lalu tak mampu berdiri. Tapi setelah jatuh, aku selalu kuat  berlari.
Sayup suara mesjid kampus mulai menggaung, aku berdiri dengan optimis. Menuju pulang, menuju komrad, menuju hidupku yang seharusnya. Aku berlari, tak sabar menemui komrad..kulihat ia sedang asyik menonton di kamar Nurda. Ia sontak melihatku. Aku tersenyum, berterima kasih untuk tangannya yang tak pernah henti meraihku saat dunia mencoba menenggelamkanku. Aku tersenyum, untuk hadirnya yang tidak pernah lupa memanggilku pulang, saat aku berjalan di arah yang salah.
Terima kasih komrad…untuk hari Minggu yang panjang ini,  yang buatku  tiba-tiba semangat menjumpai Senin, esok hari. But, I still “hate” Sunday…


Juni 2007
# no more..

Komentar

Postingan Populer