Untuk Jogja

Kuingat jelas saat itu tahun 2004. Saat itu kami melakukan studi banding di Fisipol UGM dan kami ditemui oleh salah satu dosen Fisipol yang kebetulan juga dosen HI. Dosen ini bercerita banyak hal tentang banyak hal tentang Fisip UGM yang saat itu dinahkodai oleh Pak Mochtar Ma’soed, “The Indonesian Last Pope of IR”, kata temanku. Banyak yang diceritakan dosen muda itu. Tapi yang paling menarik dan membuatku cukup terhentak adalah saat ia berujar kalau Jurusan HI di Kampus itu mengajarkan Sosialisme. Bukankah Tap MPR 25 masih melarangnya? Wah, keren betul kampus ini pikirku. Andai saya bisa kuliah di kampus ini, begitu dulu khayal dan doaku. Itu hanyalah segelintir dari kekagumanku akan Kota Jogja yang saat itu hanya kukunjungi tak cukup sehari semalam namun rasa untuk kembali begitu melekat.
Mungkin doaku terkabul, akhir tahun kemarin saya dinyatakan lulus setelah mengikuti ujian menjadi mahasiswa pascasarjana dengan konsentrasi studi yang sama seperti yang kugeluti saat masih di S1. Itu berarti ,mimpi untuk lebih lama mengenal Jogja akhirnya menjadi kenyataan. Tak sabar mencari jawaban mengapa kota itu selalu menjadi magnet bagi banyak orang untuk kembali. Here I am Jogja!
Dan abrakadabra! Tak perlu menunggu lama kota ini sudah menunjukkan magnetnya yang menarikku dengan begitu kuat hingga tak sadar predikat “cinta” perlahan tersemat untuk kota yang telah kusejajarkan dengan beberapa tempat yang menginspirasiku tentang banyak hal.  
Siapa pun yang pernah menginjakkan kaki di kota budaya ini pasti punya cerita dan kesannya masing-masing. Begitu pula aku. Saat waktu yang kuhabiskan di kota ini belum lagi tua, saya sudah disuguhi dengan komunalisme ala bantaran Kali Code dimana hampir setahun ini kupandangi riaknya yang seolah memberikan senyum manisnya hingga wajahnya yang paling garang saat Bah menghantam apa pun yang menghalanginya. Lingkungan di bantaran kali ini memberiku pemandangan lain tentang kota dimana kebersamaan dan solidaritas masih menjadi deru nafasnya. Dengan mata kepala sendiri kusaksikan kebersamaan dan solidaritas itu dieja. Saat merapi membuncahkan panasnya dan lahar panas memenuhi bantaran kali yang kemudian memaksa puluhan penghuni mesti pengungsi, tanpa menunggu lama dan tanpa instruksi dalam sekejap dapur umum telah terbangun dan makanan bagi para pengungsi telah siap. Kupastikan itu semua terjadi begitu cepat. Dan kata bapak kosku kebiasaan itu sudah berlangsung lama, entah kapan dimulainya. Kalau kenal dengan Romo Mangun yang tersohor dengan keberpihakannya terhadap mereka yang termarjinalkan, ya ia menghabiskan umurnya di bantaran kali ini dan  mengabdikan harta dan jiwanya bahkan hingga ia telah wafat untuk mereka yang sering kali takdianggap sebagai subjek pembangunan. Di dekat kos ku terdapat sebuah masjid sederhana dan tak jauh dari situ terdapat bangunan kecil yang sepertinya merupakan ruangan administrasi RW. Kedua bangunan ini tak pernah lekang dari aktivitas. Selalu saja ada kegiatan yang dibuat warga di kedua tempat itu, mulai dari aktivitas posyandu hingga pertunjukan wayang kulit. Tua muda begitu akrab menjalin kebersamaan tersebut. Aku selalu dibuat kagum dengan itu semua.
Saat menuju Jogja pertama kali dengan menggunakan bus EKA dari Surabaya, seorang kawan mengirimkan sebuah pesan pendek. “Setiap sudut Kota Jogja adalah tempat belajar”, begitu isi pesan pendek tersebut. Dan sejak awal niatan ke Jogja memang untuk belajar. Belajar tentang banyak hal tentunya, dan tak mungkin kubiarkan diriku menghabiskan umur hanya mengarapkan semua itu dari ruang-ruang yang berlabel kelas. Tak mungkin dan tak terpikir.
Sudah setahun ini, Jogja memberiku pelajaran berharga mengenai rasa dan selera yang berisi. Kota ini mengenalkanku dengan aktivitas berseni dan berkebudayaan. Maka merugilah mereka yang pernah tinggal cukup lama di Jogja dan miskin dengan referensi seni dan kebudayaan baik dalam makna sederhana maupun yang lebih kompleks. Maksudku kan banyak yang menganggap seni dan kebudayaan dan bahkan mengidentikkannya dengan hanya gerak dan bunyi baik dalam musik maupun tari atau seni lakon padahal bukankah bahkan seluruh aktivitas berkehidupan ini dibingkai dengan seni dan budaya. Ah, sok serius! Yang paling jelas, kota ini memberiku cukup banyak referensi tentang kelompok atau individu yang mengkolaborasikan dua hal diatas dengan apik. Seni tidak hanya untuk seni, tapi seni untuk kehidupan. Kehidupan yang lebih baik. Referensi-referensi ini lah yang membuatku harus terus seksama memperhatikan setiap sudut di ruang manapun karena ruang-ruang itu selain terus memberiku kabar tentang gelaran-gelaran menakjubkan, ia sekaligus menjadi tempat belajar. Belajar apa saja. Mulai dari yang sederhana sampai yang paling mengernyitkan dahi. Dan selanjutnya, jadilah hari-hari di akhir pekan menjadi perayaan-perayaan sederhana dalam gempita gerak yang sering tak berpola dan suara yang serak hingga hanya dahak yang tersisa dan seolah terus ingin menohok keseragaman yang terus tersaji sejak pagi hingga beranjak tidur bahkan seringkali telah masuk dan mengusik mimpi yang begitu ber-privasi.
Dan selanjutnya, biarlah kota ini dengan seadanya dia. Berhentilah sorak yang tak penting tentang keistimewaan karena toh ia telah istimewa meski tak dilabeli.

Hmm, selamat ultah Jogja…

Watampone, 8 Oktober 2011



Komentar

Postingan Populer